Kasus pernikahan anak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjadi sorotan tajam di berbagai platform media sosial. Peristiwa ini melibatkan seorang anak perempuan dengan inisial SY (15) yang berasal dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan seorang remaja laki-laki dengan inisial SR (17) dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, yang akrab disapa Kak Seto, mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama yang memicu tingginya angka pernikahan anak di NTB adalah kurangnya sosialisasi yang efektif dari pemerintah daerah kepada masyarakat dan tokoh-tokoh desa setempat mengenai bahaya serta larangan pernikahan usia dini.
“Edukasi mengenai larangan pernikahan anak masih belum optimal,” ujar Kak Seto di Kota Denpasar, Bali, pada hari Rabu (28/5).
Menurutnya, pemerintah daerah perlu mengintensifkan pendekatan kepada tokoh adat dan masyarakat setempat agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan pengetahuan terkini mengenai dampak negatif pernikahan anak.
Diharapkan, upaya edukasi ini dapat secara bertahap menghilangkan tradisi kawin culik yang masih lestari di NTB. Terlebih lagi, NTB telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2021 yang secara khusus mengatur tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
Pemerintah juga telah menetapkan batasan usia minimal untuk menikah, yaitu 19 tahun. Selain itu, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual secara tegas menyatakan bahwa pemaksaan perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang harus ditindak.
“Pemerintah perlu berdialog secara terbuka dan tegas dengan para ahli adat istiadat setempat. Adat apa pun, jika bertentangan dengan perkembangan zaman, masa depan anak, kesehatan anak, dan aspek penting lainnya, maka perlu diubah,” tegasnya.
“Jangan hanya berpegang pada adat dan melakukan pembiaran. Sebelumnya, kita sudah mencanangkan kabupaten/kota layak anak, tetapi ironisnya, masih rentan terhadap pelanggaran hak anak dan pembiaran perkawinan anak,” lanjutnya.
Pentingnya mengintensifkan edukasi mengenai bahaya menikah di usia muda juga perlu ditekankan kepada anak-anak agar mereka tidak terjerumus ke dalam pernikahan dini. Beberapa risiko yang mengintai akibat pernikahan dini antara lain rentan mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), risiko kematian saat melahirkan, dan melahirkan bayi dengan kondisi stunting, serta berbagai masalah kesehatan lainnya.
“Anak-anak juga harus berani menyuarakan penolakan melalui forum anak, mengajak teman-teman mereka untuk tidak terjebak dalam perkawinan usia dini,” imbuhnya.
Kak Seto menambahkan bahwa seringkali para aktivis perlindungan anak mendapat kecaman dari warga ketika berupaya memberikan edukasi atau menghalangi pernikahan anak. Ia menekankan perlunya keseriusan dari pemerintah agar NTB benar-benar layak menyandang status sebagai kota ramah anak.
“Pemerintah daerah perlu berdiskusi dengan para tokoh adat, menekankan bahwa kita ingin anak-anak di Lombok Tengah menjadi pemimpin dan tokoh di bidangnya masing-masing. Untuk itu, anak-anak harus sehat, terhindar dari stunting, tidak mengalami perceraian keluarga di usia dini, dan sebagainya,” paparnya.
Sehubungan dengan kasus ini, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram telah melaporkan orang tua dan penghulu yang terlibat ke Polres Lombok Tengah pada hari Sabtu (24/5) lalu. Sesuai Undang-Undang Pernikahan, batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun.
“Kami dari LPA Kota Mataram telah melaporkan dan mengadukan kasus perkawinan anak yang terjadi di salah satu desa di Lombok Tengah,” kata Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, seperti dikutip dari Antara pada hari Senin (26/5).
Dalam budaya Lombok, dikenal istilah Merarik Kodek, yaitu pernikahan dini yang dilakukan dengan cara melarikan atau menculik seorang gadis yang masih di bawah umur. Praktik ini seringkali dipicu oleh tekanan sosial atau ekonomi yang dihadapi oleh pelaku Merarik Kodek.