Obligasi Dinilai Lebih Menarik di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

- Penulis

Selasa, 18 Februari 2025 - 07:36 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

RAGAMUTAMA.COM – JAKARTA. Di tengah ketidakpastian ekonomi yang tinggi, obligasi kini dinilai lebih menarik dibandingkan instrumen investasi dengan risiko tinggi.

Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto, mengatakan bahwa ketidakpastian ekonomi mendorong investor untuk lebih berhati-hati dan menghindari risiko.

Oleh karena itu, banyak investor memilih untuk mengamankan aset mereka dengan instrumen yang lebih aman, seperti emas dan obligasi.

“Dalam kondisi seperti ini, investor cenderung menghindari risiko dan beralih ke instrumen yang lebih stabil,” ujar Suhindarto kepada Kontan.co.id, Senin (17/2).

Kinerja Obligasi Lebih Positif Dibandingkan Saham

Kinerja pasar mencerminkan sentimen tersebut. Per 14 Februari 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 6,24% sejak awal tahun (YTD).

Sementara indeks obligasi pemerintah naik 2,09% YTD dan indeks obligasi korporasi naik 1,99% YTD.

Obligasi pemerintah mendapat return lebih tinggi karena ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan luar negeri, seperti kebijakan ekonomi Trump dan fluktuasi rupiah yang mempengaruhi aktivitas ekonomi.

Suhindarto menjelaskan bahwa ketidakpastian ini lebih berdampak pada pasar saham dan obligasi korporasi, sementara obligasi pemerintah lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan fiskal pemerintah.

Baca Juga :  IHSG Anjlok 1,05 Persen, Rupiah Justru Menguat: Apa Penyebabnya?

Kebijakan penghematan anggaran yang baru-baru ini diterapkan menjadi katalis positif bagi pasar obligasi pemerintah.

“Penghematan anggaran akan mengurangi tekanan terkait dengan potensi peningkatan pasokan utang, yang dapat memperburuk defisit anggaran dan jumlah utang yang jatuh tempo,” jelasnya.

Prospek Positif untuk Pasar Obligasi Indonesia

Sinyal pelemahan ekonomi juga tercermin dalam turunnya tingkat inflasi yang berada di bawah target Bank Indonesia (BI).

Hal ini meningkatkan kekhawatiran tentang kinerja perusahaan yang berdampak pada persepsi investor terhadap pasar saham dan obligasi korporasi.

Namun, prospek pasar obligasi dinilai positif. Suhindarto menambahkan bahwa jika Trump berhasil mendorong The Fed untuk memangkas suku bunga, ini dapat menurunkan yield US Treasury, yang akan menjadi sentimen positif bagi yield obligasi di dalam negeri.

“Jika premi yang diminta oleh investor asing tetap stabil, maka yield dalam negeri akan turun seiring penurunan yield di AS,” tambahnya.

Selain itu, penurunan yield di AS dapat mendorong investor global untuk mencari outlet baru dengan imbal hasil lebih tinggi.

Baca Juga :  Berdikari Pondasi Perkasa (BDKR) Raih Kontrak Baru dari Proyek Energi Terbarukan

Indonesia menjadi salah satu tujuan utama aliran modal, bersama dengan India, karena Indonesia memiliki perratingan investment grade dan menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara dengan peringkat BBB.

Potensi Arus Modal Masuk ke Indonesia

Suhindarto mengatakan, keunggulan ini pada akhirnya akan menarik arus modal ke pasar domestik, yang akan membantu menurunkan fluktuasi rupiah dan mengurangi risiko translasi.

Sebelumnya, Reuters melaporkan bahwa beberapa trader berharap regulator akan segera meninjau Supplementary Leverage Ratio (SLR), aturan yang mewajibkan bank-bank besar AS untuk memiliki lapisan tambahan modal penyerap kerugian terhadap utang pemerintah AS dan deposito bank sentral.

Perubahan kebijakan ini dapat mendorong imbal hasil Treasury AS lebih rendah.

Pilihan Tenor Pendek dalam Ketidakpastian

Dalam kondisi ketidakpastian ini, Suhindarto juga memandang bahwa tenor pendek akan lebih banyak diburu oleh investor karena lebih kurang rentan terhadap perubahan suku bunga dan ketidakpastian ekonomi.

“Tenor pendek lebih menarik karena risikonya lebih rendah dibandingkan tenor panjang,” tutupnya.

Berita Terkait

Bank DKI Bagi Dividen Rp249,31 Miliar & Siap IPO: Langkah Strategis Menuju Pasar Saham
Sektor Manufaktur China Terkontraksi Signifikan: Data April 2025 Mengkhawatirkan
IHSG Menguat 17,73 Poin, Sentuh 6.766,80: Emas Stabil, Minyak Mentah Melemah
Anjloknya Wall Street: Ekonomi AS Kontraksi di Kuartal Pertama 2025
DHL Investasi Rp37 Triliun Perkuat Logistik Kesehatan Indonesia
Coca-Cola Diboikot: Apa yang Terjadi di Denmark?
Bank DKI Bagi Dividen Jumbo dan Umumkan Rencana IPO
Laba Mayora Indah Melesat: Pendapatan MYOR Kuartal I 2025 Tembus Rp 9,85 Triliun!

Berita Terkait

Kamis, 1 Mei 2025 - 01:36 WIB

Bank DKI Bagi Dividen Rp249,31 Miliar & Siap IPO: Langkah Strategis Menuju Pasar Saham

Kamis, 1 Mei 2025 - 01:11 WIB

IHSG Menguat 17,73 Poin, Sentuh 6.766,80: Emas Stabil, Minyak Mentah Melemah

Rabu, 30 April 2025 - 23:47 WIB

Anjloknya Wall Street: Ekonomi AS Kontraksi di Kuartal Pertama 2025

Rabu, 30 April 2025 - 23:35 WIB

DHL Investasi Rp37 Triliun Perkuat Logistik Kesehatan Indonesia

Rabu, 30 April 2025 - 23:23 WIB

Coca-Cola Diboikot: Apa yang Terjadi di Denmark?

Berita Terbaru

technology

iPhone 17 Pro: Rumor Hilangnya Layar Anti-Reflektif, Benarkah?

Kamis, 1 Mei 2025 - 02:31 WIB

Family And Relationships

Lisa Mariana Bangkit: Endorse Potong Lambung Setelah Dihina?

Kamis, 1 Mei 2025 - 01:59 WIB