Di jantung kota Roma, nama Francesco Totti terukir abadi sebagai ‘Pangeran Abadi’ dan arsitek lapangan yang mengubah sepak bola menjadi sebuah seni. Selama dua dekade, sejak tahun 1990-an, ia menjadi jantung, jiwa, dan suara Stadion Olimpico, mengukir sejarah tidak hanya untuk AS Roma, tetapi juga bagi sepak bola Italia dengan menjuarai Piala Dunia 2006. Ketika sang legenda gantung sepatu, duka menyelimuti Roma, namun bersamaan dengan itu muncul harapan baru: Cristian Totti, sang putra mahkota, yang digadang-gadang akan melanjutkan warisan kebesaran ayahnya. Cristian, putra sulung Totti, menapaki jalur yang sama, tumbuh besar di akademi Roma, di tempat ayahnya pernah menaklukkan dunia. Setiap sentuhan bola dan langkahnya seolah dipantau oleh jutaan pasang mata, dibebani oleh bayang-bayang seorang maestro, memicu ekspektasi tinggi akan kelanjutan dinasti sepak bola yang gemilang.
Namun, harapan itu menemui kenyataan pahit pada 30 Juli lalu. Bukan dengan klimaks dramatis, melainkan melalui pengumuman yang mengejutkan dan sunyi. Di usia yang baru menginjak 19 tahun, Cristian Totti secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia sepak bola profesional. Keputusan ini datang saat ia masih berjuang di tim kasta keempat Liga Italia, Olbia. Sebuah akhir yang ironis dan tragis bagi sebuah perjalanan yang semula diharapkan menjadi babak baru dalam sejarah dinasti Totti. Kisah Cristian Totti ini menjadi cerminan pahit dari realitas yang sering terabaikan: bahwa nama besar dan warisan genetik tidak serta-merta menjamin kesuksesan di lapangan hijau. Ia adalah salah satu dari sekian banyak talenta muda yang harus berjuang melawan bayang-bayang raksasa, ekspektasi yang terlalu berat, dan mimpi yang akhirnya harus dikubur dalam-dalam. Kisahnya membuka lembaran lain tentang para putra legenda yang harus menerima kenyataan bahwa takdir tidak selalu berpihak pada anak-anak pahlawan.
Perjalanan Cristian Totti di lapangan hijau adalah sebuah narasi tentang harapan yang perlahan terkikis oleh realitas. Mengawali karier juniornya di akademi AS Roma, tempat ayahnya menorehkan legenda, Cristian terus-menerus diamati oleh publik yang haus akan keajaiban serupa. Namun, Cristian memiliki gaya bermain yang berbeda, seorang striker yang kesulitan menemukan ritme dan ketajamannya, kurang memiliki sentuhan magis yang menjadi ciri khas Francesco Totti. Setelah bertahun-tahun di Roma, ia sempat mencoba peruntungan di tim junior Frosinone sebelum akhirnya berlabuh di klub Serie D, Olbia, pada musim 2023-2024. Di level amatir inilah, di tengah perjuangan untuk meniti karier profesional, Cristian Totti mengambil keputusan yang sangat berat. Pensiun di usia yang begitu muda seolah menjadi pengakuan bahwa jalan yang dihadapinya terlalu terjal dan beban nama Totti terlalu berat untuk dipikul. Ini adalah penutup yang sunyi bagi sebuah trah yang seharusnya mampu mengaum di kancah sepak bola. “Saya tidak bisa mengatakan banyak, tapi saya mengonfirmasi bahwa saya pensiun. Saya tidak akan bermain sepak bola lagi,” ujar Cristian dalam sebuah wawancara dengan La Nouva, seperti dikutip oleh Kompas.com.
Meski tidak lagi merumput, Cristian Totti tetap akan berkutat di dunia sepak bola. Ia dikabarkan akan bergabung dengan sang kakak, Riccardo, untuk mengelola Totti Soccer School, sebuah sekolah sepak bola milik keluarga Totti di Italia. Langkah ini menandai babak baru dalam hidupnya, tetap terhubung dengan olahraga yang dicintainya, meski dengan peran yang berbeda.
Kisah yang dialami Cristian Totti bukanlah sebuah anomali. Sejarah panjang sepak bola dipenuhi dengan narasi serupa, di mana anak-anak dari para pesepak bola legendaris kesulitan, bahkan gagal, mencapai level kehebatan yang setara dengan ayah mereka. Ambil contoh Brooklyn, Romeo, dan Cruz Beckham, putra-putra dari ikon global David Beckham. Meski sempat mencoba peruntungan di lapangan hijau, tak satupun dari mereka berhasil menembus tim utama dan akhirnya beralih ke jalur karier lain, dari fotografi hingga dunia modeling. Ada pula Enzo, Luca, dan Theo Zidane, ketiga putra dari maestro lini tengah Zinedine Zidane. Ketiganya sempat mengenyam pengalaman bermain di Real Madrid, namun tak pernah benar-benar mampu keluar dari bayang-bayang kehebatan ayah mereka, sehingga harus merantau ke berbagai klub lain dengan karier yang cenderung stagnan. Kemudian ada Diego Sinagra, putra dari legenda Diego Maradona, yang bakatnya sempat terlihat namun karier profesionalnya jauh dari kata cemerlang. Ia lebih dikenal karena kontroversi dan warisan nama besar ayahnya ketimbang prestasi di lapangan.
Melihat kembali kasus Cristian Totti dan tantangannya dalam meneruskan kejayaan Francesco, Marco Amelia, mantan pelatihnya sekaligus rekan setim Francesco Totti, memberikan pandangannya. “Menurut saya, dia bisa punya karier bagus di Serie C atau Serie B. Tapi menjadi anak Totti berdampak pada penilaian orang. Tekanannya terlalu besar,” ujarnya, seperti dikutip dari Kompas.com. Di era media sosial seperti sekarang, kritikan dan perbandingan langsung antara anak dan ayah dapat dengan mudah dilontarkan oleh banyak orang. Tekanan eksternal ini, yang datang dari ekspektasi publik dan perbandingan tanpa henti, disinyalkan menjadi faktor besar yang memengaruhi sisi mental sang anak, menghambat mereka untuk mengembangkan bakat sepenuhnya, terlepas dari potensi atau keterampilan yang mereka miliki.
Di sisi lain, ada beberapa nama yang berhasil membuktikan bahwa warisan genetik terkadang justru menjadi jembatan menuju kesuksesan, bahkan melampaui kebesaran ayah mereka. Erling Haaland, putra dari Alf-Inge Haaland, kini telah menjelma menjadi salah satu striker paling mematikan di dunia, sebuah pencapaian yang jauh melampaui karier ayahnya. Kemudian ada Marcus Thuram, putra dari bek legendaris Prancis Lilian Thuram, yang telah menjadi penyerang andalan Inter Milan dan tim nasional Prancis. Bersama adiknya, Khephren Thuram, yang bermain untuk Juventus, duo bersaudara ini tengah menapaki dominasi mereka di Serie A, melanjutkan kejayaan nama keluarga Thuram.
Sementara itu, generasi baru anak-anak pesepak bola tengah meniti karier mereka dengan penuh perjuangan, membuat publik menanti apakah mereka mampu memecahkan “kutukan” yang seolah menaungi anak-anak legenda. Sebut saja Daniel Maldini, putra dari legenda AC Milan, Paolo Maldini, yang kini berjuang di level atas Serie A bersama Atalanta dan telah mencatatkan penampilan untuk Timnas Azzurri, berusaha membuktikan diri layak meneruskan nama besar ayahnya. Ada juga Robinho Jr., putra dari mantan pemain Real Madrid, Manchester City, dan AC Milan, yang menunjukkan potensi besar di kompetisi U-20 Brasil bersama Santos dan kini mendapat perlindungan khusus dari banyak pesepak bola Brasil agar tidak terkontaminasi oleh kasus yang menimpa ayahnya. Dari Brasil pula, Enzo Alves, putra dari Marcelo, telah menunjukkan bakat luar biasa di akademi Real Madrid sebagai striker predator. Dan yang paling dinanti, tentu saja kelanggengan trah Cristiano Ronaldo Jr., putra dari megabintang Cristiano Ronaldo, yang digadang-gadang memiliki bakat istimewa dan kini diasah di akademi Al Nassr.
Beban yang dipikul Cristiano Ronaldo Jr. mungkin akan jauh lebih besar daripada yang pernah dirasakan Cristian Totti. Potensi untuk terus dibandingkan dengan ayahnya tidak akan pernah lekang, namun dengan tekad dan perjuangan yang tak henti, ia memiliki kesempatan untuk menapaki jalan kariernya sendiri dengan gemilang, membuktikan bahwa warisan tidak selalu menjadi beban, melainkan bisa menjadi inspirasi.