Ragamutama.com Keputusan kontroversial Israel untuk mengambil alih Gaza City, ibu kota Jalur Gaza, telah memicu gelombang kecaman dari para pemimpin dunia. Langkah ini, yang diperkirakan akan memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah kantong Palestina tersebut, disetujui oleh kabinet keamanan Israel pada Jumat (8/8/2025) pagi, menandai eskalasi baru dalam perang melawan Hamas yang kini mendekati tahun kedua.
Pengumuman mengenai keputusan strategis ini disampaikan langsung oleh kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, menyusul serangkaian perdebatan alot di antara pejabat keamanan senior. Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari pernyataan Netanyahu sebelumnya yang mengindikasikan niat militer Israel untuk menguasai seluruh Gaza, meskipun ia berulang kali menegaskan bahwa Israel tidak memiliki ambisi untuk menduduki wilayah tersebut secara permanen.
Kecaman dari Inggris, Finlandia, dan Australia
Reaksi keras datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, yang secara tegas menilai keputusan Israel sebagai langkah yang keliru. Seperti yang dilansir Euronews, Starmer mendesak Israel untuk segera mempertimbangkan kembali tindakan yang disebutnya “salah” dan akan memperparah pertumpahan darah. Menurutnya, langkah ini tidak akan mengakhiri konflik atau membantu pembebasan sandera. Sebaliknya, Starmer menyerukan gencatan senjata segera, peningkatan bantuan kemanusiaan, pembebasan semua sandera oleh Hamas, serta solusi yang dinegosiasikan. Inggris, imbuhnya, berkomitmen bekerja sama dengan sekutunya untuk mencapai perdamaian di kawasan melalui solusi dua negara.
Senada dengan Inggris, Menteri Luar Negeri Finlandia Elina Valtonen juga menyuarakan keprihatinan mendalam. “Saya sangat khawatir tentang memburuknya kondisi kemanusiaan di Gaza. Kami berharap gencatan senjata segera dan pembebasan segera sandera Israel,” tegas Valtonen. Tak ketinggalan, Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong turut meminta Israel untuk tidak merealisasikan rencana pengambilalihan Gaza. Wong secara spesifik memperingatkan bahwa pengungsian paksa secara permanen merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Respons dari Amerika Serikat dan PBB
Namun, tidak semua negara memiliki pandangan yang sama. Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengambil posisi berbeda, sepenuhnya menyerahkan keputusan pengambilalihan Gaza kepada Israel. Trump justru menuding Hamas, kelompok yang secara de facto menguasai Jalur Gaza, sebagai pihak yang menghambat proses negosiasi perdamaian.
Kontras dengan pandangan AS, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, menegaskan bahwa langkah Israel tersebut sangat bertentangan dengan hukum internasional. Turk mendesak agar “rencana pemerintah Israel untuk mengambil alih sepenuhnya Gaza yang diduduki secara militer harus segera dihentikan.” Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan ini berlawanan dengan putusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang sebelumnya telah memerintahkan Israel untuk mengakhiri pendudukan sesegera mungkin, demi tercapainya solusi dua negara dan pemenuhan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.
Perdebatan Internal di Israel
Di dalam negeri Israel sendiri, keputusan pengambilalihan Gaza ini disambut dengan respons yang terpecah belah. Pemimpin oposisi, Yair Lapid, melontarkan kritik keras, menyatakan bahwa rencana tersebut bertentangan dengan nasihat militer. Lapid menegaskan, “Rencana itu sepenuhnya bertentangan dengan posisi militer dan lembaga pertahanan, tanpa mempertimbangkan kelelahan pasukan tempur.”
Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh Kepala Staf Umum, Letnan Jenderal Eyal Zamir. Ia bahkan memperingatkan bahwa rencana tersebut dapat membahayakan nyawa sandera dan membebani militer secara signifikan. Zamir sendiri diketahui kerap berselisih dengan kabinet keamanan dalam beberapa hari terakhir terkait usulan pengambilalihan Gaza ini.
Menanggapi berbagai kritik, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, sebelum sidang kabinet keamanan, telah berulang kali membantah bahwa Israel berniat menguasai Gaza secara permanen. Kepada Fox News, ia menjelaskan, “Kami tidak ingin mempertahankannya. Kami ingin memiliki perimeter keamanan.” Netanyahu lebih lanjut menyatakan bahwa Israel berencana untuk menyerahkan kendali Gaza kepada koalisi pasukan Arab yang nantinya akan memerintah wilayah tersebut.