Kebijakan kontroversial yang diambil oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait penempatan mahasiswa dengan perilaku dianggap menyimpang ke barak militer guna pembinaan ulang, menuai kritik keras. Maarif Institute secara tegas menyatakan penolakannya terhadap metode pembinaan yang menggunakan pendekatan militeristik.
“Kami dengan tegas menolak segala bentuk pembinaan siswa yang menggunakan pendekatan militeristik. Pendekatan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan berkeadaban dan justru memperkuat praktik kekerasan simbolik yang tidak manusiawi. Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk segera membatalkan rencana pengiriman siswa ke barak militer tersebut dan menggantinya dengan kebijakan alternatif yang lebih berbasis pada pendekatan humanistik, reflektif, dan inklusif,” tegas Andar Nubowo, Direktur Eksekutif Maarif Institute, dalam keterangan tertulis yang diterima pada hari Sabtu (10/5).
Lebih lanjut, Andar mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk memberikan arahan yang jelas, melakukan supervisi yang ketat, serta memberikan pendampingan kebijakan kepada pemerintah daerah. Hal ini bertujuan agar penyelenggaraan pendidikan di daerah selaras dengan visi pendidikan nasional yang lebih luas.
“Kami juga meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM, dan lembaga-lembaga perlindungan anak lainnya untuk segera melakukan pemantauan dan asesmen mendalam terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini. Selain itu, kami meminta agar lembaga-lembaga tersebut mengeluarkan rekomendasi resmi terkait potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia,” lanjutnya.
Andar juga mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat sipil, organisasi profesi pendidikan, serta komunitas keagamaan yang progresif, untuk turut bersuara dan menolak normalisasi kekerasan dalam segala bentuknya di dunia pendidikan.
“Terutama ketika kekerasan tersebut dilakukan atas nama pembinaan moral. Praktik-praktik semacam ini tidak hanya keliru secara pedagogis, tetapi juga melemahkan komitmen kolektif kita terhadap pendidikan yang transformatif dan berlandaskan pada keadilan sosial,” jelasnya lebih lanjut.
Sebagai penutup, Andar menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pendidikan yang bersifat reaktif dan koersif. Ia juga mendorong perumusan kebijakan yang lebih berbasis pada bukti, serta melibatkan peran aktif dari para pendidik, psikolog, keluarga, dan komunitas.
“Penanganan masalah remaja harus dilakukan dengan pendekatan yang intersektoral dan sistemik, bukan melalui pendekatan instan yang cenderung menyalahkan anak dan mengabaikan konteks sosial-ekonomi yang kompleks yang melingkupinya,” pungkas Andar.