P2G Dukung Pembatasan Jam Malam Siswa di Jawa Barat, Tolak Keras Kebijakan Jam Masuk Sekolah Pukul 06.00 Pagi
Jakarta – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menunjukkan sikap tegas terhadap kebijakan pendidikan di Jawa Barat. Organisasi ini menyambut baik dan mendukung penuh pembatasan jam malam bagi siswa hingga pukul 21.00 yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, namun secara bersamaan menolak keras kebijakan jam masuk sekolah pada pukul 06.00 pagi.
Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, menegaskan bahwa pembatasan jam malam siswa merupakan langkah positif. Kebijakan ini dinilai esensial untuk memastikan anak mendapatkan waktu tidur yang cukup dan berkualitas, sekaligus membuka ruang bagi pengembangan pembelajaran mandiri serta penguatan peran keluarga dalam pendidikan anak. “Bahkan, kebijakan ini merupakan implementasi nyata dari Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat yang dicanangkan Kemdikdasmen, salah satunya adalah Tidur Cepat dan Gemar Belajar,” terang Guru Madrasah tersebut.
Namun, P2G dengan tegas menolak kebijakan masuk sekolah pukul 06.00 pagi di Jawa Barat. Kebijakan yang diklaim bertujuan untuk mendisiplinkan anak dan meningkatkan minat belajar ini justru dianggap kontraproduktif. Implementasinya dinilai berpotensi besar membawa dampak negatif serius pada anak, terutama terkait kurang tidur. “Berdasarkan berbagai riset, kurang tidur dapat memicu kesulitan konsentrasi, penurunan daya ingat, gangguan kesehatan fisik dan mental, hingga merosotnya prestasi akademis siswa,” papar Imam.
Menurut Imam, peningkatan kualitas pembelajaran sejatinya tidak ditentukan oleh seberapa pagi siswa memasuki gerbang sekolah, melainkan oleh ekosistem pendidikan yang holistik dan suportif. Ekosistem ini mencakup lingkungan belajar yang kondusif di sekolah, pola asuh yang efektif di rumah, serta peran krusial guru dalam menciptakan ruang belajar yang berkualitas. Tanpa perbaikan kualitas pembelajaran yang signifikan, masuk sekolah lebih pagi akan menjadi upaya yang sia-sia.
P2G juga menyoroti ketidaksesuaian jam masuk sekolah pukul 06.00 dengan praktik internasional. Negara-negara maju seperti Malaysia, Cina, Amerika Serikat, India, Inggris, Rusia, Singapura, dan Jepang umumnya menerapkan waktu masuk sekolah antara pukul 07.30 hingga 08.30 pagi. Bahkan, studi yang dilakukan oleh Kelley et al. (2017) dari institusi terkemuka seperti The Open University, Brigham and Women’s Hospital, Harvard University, dan University of Nevada, menyimpulkan bahwa jam masuk sekolah pukul 10.00 justru lebih baik daripada pukul 08.30 bagi siswa usia 13–16 tahun. “Oleh karena itu, kami berharap ada kajian mendalam terlebih dahulu sebelum penerapan kegiatan belajar mengajar pukul enam pagi,” tutur Iman.
P2G turut mengingatkan agar Jawa Barat belajar dari pengalaman Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kebijakan serupa yang sempat diuji coba di NTT pada tahun 2023 akhirnya dibatalkan setelah melalui evaluasi komprehensif dan menampung masukan dari berbagai pihak. “Kita harus belajar dari NTT. Jangan sampai kebijakan pendidikan hanya menjadi ajang coba-coba yang pada akhirnya harus kembali seperti semula. Sebaiknya berhati-hati dan kaji dulu dampaknya,” ungkap Iman.
Dampak dari kebijakan masuk sekolah lebih pagi ini, lanjut Imam, tidak hanya membebani siswa, tetapi juga guru dan orang tua. Mulai dari kesulitan akses transportasi di pagi buta, potensi risiko keamanan, hingga beban tambahan dalam menyiapkan sarapan dan bekal anak. “Guru dan siswa yang rumahnya jauh harus bangun jauh lebih pagi lagi. Bahkan, sarapan pun pada jam sahur. Ini tentu saja sangat tidak berkeadilan,” tegas Imam.
Di sisi lain, Iman Zanatul Haeri juga menyinggung sejumlah persoalan pendidikan yang jauh lebih mendesak dan fundamental di Jawa Barat, yang seharusnya menjadi prioritas utama. Isu-isu tersebut meliputi tingginya angka putus sekolah, kondisi ruang kelas yang rusak parah, serta rendahnya angka sertifikasi guru.
Data menunjukkan bahwa di Jawa Barat, terdapat 623.288 anak yang tidak sekolah, dengan 164.631 anak di antaranya merupakan korban *drop out*. Provinsi ini bahkan menduduki urutan pertama nasional untuk angka putus sekolah pada jenjang SD (Kemdikdasmen, 2024). Sementara itu, tercatat ada 22 ribu ruang kelas rusak berat dan 59 ribu ruang kelas rusak sedang di Jawa Barat. Adapun jumlah guru yang sudah tersertifikasi masih berada di bawah 40 persen, menandakan bahwa lebih dari separuh guru di Jawa Barat belum dapat diklasifikasikan sebagai tenaga profesional (NPD, 2023).