Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami dugaan korupsi terkait alokasi kuota haji periode 2023–2024, khususnya mengenai penghitungan besaran kerugian negara yang ditimbulkan. Proses perhitungan ini tidak dilakukan sendiri, melainkan melalui koordinasi erat dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lembaga yang kompeten dalam audit keuangan negara.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan langkah kolaborasi ini di Gedung Merah Putih KPK pada Sabtu dini hari, 9 Agustus 2025. Pernyataan Asep datang setelah KPK resmi menaikkan status penanganan kasus ini ke tahap penyidikan. Surat perintah penyidikan (sprindik) umum telah diterbitkan pada Kamis, menandai dimulainya fase pengumpulan bukti untuk menetapkan tersangka.
Dalam mengusut kasus ini, KPK menggunakan landasan hukum yang kuat, yakni Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Penerapan pasal-pasal ini mewajibkan penyidik untuk membuktikan secara gamblang adanya kerugian negara serta mengidentifikasi pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan tidak sah dari praktik korupsi tersebut.
Dugaan penyimpangan bermula dari pembagian tambahan kuota haji tahun 2024 yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Kala itu, Kementerian Agama menerima tambahan kuota sebanyak 20 ribu jemaah. Berdasarkan regulasi, 18.400 kuota atau sekitar 92 persen seharusnya dialokasikan untuk jemaah haji reguler, sementara 1.600 kuota atau 8 persen sisanya diperuntukkan bagi jemaah haji khusus.
Namun, dalam praktiknya, KPK menemukan pola pembagian yang menyimpang. Kuota tambahan tersebut justru dibagi rata, yakni 10 ribu untuk jemaah reguler dan 10 ribu untuk haji khusus. Ketidaksesuaian ini menjadi sorotan karena biaya haji khusus yang jauh lebih tinggi. Alokasi 10 ribu kuota untuk haji khusus berpotensi menghasilkan pendapatan yang jauh lebih besar dan membuka celah penyalahgunaan.
Hingga saat ini, KPK belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. Asep Guntur Rahayu menegaskan bahwa penyidik masih memerlukan keterangan dari berbagai pihak serta bukti-bukti pendukung lainnya sebelum dapat mengumumkan penetapan tersangka. Proses ini merupakan bagian dari upaya KPK untuk memastikan penetapan didasari oleh bukti yang kuat.
Sebagai bagian dari rangkaian penyelidikan, KPK telah memanggil dan memeriksa eks Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Pemeriksaan terhadap Yaqut berlangsung di Gedung Merah Putih pada Kamis, 7 Agustus 2025. Selama lima jam, mulai pukul 09.30 WIB hingga 14.18 WIB, Yaqut dimintai keterangan terkait dugaan penyimpangan kuota haji pada tahun 2024. Setelah pemeriksaan, ia meninggalkan gedung didampingi juru bicaranya, Anna Hasbie.
Meskipun demikian, Yaqut memilih untuk tidak berkomentar mengenai dugaan adanya perintah dari mantan presiden Jokowi terkait permintaan penambahan kuota haji. Pada periode jabatannya sebagai Menteri Agama, pemerintah Indonesia memang aktif melakukan negosiasi dengan Arab Saudi untuk mendapatkan tambahan kuota haji. “Saya tidak akan menyampaikan, mohon maaf,” ujar Yaqut singkat.
Penyelidikan kasus dugaan korupsi kuota haji ini terus bergulir, dengan fokus pada penghitungan kerugian negara dan pengungkapan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.