Aktris kawakan Nirina Zubir secara blak-blakan mengakui sempat terpuruk dalam kondisi *burn out* yang parah, sebuah pengalaman yang ia alami setelah menjalani empat proyek film besar secara maraton tanpa henti. Kesibukan luar biasa dalam menyelesaikan rentetan proyek tersebut berdampak signifikan pada kesehatan fisik dan mentalnya, membuatnya merasa benar-benar ‘drop’.
Sebagai respons, Nirina memutuskan untuk menarik diri sejenak dari sorotan publik. “Setelah keempat proyek itu selesai, aku memang sempat menghilang dulu, tujuannya untuk menguatkan mental lagi,” ungkap Nirina saat ditemui wartawan di Cikini, Jakarta Pusat. Ia menambahkan, “Kehidupan ini bukan hanya soal pekerjaan, ternyata ada juga kasus-kasus lain yang harus diselesaikan.”
Kelelahan yang mendalam, baik secara fisik maupun emosional, membuat Nirina mencapai titik di mana ia benar-benar kehilangan gairah untuk melakukan apa pun. “Sebagai manusia biasa, kemarin memang sempat merasakan *burn out*,” tutur bintang film “Paranoia” ini. Ia mengakui, kondisinya saat itu membuatnya “menghilang”, tubuhnya seakan enggan bergerak, tidak ingin keluar rumah, bahkan menolak bertemu teman. Keadaan ini berlangsung selama dua bulan penuh.
Tak hanya itu, motivasi Nirina untuk berolahraga, aktivitas yang biasa ia nikmati, turut lenyap. Istri dari musisi Ernest Cokelat ini memutuskan untuk benar-benar rehat selama dua bulan, tak melakukan aktivitas berarti. Bahkan, ia mengakui kondisi mentalnya begitu parah hingga “hampir seminggu lebih tidak mau mandi”.
Meskipun banyak pihak yang menyarankannya untuk mencari bantuan profesional, Nirina menolak mentah-mentah. Keinginannya untuk berinteraksi dengan orang lain, termasuk teman-teman terdekatnya, sirna sepenuhnya. Suaminya, Ernest Cokelat, pun sempat berupaya membujuknya untuk melakukan aktivitas ringan demi memperbaiki suasana hati. Namun, ajakan itu tak mampu menarik minat Nirina. “Bahkan saat itu suami sempat bertanya, ‘Yuk, kita jalan kaki aja keliling komplek?’, dan aku langsung jawab ‘Enggak’,” kenang Nirina. Jawaban itu sontak mengejutkan Ernest, mengingat Nirina dikenal sebagai sosok yang disiplin dalam berolahraga. “Dia sampai kaget, ‘Hah enggak? Kamu enggak pernah bilang enggak loh buat olahraga!’. Tapi aku cuma bisa bilang, ‘Ya, tapi kali ini enggak tahu, badannya kayak enggak mau’,” imbuhnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, setelah periode rehat dua bulan yang penuh perjuangan, Nirina perlahan mulai membuka diri. Ia kembali menjalin komunikasi dengan teman-teman, termasuk beberapa yang berprofesi sebagai psikiater dan psikolog. Dari mereka, Nirina mendapatkan pemahaman bahwa kondisi *burn out* memang memiliki momen dan prosesnya sendiri.
Bagi Nirina, pengalaman pahit ini menjadi sebuah proses pembelajaran berharga sekaligus pengingat penting bahwa tubuh dan pikiran memiliki batas dan mutlak membutuhkan istirahat. Ia memaknai periode ini sebagai teguran Ilahi. “Aku sih merasanya ke diri sendiri, kalau ini salah satu cara Tuhan untuk ‘istirahat dulu, ya, kamu’,” ujarnya bijak. Nirina mengakui bahwa saat itu ia merasa di titik terendah, dengan pekerjaan yang kosong, namun dihadapkan pada banyak kasus pribadi yang belum terselesaikan, dan pengeluaran yang terus berjalan. “Jadi makin ‘woaahh’ ke bawah, ke bawah,” tutupnya, menggambarkan betapa beratnya tekanan yang ia rasakan.