Panduan Lengkap Menjelajahi Lisboa dengan Trem 28 dan 12

Avatar photo

- Penulis

Minggu, 25 Mei 2025 - 03:08 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Usai menikmati pesona dan kemegahan Sé de Lisboa—katedral agung yang berdiri gagah di atas lapisan sejarah Lisboa yang nyaris mencapai seribu tahun—saya kembali ke perhentian trem di seberangnya. Di bawah langit Lisboa yang masih diselimuti awan kelabu, saya menantikan kehadiran trem nomor 28, si kuning legendaris yang telah menjadi ikon kota ini.

Tak lama berselang, sekitar sepuluh menit kemudian, trem itu tiba dengan bunyi khasnya: berderit dan bergema di antara bangunan-bangunan kuno. Meski kali ini jumlah penumpang lebih banyak, saya beruntung mendapatkan tempat duduk di pojok belakang sebelah kanan—posisi yang paling ideal untuk menikmati pemandangan dari balik jendela kayu yang sempit.

Trem 28 menyusuri gang-gang sempit di kawasan kota tua Lisboa. Jalanan menanjak, kemudian menurun curam, berbelok tajam, lalu bergemuruh di atas rel batu. Sesekali, jalanan melebar dan saya melihat toko-toko kecil, restoran, kafe, atau bahkan penginapan sederhana. Di lain waktu, dinding bangunan terasa begitu dekat hingga seolah bisa disentuh. Perjalanan ini terasa seperti memasuki lorong waktu ke masa lampau, lengkap dengan cita rasa, aroma, dan suara.

Sesuai rencana perjalanan yang saya susun malam sebelumnya, saya berniat turun di Largo das Portas do Sol untuk berjalan kaki sekitar tujuh menit menuju Castelo de Sao Jorge. Di puncak bukit itu, benteng tua berdiri kokoh, melindungi Lisboa. Katanya, dari sana, kita bisa menyaksikan pemandangan terbaik: atap-atap merah yang berjejal bagaikan kepingan puzzle, Sungai Tagus yang memantulkan cahaya mentari pagi, dan burung camar yang berterbangan di angkasa. Namun, saya baru menyadari sesuatu. Halte tersebut terletak sebelum tempat saya turun di Sé tadi. Dan kini, trem sudah bergerak ke arah sebaliknya, menuju ujung rute di Campo de Ourique, tempat Cemitério dos Prazeres berada.

Saya melirik jam tangan di pergelangan kiri, waktu sudah menunjukkan hampir tengah hari. Sepertinya tidak cukup waktu untuk mengunjungi pemakaman paling terkenal di Lisboa ini. Maklum, saya harus terbang ke Frankfurt sore harinya dan sebelumnya harus kembali ke penginapan untuk mengambil tas dan barang bawaan.

Ada sedikit penyesalan, karena sejak awal saya memang berencana mengunjungi kedua tempat itu—Castelo de São Jorge dan Cemitério dos Prazeres. Yang satu menawarkan panorama luas kota dari atas dinding benteng tua; yang satu lagi menawarkan ketenangan dan refleksi di antara makam-makam kuno yang elegan, semacam Père Lachaise-nya Lisboa.

Kabarnya, suasana di pemakaman ini menawarkan pemandangan yang indah ke arah Sungai Tagus dan Jembatan 25 de Abril. Suasananya hening dan damai, cocok untuk refleksi dan kontemplasi. Ini bukan pemakaman biasa dengan nisan-nisan kecil. Cemitério dos Prazeres dipenuhi dengan mausoleum megah milik keluarga bangsawan, tokoh-tokoh penting, dan seniman Portugal. Setiap makam bagaikan karya seni tersendiri, lengkap dengan ukiran, jendela kaca patri, dan patung-patung marmer.

Baca Juga :  Kenali 4 Tipe Turis Asing Liburan di Swiss: Anda yang Mana?

Akhirnya, saya memutuskan untuk turun di halte berikutnya. Saya menyempatkan diri melihat-lihat toko suvenir kecil dan membeli minuman ringan. Dari sana, saya naik Trem 12 yang rutenya berputar kembali menuju Martim Moniz. Kebetulan, informasi ini terpampang jelas di petunjuk arah yang ada di bagian depan trem.

Warnanya merah marun, lebih elegan daripada si kuning 28. Di tengah gerimis yang mulai turun, saya melangkah masuk. Jalanan basah.

Trem 12 menelusuri rute yang sebagian tumpang tindih dengan Trem 28: gang-gang sempit, tikungan tajam, rumah-rumah tua dengan cat yang mulai pudar, dan teras-teras mungil dengan tanaman dalam pot. Kami melewati jalur yang seolah hanya cukup untuk trem itu sendiri. Jika ada mobil melintas, salah satu harus mengalah.

Ternyata trem ini melewati tempat yang sudah saya kenal, yang saya kunjungi dua hari lalu. Di sini, di dekat Praça Luís de Camões, saya turun. Hujan rintik masih membasahi bumi Lisboa, namun orang-orang tetap ramai berlalu lalang dengan payung terbuka.

Di alun-alun ini berdiri patung penyair besar Portugal, Luís de Camões, yang namanya terukir dalam sejarah sastra negara ini. Di sekelilingnya, bangunan bergaya Pombaline dengan balkon besi tempa berbaris rapi. Toko-toko tua menjajakan barang antik, kafe-kafe menyajikan kopi yang harum, dan jendela-jendela kecil terbuka menghadap ke plaza.

Saya ikut membuka payung, berjalan perlahan, menikmati suasana. Di satu sudut, pastel de nata tertata rapi di balik kaca etalase toko roti. Aroma kayu manis dan vanila menyeruak keluar. Saya mampir sejenak, membeli pastel seharga 1 setengah Euro atau “Um euro e meio”.

Ada keinginan untuk berlama-lama menikmati suasana, tetapi waktu terus berjalan. Saya harus segera kembali ke penginapan dan menuju stasiun metro Baixa/Chiado.

Saya sempat berhenti sejenak di ruas jalan yang dilintasi Trem 12. Sebuah trem tua melintas dengan perlahan. Lampunya menyala redup, dan di bagian depan tertulis: “Carreira 12E”. Di sekeliling, pejalan kaki mengenakan jas hujan.

Trem itu bergerak pelan, seolah tidak terburu oleh waktu. Di belakangnya, bayangan kota tua Lisboa terlihat seperti lukisan hidup—basah, lembap, namun tetap hangat. Jalanan batu kecil yang licin, tiang-tiang lampu besi, dan papan nama toko tua menciptakan atmosfer yang sulit ditiru di kota lain. Lisbon, meski diguyur hujan, tetap anggun. Bahkan mungkin lebih puitis.

Sebuah trem lain kembali melintas, kali ini lebih lambat. Saya memotretnya—mungkin untuk mengingat bahwa hujan dan trem tua adalah kombinasi yang paling syahdu untuk mengucapkan selamat tinggal pada Lisboa.

Di pintu masuk stasiun Baixa-Chiado, saya menuruni eskalator panjang yang berdampingan dengan anak tangga batu. Dinding keramik putih memantulkan cahaya lampu neon, menciptakan kesan seperti lorong masa depan yang muncul dari masa lalu. Suara kota mulai meredup. Bau logam dan lembap menyergap di dalam. Tidak ada musik, hanya suara langkah kaki dan gumaman lirih.

Baca Juga :  Atasi Jet Lag Secara Efektif: Tips Ampuh Hilangkan Rasa Lelah Setelah Perjalanan Jauh

Saya naik metro jalur biru ke arah Alfornelos. Nama-nama stasiun berganti dengan cepat: Pontinha, Carnide, Colégio Militar, Alto dos Moinhos. Masing-masing nama terdengar seperti baris puisi. Semua nama itu terucap merdu melalui pengumuman dalam bahasa Portugis dan Inggris. Beberapa terkesan berat di lidah, beberapa mengalir lembut.

Gerbong metro terasa tenang. Tidak banyak orang berbicara. Beberapa menatap layar ponsel, sebagian hanya diam menatap jendela. Saya ikut terdiam. Namun dalam diam itu, pikiran saya berkelana: tentang bagian Lisboa yang belum sempat saya kunjungi seluruhnya, tentang Frankfurt yang sebentar lagi menyambut, dan tentang perasaan melintasi batas antara dua kota—antara kenangan dan kemungkinan.

Alfornelos akhirnya tiba. Saya keluar dari stasiun dan naik ke permukaan kota. Matahari belum sepenuhnya muncul, tetapi langit mulai cerah. Saya berjalan kaki menuju apartemen di Rua António José da Silva, sekitar sepuluh menit lamanya.

Trotoar di sini berbeda dengan di pusat kota. Kadang bergelombang, kadang rata. Pohon-pohon kecil tumbuh di sisi jalan. Ada sebuah halte bus yang selalu tampak kosong setiap kali saya melewatinya dan suara kendaraan terdengar dari kejauhan. Tidak ada wisatawan. Tidak ada trem tua. Hanya kehidupan sehari-hari yang bergerak perlahan.

Langkah demi langkah saya ambil. Rumah-rumah di kiri dan kanan tampak sederhana. Ada toko kecil yang tutup, ada jendela dengan tirai putih. Di satu titik, angin bertiup pelan membawa aroma kopi yang entah datang dari mana.

Sesampainya di apartemen, saya tidak langsung masuk. Saya duduk sejenak di pinggir tempat tidur, membuka ponsel, melihat jam. Masih ada waktu untuk mengepak barang. Tapi saya belum ingin beranjak.

Saya ingin berdiam diri dulu di sini. Di antara dua momen: antara keberangkatan dan kenangan, antara Lisbon yang belum selesai, dan Frankfurt yang belum dimulai. Lisbon mungkin belum memberi banyak. Tapi ia memberi cukup: suara trem di gang sempit, aroma hujan di trotoar tua, dan sore yang tak akan saya ulang, tapi akan saya ingat.

Dan mungkin, justru karena belum sempat singgah di Castelo de São Jorge dan belum menjejak tanah Prazeres, saya ingin kembali. Suatu hari nanti, jika masih ada kesempatan, saya ingin datang lagi. Naik trem yang sama, menuruni gang yang sama, menyapa kota yang belum sempat saya peluk sepenuhnya.

Berita Terkait

Liburan Seru: 2 Kolam Renang Indah di Banten dengan Pemandangan Gunung Memukau
Taiwan Catat Lonjakan Kunjungan Wisatawan Indonesia Terbaru
Liburan Impian: 5 Hotel Pantai Terbaik dengan View Indah di Labuan Bajo
Panduan Lengkap Island Hopping Seru di Labuan Bajo untuk Wisatawan
Ascott Bali Gelar Gathering: Perkuat Kolaborasi, Apresiasi Mitra!
Rasakan Staycation Mewah: Suite Vintage Unik di London Menanti!
Jelajahi 5 Wisata Banten Bersejarah Selain Pantai, Kaya Budaya!
Tugu Nol Kilometer Sabang: Penutupan Sementara dan Dampaknya bagi Wisatawan

Berita Terkait

Minggu, 25 Mei 2025 - 03:08 WIB

Panduan Lengkap Menjelajahi Lisboa dengan Trem 28 dan 12

Minggu, 25 Mei 2025 - 01:32 WIB

Liburan Seru: 2 Kolam Renang Indah di Banten dengan Pemandangan Gunung Memukau

Minggu, 25 Mei 2025 - 00:17 WIB

Taiwan Catat Lonjakan Kunjungan Wisatawan Indonesia Terbaru

Minggu, 25 Mei 2025 - 00:09 WIB

Liburan Impian: 5 Hotel Pantai Terbaik dengan View Indah di Labuan Bajo

Minggu, 25 Mei 2025 - 00:05 WIB

Panduan Lengkap Island Hopping Seru di Labuan Bajo untuk Wisatawan

Berita Terbaru

Society Culture And History

ANRI Abadikan Kotabaru Yogyakarta Sebagai Warisan Memori Nasional

Minggu, 25 Mei 2025 - 05:40 WIB

sports

Update Klasemen MotoGP Inggris 2025 Usai Sprint Race Sengit!

Minggu, 25 Mei 2025 - 05:34 WIB

entertainment

Heboh! Lesti Kejora & Roy Marten: 3 Berita Artis Paling Viral Hari Ini

Minggu, 25 Mei 2025 - 05:28 WIB

entertainment

One Piece 1130 Sub Indo: Awal Tragedi Mencekam di Gol Valley!

Minggu, 25 Mei 2025 - 05:14 WIB