Nuklir Iran: Sejarah Kelam, Kerja Sama Rahasia dengan AS Terungkap!

Avatar photo

- Penulis

Minggu, 22 Juni 2025 - 23:33 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Meningkatnya Ketegangan: Mengurai Sejarah dan Status Program Nuklir Iran di Tengah Ancaman Senjata

TEHERAN, RAGAMUTAMA.COM – Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel kembali memanas setelah serangkaian serangan terkait program nuklir Iran. Sepekan usai Israel melancarkan serangan signifikan terhadap wilayah Iran, Amerika Serikat (AS) ikut memperkeruh situasi dengan menyerang tiga lokasi yang diduga terkait fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/6/2024) malam waktu setempat.

Kekhawatiran global terhadap ambisi nuklir Teheran terus menguat, terutama menyoroti percepatan pengayaan uranium. Israel bahkan secara terbuka menuding Iran hampir mencapai tahap akhir dalam pengembangan senjata nuklir, sebuah tuduhan yang dibantah keras oleh Teheran.

Sejarah Panjang Ambisi Nuklir Iran

Untuk memahami lanskap kompleks ini, penting untuk menilik kembali perkembangan utama dalam sejarah program nuklir Iran, yang dirangkum dari kantor berita *AFP*:

Program nuklir Iran pertama kali bergulir pada akhir 1950-an, di bawah pemerintahan Shah Iran, Mohammad Reza Pahlavi. Kala itu, Iran menjalin kerja sama teknis dengan Amerika Serikat dalam pengembangan nuklir sipil. Iran kemudian meratifikasi Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) pada 1970, sebuah langkah yang mewajibkannya melaporkan semua bahan nuklir kepada Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Namun, bayang-bayang keraguan mulai menyelimuti pada awal tahun 2000-an ketika diketahui adanya fasilitas nuklir yang tidak dilaporkan. Laporan IAEA pada 2011 bahkan menyebutkan, berdasarkan informasi intelijen yang dinilai kredibel, Iran melakukan aktivitas terkait pengembangan alat peledak nuklir setidaknya hingga tahun 2003.

Kesepakatan Nuklir yang Gagal Dipertahankan: Harapan dan Kejatuhan

Setelah sempat menghentikan pengayaan uranium, Iran memulai perundingan intensif dengan negara-negara Eropa, yang kemudian diperluas melibatkan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB—yakni Amerika Serikat, Inggris, China, Rusia, dan Perancis—serta Jerman, kelompok yang dikenal sebagai P5+1. Perundingan selama 21 bulan akhirnya membuahkan kesepakatan bersejarah pada 14 Juli 2015 di Wina, Austria, yang dikenal sebagai *Joint Comprehensive Plan of Action* (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran.

Baca Juga :  Dramatis di Belize: Warga AS Tikam Tiga Orang, Penumpang Lumpuhkan Pembajak Pesawat

Perjanjian ini adalah sebuah terobosan yang membatasi program nuklir Iran secara signifikan, dengan imbalan pencabutan sanksi internasional. Namun, nasib kesepakatan itu berbalik drastis setelah Presiden AS saat itu, Donald Trump, menarik diri secara sepihak dari perjanjian pada 8 Mei 2018 dan kembali memberlakukan sanksi berat terhadap Iran.

Eskalasi Pengayaan Uranium: Respons dan Konsekuensi

Sebagai respons terhadap langkah Washington, Iran kembali meningkatkan aktivitas nuklirnya. “Seolah-olah jubah merah dikibarkan di depan seekor banteng,” ujar Clement Therme, seorang peneliti dari Institut Internasional Rasanah untuk Studi Iran. Menurut Therme, Iran menerapkan “strategi eskalasi” untuk menekan pihak Barat dan meringankan dampak sanksi. Ironisnya, strategi ini justru menimbulkan beban ekonomi yang besar bagi Teheran.

Iran mulai melampaui batas pengayaan uranium yang ditetapkan dalam JCPOA, dari 3,67 persen menjadi 5 persen. Tingkat pengayaan kemudian meningkat tajam menjadi 20 persen, dan pada 2021 bahkan mencapai 60 persen—hanya satu langkah lagi menuju tingkat 90 persen yang dibutuhkan untuk senjata nuklir.

Persediaan uranium Iran juga membengkak signifikan. Padahal, JCPOA membatasi jumlah maksimal hanya 202,8 kilogram. Saat ini, persediaan Iran diyakini mencapai lebih dari 45 kali lipat dari batas tersebut. Selain itu, Iran memperluas jumlah sentrifugal dan menggunakan teknologi yang lebih canggih untuk mempercepat produksi bahan nuklir.

Baca Juga :  Trump Tunda Larangan TikTok: Apa Artinya Bagi Pengguna Indonesia?

Upaya diplomatik untuk menghidupkan kembali kesepakatan melalui perundingan yang dimediasi Eropa belum menunjukkan kemajuan berarti sejak musim panas 2022. Meskipun demikian, setelah Donald Trump kembali mencalonkan diri sebagai presiden, pembicaraan sempat berlanjut di Oman pada April 2024. Namun, Teheran mengecam serangan terbaru Israel ke beberapa situs militer dan nuklir sebagai “pukulan” bagi proses perundingan. Kementerian Luar Negeri Iran juga mengecam pemboman oleh AS, dengan menyatakan bahwa Washington “tidak segan melanggar hukum demi mendukung Israel.”

Di Balik Kekhawatiran: Tidak Ada Bukti Program Senjata Nuklir Aktif?

Dalam laporan triwulanan terbarunya pada akhir Mei, IAEA menyampaikan kekhawatiran serius terhadap aktivitas nuklir Iran. Badan PBB itu mencatat bahwa Iran menjadi satu-satunya negara non-nuklir yang memperkaya uranium hingga tingkat 60 persen.

Secara teoritis, bahan uranium Iran yang telah diperkaya hampir mencapai tingkat senjata bisa digunakan untuk membuat sembilan bom nuklir, jika prosesnya dilanjutkan. Namun, IAEA menegaskan bahwa hingga kini belum ada bukti adanya “program sistematis” untuk memproduksi senjata nuklir.

Senada dengan itu, Direktur Intelijen Nasional AS, Tulsi Gabbard, dalam sidang Senat pada Maret lalu, menyatakan bahwa Iran tidak secara aktif membangun senjata nuklir. Iran sendiri secara konsisten membantah memiliki ambisi tersebut dan mengutip fatwa dari Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei yang melarang penggunaan senjata atom dalam ajaran Islam.

Berita Terkait

Suriah Mundur Atas Desakan AS: Hindari Perang dengan Israel!
Suriah Mundur! Serangan Israel Paksa Penarikan Pasukan dari Druze
Komisi III: RUU KUHAP Berpotensi Gagal Disahkan
Israel Bombardir Suriah, Istana Presiden hingga Markas Militer Jadi Target
Impor Pertanian AS: Trump Klaim RI Setuju, Pengamat Wanti-Wanti
Prabowo Telepon Trump: Tarif Impor Dibahas, Era Baru Ekonomi?
HUT RI ke-80: Istana Pilih Jakarta, IKN Belum Jadi Lokasi Upacara!
Akhirnya! Trump Turunkan Tarif Impor Produk Indonesia ke AS Jadi 19 Persen, Tapi Indonesia Wajib Beli 50 Pesawat Boeing

Berita Terkait

Kamis, 17 Juli 2025 - 21:17 WIB

Suriah Mundur Atas Desakan AS: Hindari Perang dengan Israel!

Kamis, 17 Juli 2025 - 11:05 WIB

Suriah Mundur! Serangan Israel Paksa Penarikan Pasukan dari Druze

Kamis, 17 Juli 2025 - 08:34 WIB

Komisi III: RUU KUHAP Berpotensi Gagal Disahkan

Kamis, 17 Juli 2025 - 08:04 WIB

Israel Bombardir Suriah, Istana Presiden hingga Markas Militer Jadi Target

Rabu, 16 Juli 2025 - 23:29 WIB

Impor Pertanian AS: Trump Klaim RI Setuju, Pengamat Wanti-Wanti

Berita Terbaru

entertainment

7 Rekomendasi Film Thriller yang Dibintangi Kurt Russell

Jumat, 18 Jul 2025 - 08:04 WIB

technology

Nvidia Puji AI China Sebagai Teknologi Kelas Dunia

Jumat, 18 Jul 2025 - 07:59 WIB