Produser film animasi *Merah Putih: One for All*, Toto Soegriwo, secara tegas membantah tuduhan penerimaan dana pemerintah sebesar Rp 6,7 miliar untuk produksi filmnya. Klarifikasi ini disampaikan di tengah kencangnya diskursus di media sosial yang menghujani film yang sedianya tayang pada 14 Agustus ini dengan berbagai kritik.
Melalui akun X pribadinya, @totosoegriwo, Toto Soegriwo secara lugas membantah keras tudingan tersebut, menyebutnya sebagai fitnah keji dan informasi yang tidak berdasar. “Kami tidak pernah menerima satu rupiah pun dana dari pemerintah,” tegas Toto, sebagaimana yang dilihat Tempo pada Selasa, 12 Agustus 2025. Ia juga mengimbau publik untuk tidak mudah menyebarkan informasi yang belum terverifikasi, mengingat dampak serius yang ditimbulkan. Tuduhan tak berdasar ini, menurut Toto, tidak hanya merugikan dirinya secara pribadi, tetapi juga berdampak pada keluarganya. “Istri dan anak-anak saya kini mengalami tekanan mental dan rasa tertekan akibat hujatan yang tersebar,” ungkapnya penuh keprihatinan.
Toto Soegriwo menambahkan bahwa Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, sebelumnya telah memberikan klarifikasi terkait dugaan adanya fasilitas pemerintah untuk mendukung penayangan film ini. Toto menjelaskan, pertemuan dengan Irene Umar hanya sebatas pemberian masukan seputar cerita, pengembangan karakter, aspek visual, trailer, serta elemen kreatif lainnya. “Beliau tidak memberikan bantuan finansial maupun fasilitas promosi kepada film ini,” jelas Toto. Pihak Perfiki Kreasindo, rumah produksi film ini, juga menegaskan tidak pernah terlibat dalam tindakan korupsi atau penyalahgunaan aliran dana dalam proses produksi, sebagaimana isu yang beredar. Mereka kembali menyerukan kepada masyarakat dan warganet untuk menghentikan penyebaran informasi palsu serta segala bentuk fitnah dan serangan yang tidak berdasar.
Film animasi *Merah Putih: One for All*, yang diagendakan tayang di bioskop pada Kamis, 14 Agustus mendatang, dan dirancang untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, justru menghadapi gelombang kritik bukannya antusiasme. Perbincangan di media sosial menyoroti kualitas visual film yang dianggap jauh dari standar layar lebar. Salah satu adegan yang menjadi perhatian adalah penampakan senjata api yang tersimpan di gudang desa, terlihat jelas dalam trailer film. Kontroversi semakin meruncing dengan pengakuan Toto Soegriwo dalam unggahan yang kini telah dihapus, bahwa waktu pengerjaan film animasi ini terbilang sangat singkat, kurang dari satu bulan. Di sisi lain, rumor biaya produksi sebesar Rp 6,7 miliar juga turut mewarnai perdebatan sengit seputar film ini.
Kritikan terhadap *Merah Putih: One for All* juga datang dari sutradara ternama, Hanung Bramantyo. Melalui akun Instagram @hanungbramantyo, ia mengungkapkan keheranannya mengapa film animasi ini bisa mendapatkan slot tayang di bioskop, sementara banyak film Indonesia berkualitas lain harus mengantre panjang. Hanung secara blak-blakan menilai kualitas film ini jauh di bawah standar industri perfilman, yang menurutnya terlihat jelas dari trailer yang terkesan seadanya. “Kalau itu ditayangkan, sudah pasti penonton akan resisten,” prediksi Hanung pada Selasa, 12 Agustus 2025. Ia bahkan membandingkan anggaran produksi film animasi di Indonesia yang lazimnya membutuhkan Rp 30-40 miliar, belum termasuk biaya promosi, dengan angka yang dikabarkan untuk film ini, menyoroti disparitas yang mencolok.
Di balik segala polemik yang menyertainya, film animasi *Merah Putih: One for All* sejatinya mengusung narasi yang sarat nilai kebangsaan. Kisahnya berpusat pada delapan anak dari berbagai latar belakang budaya yang bersatu dalam misi pencarian bendera pusaka merah putih yang hilang menjelang pengibarannya pada 17 Agustus. Dengan semangat keberanian, kerja sama, dan patriotisme, film ini berusaha menyampaikan pesan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan justru sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan bersama.