Ragamutama.com, Jakarta – Di tengah sorotan tajam terhadap dugaan eksploitasi anak dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh mantan pemain sirkus di Oriental Circus Indonesia (OCI), perwakilan perusahaan, Tony Sumampau, menegaskan bahwa OCI tidak memiliki keterkaitan operasional maupun hukum dengan Taman Safari Indonesia.
Dalam konferensi pers yang digelar di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, pada Kamis, 17 April 2025, Tony menyatakan, “Tidak ada hubungan legal, tidak ada transfer dana. Tidak ada aliran dana dari OCI ke Taman Safari, sama sekali tidak ada. Tidak ada pula inisiatif dari pihak OCI untuk mendirikan Taman Safari.”
Lebih lanjut, Komisaris Taman Safari Indonesia tersebut menjelaskan bahwa pemain sirkus dari OCI tidak pernah tampil di arena Taman Safari. Ia menambahkan bahwa sejak akhir dekade 1990-an, komposisi pemain sirkus OCI didominasi oleh talenta-talenta internasional.
Tony juga mengindikasikan bahwa OCI berencana untuk menempuh jalur hukum sebagai respons terhadap tuduhan-tuduhan yang mencemarkan nama baik perusahaan.
Menanggapi hal ini, wakil presiden bidang hukum Taman Safari Indonesia, Barata Mardikoesno, menggarisbawahi bahwa langkah hukum yang akan diambil oleh OCI sama sekali tidak melibatkan Taman Safari.
“Ini adalah dua entitas yang terpisah. Tindakan hukum ini merupakan inisiatif dari OCI, dan Taman Safari tidak terlibat,” tegasnya. “Taman Safari Indonesia sangat berbeda dan tidak memiliki kaitan dengan tuduhan hukum yang dialamatkan kepada kami.”
Sebagai informasi, Taman Safari Indonesia pertama kali didirikan pada tahun 1981 di lahan seluas 55 hektar. Lahan tersebut sebelumnya merupakan area perkebunan Cisarua Selatan yang sudah tidak produktif, sebagaimana tercantum dalam situs web resmi Taman Safari.
Pendirian taman satwa ini diprakarsai oleh tiga bersaudara, yaitu Jansen Manansang, Frans Manansang, dan Tony Sumampau, yang merupakan putra-putra dari Hadi Manansang, pendiri OCI. Profil Taman Safari Indonesia menggambarkan Jansen, Frans, dan Tony sebagai “tiga bersaudara yang mengawali karir mereka di Oriental Sirkus Indonesia”.
Pada era 1970-an, Tony menghabiskan masa kecilnya bersama anak-anak dari para pemain sirkus OCI, yang kini di tahun 2025 telah dewasa. Setelah lima dekade berlalu, para mantan pemain sirkus ini kembali mengangkat isu dugaan eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami selama berada di bawah naungan OCI.
Sebelumnya, kasus ini sempat diadukan kepada Komnas HAM. Pada tahun 1997, Komisi tersebut menyatakan bahwa OCI telah melakukan serangkaian pelanggaran HAM terhadap anak-anak pemain sirkus.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut meliputi pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan; hak anak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi; hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang memadai; serta hak anak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak.
Isu ini kembali mencuat ke permukaan ketika delapan perwakilan dari para korban mendatangi kantor Kementerian HAM di Jakarta Selatan pada hari Selasa, 15 April 2025. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan paruh baya. Mereka berdialog dengan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, beserta dua direktur jenderal dari kementerian tersebut.
Para korban mengisahkan pengalaman pahit mereka, mulai dari kekerasan fisik seperti pemukulan dan penyetruman, pemaksaan untuk bekerja dalam kondisi sakit, pemisahan dari anak setelah melahirkan, hingga dipaksa untuk memakan kotoran hewan.
Menurut kronologi tertulis yang disusun oleh pendamping korban, pemilik dan/atau pengelola OCI serta Taman Safari Indonesia diduga telah mengambil dan memisahkan lebih dari 60 anak-anak berusia 2 – 4 tahun dari orang tua mereka. Selanjutnya, pada usia 4 – 6 tahun, mereka diduga dipekerjakan tanpa upah, tidak disekolahkan, dan tidak diinformasikan mengenai identitas asli mereka.
Tony, yang berbicara mewakili OCI, membantah tuduhan terjadinya kekerasan seperti pemukulan, penyetruman, dan pemisahan ibu dengan anak. Namun, ia mengakui bahwa di masa lalu OCI tidak memberikan upah kepada anak-anak pekerja sirkus, melainkan hanya memberikan uang saku.
Ia juga mengakui adanya tindakan kekerasan dalam bentuk pukulan menggunakan rotan. Namun, ia menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang “biasa” dan sebagai bentuk “pendisiplinan”. “Pemukulan biasa itu ada saja. Tapi kalau dengan alat, dengan besi, tidak mungkinlah,” ujarnya.
Pilihan Editor: Oriental Circus Indonesia Mengakui Memukul Anak-anak Pemain Sirkus Pakai Rotan