Kejagung Sita Rp 11,8 Triliun dari Wilmar Group dalam Kasus Korupsi CPO: Status Hukum Uang Ini Diungkap Pakar
JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil menyita dana fantastis sebesar 11,8 triliun rupiah. Dana ini diserahkan oleh lima terdakwa korporasi dari Wilmar Group, sebagai bagian dari penanganan kasus mega korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang menjadi sorotan publik.
Menanggapi penyitaan ini, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar, Prof. Suparji Ahmad, menegaskan bahwa penyerahan dana tersebut bukan hanya berfungsi sebagai barang bukti. Lebih dari itu, langkah ini merupakan bentuk komitmen terhadap akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum. Ia juga menyoroti adanya perbedaan antara total dana yang disita (Rp 11,8 triliun) dengan jumlah fisik barang bukti yang ditunjukkan, yakni sekitar Rp 2 triliun.
Prof. Suparji lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hukum di Indonesia tidak mengenal nomenklatur ‘uang jaminan’ dalam konteks pidana. Oleh karena itu, uang senilai 11,8 triliun rupiah tersebut secara hukum harus dikategorikan dan disimpulkan sebagai ‘uang sitaan’.
Beliau menekankan, uang ini tidak dapat dikualifikasikan sebagai jaminan. “Dalam konteks hukum pidana, yang dikenal adalah proses penyitaan,” ujar Prof. Suparji. Ia melanjutkan, meskipun awalnya ada proses penyerahan dana dari pihak Wilmar Group, langkah selanjutnya adalah penetapan penyitaan oleh pengadilan Jakarta. Hal ini dilakukan untuk menjamin dan sekaligus melindungi aset tersebut dalam proses hukum yang berjalan.
Untuk mendapatkan informasi lebih mendalam dan tayangan lengkap mengenai kasus ini, Anda dapat menyaksikannya langsung di kanal YouTube KompasTV melalui tautan berikut: https://youtu.be/gQS3l1OXGfc