One Piece Jadi Simbol Protes: Kenapa Budaya Pop Dipinjam?

Avatar photo

- Penulis

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 13:52 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Seruan untuk mengibarkan bendera bajak laut dari anime dan manga populer One Piece saat perayaan HUT RI ke-80 pada 17 Agustus mendatang telah memicu perdebatan sengit di media sosial. Aksi ini disebut-sebut sebagai bentuk protes dan kekecewaan terhadap kondisi bangsa, namun mengapa simbol dari budaya pop dipilih sebagai representasi?

Pemerintah dan sejumlah anggota parlemen mengecam seruan pengibaran bendera tersebut, menyebutnya sebagai tindakan provokatif yang berpotensi memecah belah bangsa, bahkan menudingnya sebagai perbuatan makar. Di sisi lain, para penggemar One Piece mempertanyakan respons pemerintah yang dinilai kaku dan terlalu serius dalam menyikapi fenomena ini.

Bendera fiktif yang menjadi sorotan memiliki latar hitam dengan tengkorak putih khas dan dua tulang menyilang. Tengkorak tersebut dihiasi topi jerami kuning ikonis milik tokoh utama One Piece, Monkey D. Luffy, lengkap dengan ekspresi tersenyum yang menjadi ciri khasnya. Hingga Sabtu (02/08), beberapa bendera Topi Jerami tampak terpasang di sejumlah titik di berbagai daerah di Indonesia. Di ranah digital, banyak akun media sosial mengganti foto profil mereka dengan logo bendera One Piece.

Lembaga pemantau media sosial mengonfirmasi bahwa seruan mengibarkan bendera Topi Jerami ini merupakan gerakan organik netizen di dunia maya, tanpa adanya mobilisasi terpusat. Para analis berpendapat bahwa penggunaan simbol dan idiom dari budaya populer dipilih agar pesan kritik dapat menjangkau pasar yang lebih luas dan beragam.

Mengapa publik dan warganet memilih mengibarkan bendera One Piece sebagai simbol protes?

Salah seorang warga Kota Padang yang ingin dikenal dengan nama panggilannya, Oki, memasang bendera One Piece di salah satu lokasi wisata di Sumatra Barat pada 30 Juli silam. Oki, seorang penggemar setia One Piece sejak sekolah menengah pertama, menyatakan bahwa serial fiksi ini memiliki cerita menarik dan simbol-simbol yang kuat. Baginya, bendera One Piece yang kini ramai di media sosial adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Atas dasar pemahaman inilah, Oki memutuskan untuk memasang bendera tersebut, berharap pesan ini dapat diterima baik oleh penggemar One Piece lainnya, atau yang dikenal sebagai nakama. “Untuk menambah spot foto bagi nakama juga,” tambahnya kepada wartawan Arie Firdaus dari BBC News Indonesia.

Ali Maulana, Ketua Komunitas One Piece Jayapura, menyebut pengibaran bendera Jolly Roger sebagai “simbol kebebasan sipil” yang tidak bermaksud menyerang negara. “Kalau dari sudut pandang saya sebagai warga negara, ini fenomena yang cukup menarik,” kata Ali kepada wartawan Muhammad Ikbal Asra dari BBC News Indonesia. Menurutnya, bendera One Piece menjadi simbol kecintaan terhadap negeri, namun sekaligus wujud ketidaksetujuan terhadap sistem yang berlaku. Ia berpendapat bahwa kisah One Piece bukan sekadar anime, melainkan cerminan fiksi tentang ketidakadilan dan ketimpangan yang turut dirasakan masyarakat Indonesia. Ali mencontohkan tokoh elite dalam One Piece, Tenryuubito, yang mencerminkan perilaku segelintir pejabat yang menikmati kekuasaan, sementara rakyat menderita. “Meskipun negara ini secara resmi sudah merdeka, tapi banyak dari kita yang belum benar-benar merasakan kemerdekaan itu dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Di media sosial, seruan untuk memasang bendera One Piece mulai muncul sejak 26 Juli silam. Beberapa lembaga analisis media sosial menegaskan fenomena ini bersifat organik, tanpa mobilisasi dari tokoh atau kelompok tertentu. Namun, salah satu lembaga, Drone Emprit, mengemukakan bahwa praktik pemasangan bendera One Piece sudah ada sebelum Juli 2025 dengan konteks yang berbeda. “Praktik itu sudah beredar jauh sebelum Juli, dengan konteks yang berbeda dengan saat ini. Sebelumnya, konteks pengibaran tidak disertai motif politik,” ujar peneliti Drone Emprit, Nova Mujahid, yang berfokus pada analisis di media sosial X (sebelumnya Twitter). Ia menambahkan bahwa bendera kala itu biasanya dipasang pada bak mobil truk.

Dalam pantauan Nova, percakapan di media sosial X berlangsung natural, didorong oleh interaksi dari akun-akun terindikasi organik yang beragam, mulai dari penyuka anime, masyarakat biasa, hingga aktivis media sosial. “Peta menunjukkan bahwa percakapan ini kuat didorong akun-akun terindikasi organik,” kata Nova. “Sebagian besar nada kekecewaan. Lucu-lucuan dan FOMO juga ada. Terlihat pula tidak ada agenda atau narasi yang didorong dalam unggahan ini dan tidak terkoordinir.”

Evello, lembaga analisis media sosial lain yang fokus pada aktivitas di TikTok, melaporkan bahwa fenomena ini juga ramai mulai 26 Juli 2025 dan mencapai puncak pada 28-30 Juli. Topik yang digaungkan meliputi simbol perlawanan ketidakadilan (78 unggahan), kritik sosial dan sindiran politik (45), serta kebebasan berekspresi (20). Evello mencatat bahwa akun-akun yang terlibat dalam penggaungan adalah milik personal non-media. Kesimpulannya, Evello menyatakan, “Membuktikan bahwa bendera One Piece digunakan sebagai metafora dan kanal aman untuk menyuarakan aspirasi dan kritik melalui simbol budaya populer,” dalam keterangannya pada 1 Agustus.

Apa makna di balik bendera One Piece yang diusung dalam protes?

Mengutip onepiece.fandom.com, bendera ini dikenal dengan nama Jolly Roger dan memiliki banyak jenis serta varian dalam dunia fiksi One Piece, mengingat banyaknya kelompok bajak laut. Bendera yang menjadi fokus adalah simbol khas kelompok bajak laut yang dipimpin Monkey D. Luffy, sang tokoh utama ciptaan Eiichiro Oda. Jolly Roger ini tidak hanya melambangkan kekuatan, tetapi juga diartikan sebagai simbol kebebasan, keyakinan pribadi, dan persahabatan. Bagi para nakama, bendera ini juga sering disebut sebagai bendera Topi Jerami karena logo tengkoraknya mengenakan topi ikonis Luffy. Setiap kelompok bajak laut memiliki kekhasan tersendiri pada benderanya, namun tetap mempertahankan logo tengkorak, seperti kelompok Shanks dengan tengkorak berbekas luka atau Kaido dengan tengkorak bertanduk.

Baca Juga :  Robert Prevost Beberkan Kisah Dibalik Pemilihan Nama Paus Leo XIV

One Piece pertama kali diterbitkan pada 22 Juli 1997 di majalah Weekly Shonen Jump Jepang. Eiichiro Oda, sang pengarang, dikenal sangat detail dalam membangun semesta One Piece, sering menyisipkan kejutan dan misteri seperti “Void Century” yang mengisahkan abad hilang dari sejarah peradaban. Ia juga dikenal menggambar dan menulis sendiri One Piece sejak awal hingga sekarang, dengan lebih dari 1.100 episode manga yang telah diterbitkan hingga Agustus 2025.

Penggemar One Piece lainnya, Arya Novrianus, menjelaskan bahwa selain menjadi identitas kapal bajak laut, bendera tersebut juga menjadi penanda kehadiran kelompok di suatu wilayah. Ia mencontohkan, jika bendera Topi Jerami berkibar di sebuah pulau, itu berarti wilayah tersebut berada dalam perlindungan Luffy dan tidak boleh diganggu kelompok lain. “Enggak ada yang berani macam-macam, enggak ada yang berani berbuat jahat terhadap negara itu,” kata Arya, yang juga seorang komedian tunggal. Arya telah menggemari One Piece sejak 2002 dan kecintaannya tak luntur hingga kini, bahkan menjadi host siniar khusus One Piece, Podcast Sunny-Gow.

Melalui akun Instagram-nya, Arya juga kerap “membumikan” potongan cerita One Piece ke kehidupan sehari-hari, termasuk dinamika politik dalam negeri. Misalnya, pada unggahan 25 Februari 2025, ia mengomentari foto Presiden Prabowo Subianto bersama para pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, dalam peluncuran badan pengelola investasi Danantara. Ia menganalogikan momen tersebut sebagai “Cross Guild” versi dunia nyata. “Cross Guild” adalah aliansi tiga karakter kuat—Buggy, Mihawk, dan Crocodile—yang dalam cerita One Piece menjadi kekuatan baru yang menantang tatanan lama antara bajak laut dan angkatan laut.

Meski demikian, Arya memiliki pandangan berbeda terkait fenomena pengibaran bendera One Piece sebagai wujud kekecewaan dan protes di media sosial. “Sebagai fans, bendera Topi Jerami digunakan untuk melawan politik tertentu, saya sih enggak setuju dan enggak suka,” kata Arya. Menurutnya, meskipun cerita One Piece di manga atau anime memang memuat unsur politik, namun tidak berhubungan dengan politik atau memihak kelompok politik tertentu di dunia nyata. “Kalau digunakan orang yang salah, malah dianggap One Piece berbahaya,” ujarnya. Ia juga menyatakan tidak akan mengganti foto profil media sosialnya dengan bendera Topi Jerami, berbeda dengan yang dilakukan sebagian orang, sebab ia merasa sudah cukup memperlihatkan kecintaannya melalui konten.

Mengapa budaya populer kerap digunakan sebagai simbol protes sosial?

Penggunaan simbol atau idiom budaya populer—bahkan simbol netral—seperti kasus bendera One Piece sebagai ekspresi kekecewaan dan protes sosial sejatinya telah berlangsung lama, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Pada Mei 2014, para demonstran di Thailand “meminjam” salam tiga jari ala film Hunger Games sebagai simbol protes terhadap kudeta militer yang dipimpin Jenderal Prayuth Chan-o-cha. Para aktivis Thailand kala itu memaknai ulang salam tiga jari sebagai simbol kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, makna yang berbeda dari film aslinya yang melambangkan penghormatan, perpisahan, kekaguman, dan perlawanan. Sekitar sebulan setelah adaptasi salam tiga jari, Pemerintah Thailand melarang simbol tersebut karena dianggap subversif dan menginspirasi pemberontakan.

Contoh lain adalah simbol semangka sebagai dukungan terhadap Palestina, yang muncul setelah otoritas Israel pada 1967 melarang pengibaran bendera serta penggunaan warna-warna nasional Palestina (merah, hijau, hitam, dan putih). Seniman Palestina menyiasatinya dengan menggambar semangka yang memiliki corak warna serupa dengan bendera Palestina, menjadikannya simbol perlawanan tersembunyi. Simbol ini sempat meredup sebelum kembali muncul dan viral pada Mei 2021 setelah serangan militer Israel ke Gaza.

Khusus di Indonesia, simbol atau istilah yang kerap digunakan untuk menyuarakan kritik antara lain “Wakanda” atau “Konoha”. “Wakanda” merujuk pada negara fiktif dalam dunia Marvel yang dikenal sebagai kampung halaman Black Panther, sementara “Konoha” adalah desa ninja fiktif dalam serial anime/manga Naruto.

Bagaimana pengamat melihat fenomena “meminjam” istilah atau logo budaya populer—bahkan yang netral—sebagai ungkapan kritik atau kekecewaan? Pengamat budaya pop, Hikmat Darmawan, menilai fenomena “pinjam-meminjam” simbol atau istilah ke dalam gerakan sosial adalah hal lazim dan sudah sering terjadi. Ia menambahkan, simbol tersebut tak jarang bersalin rupa dan membentuk makna baru. “Kadang ada unsur repurpose, mengubah untuk kepentingan protes. Itu sudah biasa,” ujar Hikmat. Peminjaman simbol atau istilah budaya populer, menurutnya, juga kerap menjadi siasat agar pesan atau kritik yang disampaikan dapat menjangkau target yang lebih luas. “Kadang bukan soal takut atau represif, tapi karena ingin (pesan) meluas. Agar bisa diterima lebih banyak orang,” katanya.

Dominique Nicky Fahrizal, pengamat politik dan perubahan sosial dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menambahkan bahwa budaya populer sangat lekat dengan mayoritas generasi produktif Indonesia saat ini. Oleh karena itu, penggunaan simbol seperti bendera One Piece adalah hal yang tak terhindarkan, bahkan menjadi langkah efektif untuk menyebarluaskan pesan. “Segmen budaya pop kan banyak, enggak hanya anak muda, tapi juga dewasa muda ada yang masih mengikuti,” kata Nicky, yang juga menggemari anime dan manga. Namun, Nicky meragukan efektivitas kritik dengan meminjam simbol budaya populer untuk menggerakkan massa turun ke jalan. Ia mengatakan simbol-simbol tersebut hanya cukup membuat orang tersadarkan, terpancing untuk mencari tahu, lalu membicarakannya di ruang publik. “Untuk menjaring audiens yang luas, ini efektif. Namun, untuk gerakan masif, butuh organisasi dan gerakan terorganisir,” pungkasnya.

Baca Juga :  Jelajahi 8 Situs Warisan Dunia UNESCO Tersembunyi di India

Bagaimana pemerintah menyikapi seruan pengibaran bendera One Piece?

Kendati gerakan ini berjalan organik, pemerintah dan parlemen justru mengecam fenomena pengibaran bendera One Piece. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, menyebut seruan tersebut sebagai bentuk provokasi yang dapat menurunkan kewibawaan bendera Merah Putih. “Sebagai bangsa yang besar dan menghargai sejarah, kita sepatutnya menahan diri untuk tidak memprovokasi dengan simbol yang tidak relevan,” kata Budi dalam keterangan pers di Jakarta pada 1 Agustus 2025. Lebih lanjut, ia memberikan peringatan mengenai sanksi pidana kepada masyarakat. “Konsekuensi pidana dari tindakan yang mencederai kehormatan bendera Merah Putih. UU Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 24 ayat (1) menyebutkan ‘Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara di bawah bendera atau lambang apa pun’ Ini adalah upaya kita untuk melindungi martabat dan simbol negara,” tegas Budi.

Menariknya, merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2009, tidak ada aturan eksplisit yang melarang pengibaran bendera non-negara seperti bendera fiksi One Piece. Namun, ada ketentuan soal pemasangan dan tata letak. Pasal 17 UU Nomor 24 Tahun 2009 menyatakan bahwa bendera negara tidak boleh lebih rendah atau lebih kecil dari bendera yang disandingkan. Jika dikibarkan bersama bendera organisasi atau simbol non-negara, maka Merah Putih harus lebih tinggi dan berukuran lebih besar, seperti termaktub pada Pasal 21.

Senada dengan Budi, anggota DPR Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menilai seruan itu sebagai bentuk kemerosotan pemahaman ideologi negara, sekaligus provokasi. “Bagian daripada makar mungkin malah itu. Ini harus ditindak tegas,” ujar Firman pada 31 Juli 2025. Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, meminta masyarakat untuk tidak membenturkan Merah Putih dengan bendera Topi Jerami. “Sejak awal saya sampaikan tidak perlu dibenturkan. Ada upaya pecah belah karena banyak generasi tua yang tidak tahu menahu One Piece,” ujar Dasco pada 1 Agustus 2025.

Bagaimana komentar penggemar One Piece atas sikap pemerintah dan DPR?

Arya Novrianus menukas singkat, “Konyol banget sih.” Ia menambahkan, “Enggak mungkin banget bendera One Piece benar-benar bisa memecah belah bangsa. Kenapa setakut ini sama anime dan manga?”

Ketua Komunitas One Piece Jayapura, Ali Maulana, menolak anggapan bahwa bendera Jolly Roger adalah simbol pemberontakan. Menurutnya, kesalahan persepsi ini justru datang dari para pejabat yang terlalu cepat menyimpulkan tanpa memahami konteks budaya populer. “Kalau dikibarkan lebih tinggi dari merah putih, itu jelas salah. Tapi faktanya, bendera ini dikibarkan di bawah merah putih. Jadi tidak ada yang keliru secara hukum,” tegasnya. “Ini bukan pemberontakan. Ini ekspresi kebebasan sipil.” Ia juga menyebut pengibaran bendera One Piece menjelang 17 Agustus sebagai bentuk protes simbolik yang efektif, terutama karena besarnya komunitas penggemar anime di Indonesia. “Ketika bendera dikibarkan serentak, itu menjadi simbol yang kuat. Bahkan anggota DPR sampai tersinggung, berarti pesan kita sampai,” katanya.

Senada dengan Ali dan Arya, Nicky Fahrizal menyebut sikap pemerintah bersikap berlebihan. “Makar itu tuduhan serius. Padahal ini adalah bentuk kepedulian masyarakat terhadap situasi hari ini,” kata Nicky. Sementara Hikmat Darmawan merangkum kritikan pemerintah dan parlemen terhadap fenomena ini dengan mengatakan, “Saya melihat ada jarak antara yang popular dan pemerintah yang sok populis tapi menindas.” “Sekarang, jarak dan pertentangan itu makin keras,” pungkas Hikmat.

  • Influencer dan buzzer: Bagaimana Generasi Z memakai media sosial untuk gerakan sosial dan politik
  • Mengapa lagu band punk Sukatani ‘Bayar Bayar Bayar’ jadi lagu tema demo ‘Indonesia Gelap’?
  • ‘Indonesia belum terang, Indonesia masih kelam’ – Aksi ‘Indonesia Gelap’ menanti langkah konkret pemerintah
  • One Piece: Dari pasar ceruk terkecil menjadi serial anime favorit presiden dan artis internasional
  • Tren gambar ChatGPT ala Studio Ghibli memantik perdebatan di medsos soal hak cipta dan masa depan seni
  • Pengakuan pria yang menikah dengan karakter anime
  • Apa makna semangka bagi rakyat Palestina?
  • Polemik lagu ‘Bayar, Bayar, Bayar’ band Sukatani – Apakah ini akhir ‘pembungkaman’ kritik terhadap polisi?
  • Ahmad Zahir, sensasi budaya pop dan Elvis versi Afghanistan
  • Polemik lagu ‘Bayar, Bayar, Bayar’ band Sukatani – Apakah ini akhir ‘pembungkaman’ kritik terhadap polisi?
  • Apa makna semangka bagi rakyat Palestina?
  • Influencer dan buzzer: Bagaimana Generasi Z memakai media sosial untuk gerakan sosial dan politik

Berita Terkait

Suryadharma Ali Dimakamkan di Pesantren, Menag Ungkap Alasannya!
UMM & Museum Panji Lestarikan Tradisi Lewat Lomba Permainan Rakyat
Bangkok Geger! Penembakan Dekat Chatuchak, Turis Waspada!
26 Situs Warisan Dunia Baru UNESCO: Indonesia Masuk Daftar?
Logo HUT ke-80 RI: Makna Tersembunyi & Proses Kreatif
Iie Sumirat Meninggal Dunia, Ini Profil Legenda Bulu Tangkis Indonesia di Era 1970-an
Profil dan Biodata Marc Marquez, Viral Usai Selebrasi Pacu Jalur
Pangeran Tidur Arab Saudi: Misteri Koma 20 Tahun Terungkap!

Berita Terkait

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 13:52 WIB

One Piece Jadi Simbol Protes: Kenapa Budaya Pop Dipinjam?

Kamis, 31 Juli 2025 - 17:29 WIB

Suryadharma Ali Dimakamkan di Pesantren, Menag Ungkap Alasannya!

Selasa, 29 Juli 2025 - 03:41 WIB

UMM & Museum Panji Lestarikan Tradisi Lewat Lomba Permainan Rakyat

Senin, 28 Juli 2025 - 20:46 WIB

Bangkok Geger! Penembakan Dekat Chatuchak, Turis Waspada!

Rabu, 23 Juli 2025 - 22:17 WIB

26 Situs Warisan Dunia Baru UNESCO: Indonesia Masuk Daftar?

Berita Terbaru

Uncategorized

Ronaldo Beri Titah! Al-Nassr Goda Bruno, MU Panik?

Sabtu, 2 Agu 2025 - 20:15 WIB