Pakar UII Kritik Kebijakan BI Turunkan Suku Bunga ke 5,5 Persen: Dampaknya?

Avatar photo

- Penulis

Minggu, 25 Mei 2025 - 08:28 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

PENELITI dan dosen Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, memberikan analisis mendalam terkait keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menerapkan kebijakan pelonggaran moneter dalam Rapat Dewan Gubernur pada 20-21 Mei 2025. BI menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,50 persen. Penurunan serupa juga terjadi pada suku bunga Deposit Facility menjadi 4,75 persen dan Lending Facility menjadi 6,25 persen.

“Keputusan ini menarik perhatian karena menandai perubahan arah kebijakan moneter yang sebelumnya cenderung ketat sebagai respons terhadap tekanan inflasi global dan ketidakstabilan ekonomi internasional,” ungkap Listya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 23 Mei 2025.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengumumkan keputusan BI untuk memangkas suku bunga acuan menjadi 5,50 persen. Sebelumnya, pada April 2025, BI mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen.

“Rapat Dewan Gubernur BI pada tanggal 20 dan 21 Mei 2025 memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen,” jelas Perry dalam konferensi pers, Rabu, 21 Mei 2025.

Menurut Listya, langkah BI ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah ini awal dari rencana pelonggaran moneter yang terstruktur, atau hanya reaksi terhadap tekanan ekonomi jangka pendek? Untuk menjawabnya, perlu dianalisis keputusan BI dalam konteks teori ekonomi dan dinamika makroekonomi terkini.

Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika, UII, Yogyakarta ini menjelaskan bahwa dalam literatur ekonomi makro, khususnya kerangka Keynesian dan Monetaris, kebijakan moneter berperan krusial dalam menstabilkan siklus bisnis. Tujuan utamanya adalah menjaga stabilitas harga, mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dan memastikan kelancaran sistem keuangan.

“Suku bunga acuan merupakan instrumen utama dalam kebijakan ini, menjadi jangkar bagi seluruh sistem keuangan nasional,” tegasnya.

Baca Juga :  IHSG Berisiko Lanjut Koreksi Akhir Pekan, Cek Rekomendasi Saham ESSA, GOTO & PGEO

Lebih lanjut, Listya menjelaskan bahwa ketika inflasi terkendali dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan sinyal moderat, penurunan suku bunga acuan dapat mendorong permintaan agregat. Hal ini dicapai dengan mengurangi biaya pinjaman dan meningkatkan minat rumah tangga serta pelaku usaha untuk berbelanja dan berinvestasi.

Namun, efektivitas kebijakan ini bergantung pada ekspektasi pelaku ekonomi. Jika penurunan suku bunga diinterpretasikan sebagai sinyal bahwa bank sentral menghadapi tantangan pertumbuhan ekonomi yang lebih serius, pelaku pasar dapat bersikap lebih defensif, bukan ekspansif.

“Ini yang disebut ekonom seperti Michael Woodford sebagai “communication challenge” dalam kebijakan moneter modern: pesan yang ambigu dapat memicu reaksi pasar yang berlawanan dengan yang diharapkan,” jelas Listya.

Momentum atau Keterlambatan?

Listya menekankan pentingnya melihat keputusan BI menurunkan suku bunga di pertengahan 2025 dari perspektif momentum. Sepanjang 2024, kebijakan moneter cenderung “hawkish” karena inflasi sempat melampaui batas atas target. Nilai tukar Rupiah juga menghadapi tekanan akibat penguatan dolar AS. Namun, memasuki kuartal kedua 2025, tekanan inflasi mulai mereda.

“Neraca perdagangan tetap mencatat surplus moderat, dan pertumbuhan ekonomi berada pada jalur positif meskipun belum signifikan,” kata pengajar Jurusan Ekonomi, UII ini.

Dalam situasi ini, Listya menjelaskan bahwa Taylor Rule menjadi referensi penting. Aturan ini menyatakan bahwa suku bunga kebijakan ditentukan berdasarkan tingkat inflasi dan deviasi output dari potensinya (output gap). Jika inflasi di bawah target dan output masih di bawah potensi, maka suku bunga dapat diturunkan.

“Dalam konteks Indonesia, BI tampaknya menilai kondisi saat ini cukup aman untuk memulai pelonggaran tanpa memicu ketidakstabilan harga atau modal,” katanya.

Listya berpendapat bahwa pelonggaran suku bunga baru efektif jika diikuti transmisi yang cepat dan responsif di sektor riil. Namun, efek suku bunga sering terhambat di pasar uang antar bank karena tingkat financial deepening (pendalaman keuangan) Indonesia masih relatif rendah, penetrasi perbankan belum merata, dan investor lebih menyukai aset jangka pendek.

Baca Juga :  Saham Bank Besar Kompak Turun, Mandiri Terparah: Analisis Terbaru

“Ini memperkuat argumen bahwa keputusan BI mungkin hanya bersifat simbolis atau “precautionary,” dan bukan awal dari siklus pelonggaran moneter yang agresif,” tambah Listya.

Perluasan Narasi Moneter: Dari Harga ke Ekspektasi

Listya juga menyoroti narasi yang menyertai kebijakan BI kali ini. Dalam beberapa tahun terakhir, bank sentral di seluruh dunia telah bergeser paradigma: dari sekadar mengatur harga uang (interest rate) menjadi pengelola ekspektasi (expectations management). Oleh karena itu, langkah BI tidak hanya dilihat dari angka, tetapi juga sinyal komunikasinya.

Dengan pendekatan forward guidance, kata peneliti UII ini, bank sentral mengarahkan ekspektasi publik terhadap arah kebijakan mendatang. Jika BI berencana menurunkan suku bunga lebih lanjut dalam beberapa bulan ke depan, komunikasi kebijakan saat ini harus tegas, konsisten, dan transparan. Jika tidak, pasar akan meragukan komitmen jangka panjang BI, dan efek kebijakan terkini menjadi kurang optimal.

Listya menganalisis bahwa keputusan BI menurunkan suku bunga acuan dapat diartikan sebagai langkah awal menuju kebijakan yang lebih akomodatif. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada persepsi pasar, respons sektor keuangan, dan konsistensi narasi kebijakan moneter itu sendiri. Dalam perekonomian yang semakin terintegrasi dan berbasis ekspektasi, angka hanyalah permulaan.

“Yang lebih penting adalah bagaimana pasar membaca arah dan komitmen bank sentral dalam menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan,” pungkas Listya.

Pilihan Editor: Peneliti UII Soroti Fenomena Ekonomi Global Pasca Tarif Impor Trump

Berita Terkait

Waspada! Modus Judi Online Makin Canggih dan Beragam, Kata OJK
Citadel Pacific & Sefas Group: Jejak Bisnis di Balik Akuisisi SPBU Shell Indonesia
Harga Emas Antam Tetap Rp1,93 Juta per Gram Hari Ini: Cek Update Terkini
Harga Emas Antam Melonjak 28,74% per Tahun: Update Harga Terbaru 19 Mei 2025
Investasi Besar-besaran: Dua Konsorsium Asing Lirik Rusunawa IKN
Jepang Tekan AS: Cabut Tarif Impor 24 Persen Segera
GreenBank Suntik Dana 1 Miliar USD untuk PSN Wiraraja Galang
Harga Emas Antam Stabil di Rp 1.930.000 per Gram, Minggu 25 Mei 2024

Berita Terkait

Minggu, 25 Mei 2025 - 11:58 WIB

Waspada! Modus Judi Online Makin Canggih dan Beragam, Kata OJK

Minggu, 25 Mei 2025 - 11:29 WIB

Citadel Pacific & Sefas Group: Jejak Bisnis di Balik Akuisisi SPBU Shell Indonesia

Minggu, 25 Mei 2025 - 11:25 WIB

Harga Emas Antam Tetap Rp1,93 Juta per Gram Hari Ini: Cek Update Terkini

Minggu, 25 Mei 2025 - 11:22 WIB

Harga Emas Antam Melonjak 28,74% per Tahun: Update Harga Terbaru 19 Mei 2025

Minggu, 25 Mei 2025 - 11:13 WIB

Investasi Besar-besaran: Dua Konsorsium Asing Lirik Rusunawa IKN

Berita Terbaru

Family And Relationships

Roy Marten Buka Suara Soal Hubungan Gisella Anastasia dan Cinta Brian

Minggu, 25 Mei 2025 - 12:10 WIB

travel

Misteri Pulau Unik: Daratannya Hilang Dua Kali Sehari

Minggu, 25 Mei 2025 - 12:01 WIB

Family And Relationships

Ibunda Dali Restui Jennifer Coppen Pacaran Lagi: Fokus Bahagia dan Tetap Hidup

Minggu, 25 Mei 2025 - 11:55 WIB