Mahfud MD Bongkar Arti Abolisi ke Tom Lembong: Apa Itu?

Avatar photo

- Penulis

Jumat, 1 Agustus 2025 - 07:30 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Berita mengejutkan datang dari kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, pada Kamis malam, 31 Juli 2025, mengumumkan persetujuan DPR atas permohonan abolisi yang diajukan untuk Thomas Trikasih Lembong, atau lebih dikenal sebagai Tom Lembong. Bersamaan dengan itu, DPR juga menyetujui pemberian amnesti bagi Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto. Keputusan ini diambil setelah rapat konsultasi, di mana DPR memberikan pertimbangan dan persetujuan atas surat Presiden Prabowo Subianto Nomor R43/Pres 07.2025 tertanggal 30 Juli 2025 yang khusus mengusulkan abolisi bagi Tom Lembong, terpidana kasus korupsi impor gula.

Tom Lembong, melalui kuasa hukumnya, Ari Yusuf Amir, segera menyambut baik keputusan tersebut dengan apresiasi tinggi. Pada Kamis malam, 31 Juli 2025, Ari menyatakan bahwa langkah pemerintah dan DPR ini merupakan wujud kepedulian kepala negara terhadap penegakan hukum di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa setelah persetujuan abolisi dari DPR, kliennya kini hanya menanti diterbitkannya Keputusan Presiden sebagai langkah final. Menurut Ari, pemberian abolisi ini menegaskan kehadiran negara dalam menanggapi “permasalahan dalam proses hukum” yang dirasakan banyak pihak terkait kasus Tom Lembong.

Untuk memberikan gambaran lebih jelas, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dalam kanal YouTube Mahfud MD Official pada Kamis, 31 Juli 2025, menjelaskan perbedaan krusial antara abolisi dan amnesti. Abolisi, yang diberikan kepada Tom Lembong, didefinisikan sebagai penghentian total terhadap proses hukum yang sedang berjalan terhadap seseorang. Sementara itu, amnesti, yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto, adalah peniadaan segala akibat hukum dari sebuah pemidanaan, yang pada intinya juga berarti pembebasan. Menurut Mahfud, dengan persetujuan DPR, baik Tom Lembong maupun Hasto Kristiyanto kini tinggal menunggu penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) yang akan secara resmi mengukuhkan pemberian abolisi dan amnesti tersebut.

Keputusan abolisi ini tidak lepas dari kontroversi dan diskusi publik yang mengelilingi kasus korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong. Sebelumnya, pada sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, majelis hakim telah menetapkan kerugian negara sebesar Rp 194,72 miliar dalam kasus importasi gula di Kementerian Perdagangan periode 2015-2016. Hakim anggota Alfis Setiawan, pada Sabtu, 19 Juli 2025, menjelaskan bahwa angka kerugian negara tersebut merujuk pada keuntungan yang seharusnya diperoleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI, sebuah entitas yang merupakan bagian dari *holding* BUMN pangan ID Food.

Menariknya, penetapan kerugian negara oleh hakim ini berbeda signifikan dengan dakwaan jaksa penuntut umum yang sebelumnya menduga kerugian mencapai Rp 578,1 miliar. Perbedaan ini muncul karena majelis hakim tidak memasukkan selisih pembayaran bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) gula kristal putih dan mentah senilai Rp 320,69 miliar sebagai bagian dari kerugian negara. Hakim Alfis menegaskan bahwa perhitungan sebesar itu dianggap “belum nyata dan pasti benar-benar terjadi” serta tidak dapat dihitung secara jelas dan terukur, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara.

Baca Juga :  DPR RI Berduka: Anggota Alamudin Dimyati Rois Meninggal Akibat Kecelakaan

Dalam amar putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Rianto Dennie Arsan Fatrika pada Jumat, 18 Juli 2025, Tom Lembong, yang merupakan mantan Menteri Perdagangan, divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman 7 tahun penjara dengan denda serupa. Hakim menyatakan Tom Lembong bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Putusan yang kontroversial ini segera memicu beragam tanggapan, salah satunya dari Anies Baswedan. Melalui unggahan di akun Instagram resminya, @aniesbaswedan, pada Jumat, 18 Juli 2025, Anies menilai vonis terhadap Tom Lembong sebagai cerminan melemahnya fondasi demokrasi Indonesia dan menunjukkan bahwa keadilan di negeri ini belum tuntas sepenuhnya. “Demokrasi kita belum berdiri tegak,” tulis Anies, seraya menyoroti “kejanggalan” dalam proses hukum yang menjerat Tom, sebagaimana telah diungkap oleh laporan jurnalistik independen dan pendapat para pakar. Mantan calon presiden ini juga memperingatkan bahwa jika tokoh berintegritas tinggi seperti Tom Lembong dapat divonis secara tidak adil, maka masyarakat biasa yang kurang memiliki akses dan dukungan akan jauh lebih rentan. “Ketika kepercayaan publik terhadap proses hukum runtuh, maka pondasi negara pun ikut goyah,” tegasnya.

Tidak hanya Anies Baswedan, sejumlah tokoh dan ahli hukum lainnya juga turut memberikan sorotan tajam terhadap vonis pidana yang dijatuhkan kepada Tom Lembong, memperkuat narasi adanya kejanggalan dalam kasus ini.

Ahli Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, berpendapat bahwa Tom Lembong seharusnya divonis bebas. Pada Minggu, 20 Juli 2025, ia menjelaskan bahwa majelis hakim Pengadilan Tipikor tidak mampu menguraikan secara jelas perbuatan korupsi yang dilakukan Tom Lembong dalam kasus impor gula 2015-2016, sehingga tidak terpenuhinya unsur “mens rea” atau niat jahat sebagaimana Pasal 191 ayat 1 KUHAP. Chairul menambahkan, jika pun ada kesalahan, hal itu lebih mengarah pada persoalan kebijakan administratif, bukan tindak pidana. Ia bahkan menyebutkan, putusan “lepas dari segala tuntutan hukum” (Pasal 191 ayat 2 KUHAP) lebih tepat, yang berarti perbuatan Tom terbukti namun bukan merupakan tindak pidana.

Baca Juga :  Retreat di Magelang: Harda Berangkat, Danang Tunggu Instruksi

Keraguan serupa juga disuarakan oleh Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Saut Situmorang. Setelah mengikuti sidang pembacaan vonis pada Jumat, 18 Juli 2025, Saut mempertanyakan dasar putusan hakim, terutama karena tidak adanya bukti aliran dana atau “kickback” yang diterima oleh Tom Lembong. “Satu hal yang pasti, tidak ada bukti adanya kickback, betul kan? Kalian dengar sendiri, apakah disebut adanya kickback atau penerimaan uang? Tidak ada, kan?” ujarnya. Saut khawatir vonis ini dapat melemahkan prinsip pembuktian dalam perkara korupsi, di mana ketiadaan keuntungan pribadi atau niat jahat (mens rea) seharusnya menjadi pertimbangan utama. Ia menambahkan, tanpa adanya bukti kickback, penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bisa menjadi subjek perdebatan hukum yang panjang, bahkan bertahun-tahun.

Kritik tajam juga dilontarkan oleh Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu. Ia menegaskan bahwa vonis terhadap Tom Lembong tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga sangat berbahaya bagi masa depan para pengambil kebijakan di Indonesia. Said menyoroti logika hakim yang menyamakan keuntungan pihak swasta dari kerja sama dengan BUMN sebagai kerugian negara. Ia memberikan ilustrasi perbandingan dengan proyek seperti Kereta Cepat atau Tol yang juga melibatkan kerja sama dengan swasta, mempertanyakan apakah logika serupa akan diterapkan. “Kalau Goto yang kerja sama dengan Telkom, karena dia juga mengambil keuntungan Telkom, berarti dianggap kerugian negara?” tanyanya retoris. Menurut Said, penerapan logika hukum semacam itu akan membuka peluang kriminalisasi bagi semua pejabat negara yang terlibat dalam keputusan kerja sama dengan sektor swasta, mengancam stabilitas kebijakan di masa mendatang.

Ari Yusuf Amir, kuasa hukum Tom Lembong, kembali memperkuat pandangan bahwa vonis ini memiliki dampak lebih luas daripada sekadar kasus individu kliennya. Dalam konferensi pers pasca sidang vonis, Ari menegaskan bahwa keputusan hakim ini berpotensi menimbulkan dampak sistemik yang membahayakan para pengambil kebijakan di Indonesia. Ia memperingatkan bahwa menteri-menteri yang menjabat saat ini, dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang, bisa saja menghadapi nasib serupa dengan Tom Lembong terkait kebijakan yang mereka ambil saat ini. “Itu bahaya sekali,” tegas Ari, menyoroti implikasi jangka panjang dari preseden hukum yang tercipta.

Berita Terkait

Hasto Bebas, Lalu? Bukan Megawati Tujuan Pertamanya!
Keppres Turun! Tom Lembong Bebas Hari Ini? Pengacara Tegaskan!
Yusril Tegaskan Amnesti Hasto & Abolisi Lembong Sah!
PDIP Diuji! Pakar Hukum: Tetap Oposisi Meski Hasto Dapat Amnesti?
Amnesti Prabowo untuk Hasto? KPK Tunggu Keputusan Presiden!
Resmi: 18 Agustus 2025 Libur Nasional! Catat Tanggalnya!
18 Agustus 2025 Libur Nasional! Prabowo Sahkan, Catat Tanggalnya!
Prabowo Abolisi Tom Lembong, Amnesti Hasto: Ini Kronologinya!

Berita Terkait

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 01:42 WIB

Hasto Bebas, Lalu? Bukan Megawati Tujuan Pertamanya!

Jumat, 1 Agustus 2025 - 19:51 WIB

Keppres Turun! Tom Lembong Bebas Hari Ini? Pengacara Tegaskan!

Jumat, 1 Agustus 2025 - 18:34 WIB

Yusril Tegaskan Amnesti Hasto & Abolisi Lembong Sah!

Jumat, 1 Agustus 2025 - 16:50 WIB

PDIP Diuji! Pakar Hukum: Tetap Oposisi Meski Hasto Dapat Amnesti?

Jumat, 1 Agustus 2025 - 14:51 WIB

Amnesti Prabowo untuk Hasto? KPK Tunggu Keputusan Presiden!

Berita Terbaru

Uncategorized

Gawat! Garnacho Pilih Chelsea Jika Cabut dari MU?

Sabtu, 2 Agu 2025 - 02:31 WIB

Uncategorized

Indonesia Bangga! Siswa Raih Medali di Olimpiade Fisika 2025

Sabtu, 2 Agu 2025 - 02:24 WIB

Uncategorized

DJ Panda Posting Foto Erika Carlina & Anak: Ada Apa?

Sabtu, 2 Agu 2025 - 02:03 WIB

politics

Hasto Bebas, Lalu? Bukan Megawati Tujuan Pertamanya!

Sabtu, 2 Agu 2025 - 01:42 WIB