Wall Street Bergejolak: Ketegangan AS-Iran Bayangi Pasar Saham, Investor Cermati Harga Minyak dan Suku Bunga
Wall Street di ambang ketegangan! Para investor pasar saham Amerika Serikat (AS) bersiap menghadapi potensi aksi jual besar-besaran pada Senin mendatang. Kekhawatiran ini mencuat menyusul serangan yang dilancarkan AS terhadap Iran, yang memicu spekulasi akan pembalasan dan lonjakan harga minyak global.
Fokus pasar global kini tertuju pada dinamika geopolitik di Timur Tengah. Keputusan mendadak Presiden Donald Trump untuk terlibat dalam kampanye militer Israel melawan Iran telah memicu kekhawatiran serius di kalangan investor. Mereka tengah mengevaluasi dampaknya terhadap sentimen pasar, laju inflasi, dan arah kebijakan suku bunga.
Steve Sosnick, Kepala Strategi Pasar di Interactive Brokers, Connecticut, menegaskan bahwa reaksi pasar saham cenderung negatif. Namun, skala dampaknya sangat bergantung pada respons Iran dan fluktuasi harga minyak mentah. “Yang sebenarnya kita amati adalah efek sekunder: harga minyak, stabilitas pasar, dan potensi kenaikan harga di seluruh ekonomi. Tidak ada saham global yang signifikan secara langsung terdampak oleh peristiwa ini secara instan,” jelas Sosnick, menekankan pentingnya faktor tidak langsung.
Sebelum gejolak ini, Indeks S&P 500 (.SPX), sebagai salah satu indeks acuan utama AS, telah menunjukkan pemulihan yang signifikan dari aksi jual pada awal April, terutama setelah meredanya ketegangan tarif. Meski demikian, indeks ini masih berada sedikit di bawah puncaknya pada Februari, sekitar 2,7 persen di bawah level penutupan tertingginya. Selama 27 sesi perdagangan terakhir, S&P 500 telah bergerak dalam jarak 5 persen dari rekor Februari, namun belum berhasil mencetak rekor baru, menandakan fase konsolidasi yang rapuh.
Dampak langsung dari konflik Israel-Iran telah terlihat jelas pada kenaikan tajam harga minyak, memicu kewaspadaan di pasar global. Meskipun pasar minyak hingga kini relatif mampu menyerap gejolak geopolitik tanpa menggoyahkan pasar ekuitas secara signifikan, investor saham tetap mencemaskan implikasi jangka panjangnya. Kenaikan harga minyak yang berkelanjutan berpotensi memicu inflasi, yang pada gilirannya dapat mengganggu rencana Federal Reserve (The Fed) untuk memangkas suku bunga. Meskipun The Fed baru saja mempertahankan suku bunga stabil pada hari Rabu lalu dan mengisyaratkan adanya penurunan biaya pinjaman tahun ini, mereka juga memperingatkan bahwa laju pemangkasan suku bunga mungkin akan lebih lambat dari proyeksi mereka pada pertemuan Maret sebelumnya.
Dalam jangka pendek, para investor memperkirakan ketegangan di Timur Tengah akan memicu kegugupan dan mendorong pergeseran modal ke aset-aset yang dianggap lebih aman, seperti dolar AS dan obligasi pemerintah. Namun, ada pula pandangan yang lebih optimistis, memprediksi potensi deeskalasi dalam situasi tersebut.
Mark Malek, Kepala Investasi Siebert Financial, mengungkapkan pandangan positif terhadap pasar saham jika konflik ini bersifat ‘sekali dan selesai’. “Saya pikir ini akan sangat positif bagi pasar saham. Ini akan memberikan keyakinan, terutama karena tampaknya ini adalah situasi yang hanya terjadi sekali dan selesai, bukan seolah-olah AS sedang mencari konflik yang berlarut-larut,” ujar Malek, menyoroti pentingnya resolusi cepat.
Di samping dinamika geopolitik, fokus investor juga akan terbagi pada serangkaian rilis data ekonomi penting yang akan datang. Data aktivitas bisnis dan penjualan perumahan AS akan dirilis pada Senin, diikuti oleh angka keyakinan konsumen pada Selasa, dan puncaknya adalah Indeks Harga Pengeluaran Konsumsi Pribadi (PCE) pada Jumat, yang merupakan indikator inflasi favorit The Fed.