Prospek Logam Industri Menjanjikan: Tembaga, Nikel, dan Aluminium Unggul di Tengah Gejolak Ekonomi Global
JAKARTA. Prospek logam industri diprediksi akan bergerak bervariasi, sangat bergantung pada dinamika siklus ekonomi global. Namun, di tengah ketidakpastian tersebut, tiga komoditas utama — tembaga, nikel, dan aluminium — menonjol dengan prospek yang dipandang lebih positif.
Ketahanan aluminium secara khusus terlihat jelas, dengan harganya yang tetap stabil bahkan di tengah pemberlakuan tarif impor aluminium sebesar 50% oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Data dari Trading Economics menunjukkan, harga aluminium menguat 0,35% menjadi US$ 2.481 per ton pada Rabu (4/6) pukul 19.23 WIB. Kinerja impresif ini berlanjut dengan tren stabil dan penguatan signifikan, tercatat naik 0,40% dalam sepekan dan 2,31% dalam sebulan terakhir.
Berbeda dengan aluminium, harga baja menunjukkan dinamika yang lebih bervariasi. Meskipun sempat menguat 1,09% mencapai CNY 2.963 per ton saat tarif Trump mulai berlaku, harganya justru mengalami penurunan dalam jangka waktu yang lebih panjang, terkoreksi 1,98% dalam sepekan dan 3,64% dalam sebulan terakhir.
Menanggapi fenomena ini, Founder Traderindo, Wahyu Laksono, menafsirkan penguatan awal kedua logam tersebut sebagai indikasi “rebound”. Menurutnya, antisipasi terhadap pelemahan tajam banyak aset telah terjadi sejak terpilihnya Trump, dan memburuk seiring isu perang tarif. “Selain itu, pelemahan dolar AS turut memicu ‘rebound’ pada komoditas yang didenominasi selain USD, terutama logam dasar,” jelas Wahyu kepada Kontan.co.id pada Rabu (4/6).
Mengulas Lebih Dalam Prospek Tembaga, Aluminium, dan Nikel
Di antara beragam logam industri yang ada, Wahyu Laksono secara spesifik menyoroti tembaga, nikel, dan aluminium sebagai komoditas yang paling menarik untuk dicermati, mengingat peran vital dan dinamika pasarnya.
Wahyu menjelaskan, tembaga adalah “logam masa depan” berkat perannya yang sentral dalam mendukung transisi energi hijau dan upaya dekarbonisasi global. Permintaannya diperkirakan akan terus meningkat secara struktural dalam jangka panjang, bahkan di tengah keterbatasan penemuan tambang baru dan peningkatan produksi yang mungkin tidak mampu mengimbangi laju permintaan. Namun, ada risiko yang patut diwaspadai: perlambatan ekonomi global yang parah berpotensi menekan permintaan tembaga dalam jangka pendek.
Sementara itu, aluminium memiliki prospek cerah karena perannya dalam mengurangi bobot kendaraan, yang berdampak pada peningkatan efisiensi bahan bakar. Potensi pertumbuhannya juga terlihat di sektor konstruksi hijau. Produksi aluminium semakin didorong oleh penggunaan sumber energi terbarukan, menjadikannya menarik bagi investor yang mengutamakan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Namun, komoditas ini menghadapi risiko dari ketergantungan pada biaya energi yang cenderung fluktuatif.
Selanjutnya, nikel, khususnya nikel kelas 1, diperkirakan akan mengalami lonjakan permintaan signifikan seiring pesatnya pertumbuhan industri kendaraan listrik (EV) dan kebutuhan akan baterai. Meskipun terjadi peningkatan pasokan nikel pig iron (NPI) yang dapat diubah menjadi nikel kelas II (digunakan untuk baja nirkarat), pasokan nikel kelas I cenderung lebih terbatas dengan permintaan yang sangat kuat. Wahyu mewanti-wanti bahwa risiko utama terletak pada potensi kelebihan pasokan nikel kelas II yang dapat menekan harga nikel secara keseluruhan, terutama jika jalur konversi ke kelas I tidak memadai atau jika ada perkembangan teknologi baterai baru yang mengurangi ketergantungan pada nikel.
Melihat prospek ke depan, Wahyu Laksono juga memberikan proyeksi target harga untuk ketiga logam tersebut:
* Untuk tembaga, target harga diproyeksikan di kisaran US$ 10.100 – US$ 10.200 per ton, dengan level *resistance* kuat di US$ 11.000 dan *support* terkuat di US$ 8.000.
* Harga aluminium diperkirakan mencapai US$ 2.600 per ton, didukung *resistance* terkuat di US$ 2.750 dan *support* terkuat di US$ 2.100.
* Sementara itu, nikel diperkirakan akan bergerak konsolidatif di kisaran US$ 13.800 – US$ 16.750 per ton.