Antusiasme Gen Z Dominasi Pasar Modal: LPS dan OJK Soroti Rendahnya Literasi Keuangan dan Risiko Penipuan Digital
Generasi Z kini menjadi kekuatan dominan di pasar keuangan Indonesia. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, lebih dari separuh atau 55 persen dari 16,2 juta investor di pasar modal adalah generasi muda, dengan 6,87 juta di antaranya aktif berinvestasi saham. Angka ini secara jelas menunjukkan antusiasme yang luar biasa dari kaum muda untuk terlibat dalam dunia investasi.
Namun, antusiasme tinggi ini tidak sejalan dengan tingkat pemahaman yang memadai. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 mengindikasikan bahwa kelompok usia 15-17 tahun memiliki indeks literasi keuangan terendah, hanya 51,68 persen, meskipun inklusi keuangan mereka mencapai 74 persen. Fenomena ini mengisyaratkan kurangnya pemahaman fundamental terhadap produk-produk keuangan, sebuah celah yang berpotensi menimbulkan risiko bagi investor muda.
Menyikapi kondisi ini, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan bahwa minat tinggi generasi muda terhadap pasar keuangan belum diimbangi dengan pemahaman yang komprehensif mengenai pasar modal dan sistem keuangan secara keseluruhan. Oleh karena itu, membekali Gen Z dengan pengetahuan yang lebih mendalam menjadi krusial. Pemahaman yang matang akan memberdayakan para investor muda untuk mengambil keputusan finansial dan investasi yang lebih bijak.
Dalam acara Putih Abu-Abu Financial Festival 2025 di Sasana Kriya Taman Mini Indonesia Indah, Sabtu (31/5), Purbaya menyatakan, “Hampir 50 persen di pasar modal itu dari anak-anak SMA (Gen Z) ini yang mereka haus investasi, tapi pembekalannya masih relatif kurang.” Pernyataan ini menyoroti urgensi edukasi finansial bagi pelajar SMA yang mulai aktif berinvestasi.
Melihat potensi dan tantangan ini, LPS aktif berupaya menjangkau generasi muda, khususnya pelajar SMA yang semakin menunjukkan minat berinvestasi. Dengan pemahaman yang kokoh tentang pengelolaan investasi dan keuangan pribadi, kualitas hidup mereka di masa depan diharapkan dapat meningkat signifikan. Sejalan dengan upaya tersebut, LPS turut menggalakkan kembali budaya menabung kepada lebih dari 1.300 siswa SMA, sebagai fondasi awal membangun kebiasaan finansial yang sehat.
Purbaya menambahkan bahwa generasi muda Indonesia memiliki potensi yang luar biasa, ditandai dengan kemampuan adaptasi yang cepat, keterbukaan terhadap teknologi, serta semangat belajar yang tinggi. “Yang dibutuhkan sekarang adalah pembekalan soal bagaimana mengelola keuangan dengan benar sejak usia sekolah,” tegasnya, menekankan pentingnya intervensi edukasi sejak dini.
Kebiasaan finansial sederhana seperti mencatat setiap pengeluaran, menyisihkan sebagian uang jajan, hingga mengenali produk keuangan yang aman, menurut Purbaya, akan sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku finansial jangka panjang. Jika pembekalan ini diberikan sejak dini, para pelajar akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cakap secara digital, namun juga bijak secara finansial dan mampu mengelola kekayaan pribadi mereka secara efektif.
Ia menambahkan, “Kalau sejak SMA mereka sudah paham cara menabung, tahu pentingnya dana darurat, dan kenal risiko pinjaman, maka di usia 25 tahun ke atas mereka bisa jauh lebih siap menghadapi realitas hidup.” Pesan ini menggarisbawahi pentingnya fondasi keuangan yang kuat sejak masa remaja untuk kesiapan menghadapi tantangan kehidupan dewasa.
Bergeser ke ranah keuangan digital, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, turut menyoroti pergeseran lanskap finansial. Ia menekankan bahwa kehadiran teknologi revolusioner seperti *blockchain*, kecerdasan buatan (*artificial intelligence*), dan *big data* telah membuka berbagai peluang sekaligus menimbulkan tantangan baru dalam pengelolaan keuangan. Dalam konteks ini, generasi muda, khususnya Gen Z, memegang peran strategis sebagai katalis utama transformasi digital sektor keuangan di Indonesia.
Hasan Fawzi secara tegas menyatakan, “Sebagai agen perubahan dan ujung tombak transformasi digital, literasi keuangan digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendasar untuk menghadapi ekosistem keuangan yang terus berkembang.” Ini menandakan bahwa pemahaman mendalam tentang ekosistem keuangan digital adalah prasyarat bagi Gen Z untuk berpartisipasi aktif dan aman.
Kekhawatiran yang disampaikan Hasan Fawzi beralasan, mengingat tingginya angka penipuan di sektor keuangan digital yang sejalan dengan rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia. Data dari Indonesia Anti Scam Center (IASC) per Maret 2025 mengungkapkan fakta mencengangkan: hampir 80 ribu laporan penipuan keuangan tercatat, dengan total kerugian mencapai Rp 1,7 triliun. Angka ini menjadi alarm serius bagi semua pihak.
Oleh karena itu, Hasan Fawzi menekankan, “Pemahaman mengenai legalitas, logika investasi, dan risiko harus menjadi dasar masyarakat sebelum memilih produk keuangan digital.” Pesan ini menjadi penutup yang kuat, mengingatkan pentingnya berhati-hati dan membekali diri dengan pengetahuan sebelum terjun ke dalam produk keuangan, terutama di era digital yang dinamis.