Kejaksaan Agung dilaporkan tengah mendalami dugaan tindak pidana korupsi terkait penyaluran dana investasi senilai Rp 1,86 triliun dari Indonesia Investment Authority (INA). Investasi strategis ini disalurkan melalui anak perusahaannya, PT Akar Investasi Indonesia (AII), kepada PT Kimia Farma (Persero) Tbk dan PT Kimia Farma Apotek. Transaksi investasi yang menjadi sorotan ini terjadi pada tahun 2023.
Hingga saat ini, Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, belum memberikan keterangan resmi mengenai informasi ini. “Saya akan tanyakan dulu ke Gedung Bundar (Jampidsus),” ujarnya saat dikonfirmasi pada Rabu, 6 Agustus 2025.
Meskipun demikian, dokumen resmi berupa Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-6/F.2/Fd. 1/03/2025 yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus kepada Direktur Penyidikan Abdul Qohar menunjukkan bahwa penyidikan kasus ini telah dimulai sejak Maret 2025. Proses hukum yang sedang berjalan ini juga telah melibatkan pemanggilan sejumlah saksi dari pihak Kimia Farma maupun entitas anak perusahaannya.
Investasi INA senilai Rp 1,86 triliun ini diketahui setara dengan 40 persen saham di PT Kimia Farma Apotek (KFA). Transaksi tersebut resmi terlaksana pada 23 Februari 2023. Saat itu, Kimia Farma melakukan dua langkah strategis: melepas sebagian saham Kimia Farma Apotek dan menerbitkan saham baru KFA. Saham-saham ini kemudian diambil alih oleh Indonesia Investment Authority (INA) dan grup Silk Road Fund Co. (SRF), yang merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF) asal Cina.
Secara rinci, perusahaan berkode saham KAEF ini melepas sebagian saham KFA kepada PT Akar Investasi Indonesia (anak usaha INA) dan CIZJ Limited (anak usaha SRF) senilai Rp 460 miliar. Di samping itu, KFA juga menerbitkan saham baru sejumlah Rp 1,4 triliun yang seluruhnya diserap oleh AII dan CIZJ, melengkapi total investasi tersebut.
Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, manajemen Kimia Farma (KAEF) menjelaskan bahwa pasca-transaksi ini, persentase kepemilikan saham KAEF di KFA memang mengalami penurunan, dari semula 99,99 persen menjadi 59,99 persen. Namun, Kimia Farma menegaskan, “Perseroan masih menjadi Pemegang Saham Pengendali KFA dan Laporan Keuangan KFA masih tetap dikonsolidasikan dalam laporan keuangan perseroan.”
Sebagai bagian dari strategi pasca-investasi, KAEF merencanakan pengembangan segmen ritel farmasi, klinik kesehatan, dan laboratorium diagnostika melalui KFA. Proyek ekspansi ini menargetkan wilayah-wilayah wisata dan luar Jawa. Manajemen menyatakan, “Ke depannya pengembangan klinik dan laboratorium juga ditujukan untuk daerah wisata dan luar Jawa mendukung Pemerintah dalam pemerataan pelayanan kesehatan ke masyarakat.”
Hingga berita ini ditayangkan, Direktur Utama Kimia Farma, Djagad Prakasa Dwialam, belum merespons upaya konfirmasi dari Tempo. Sambungan telepon dan pesan singkat yang dikirimkan pada Rabu, 6 Agustus 2025, belum direspons oleh Djagad.