Pasar Lama Tangerang, sebuah destinasi yang belum sempat saya jajaki sebelumnya. Lebih dari sekadar pusat perbelanjaan atau area kuliner, tempat ini menyimpan narasi sejarah panjang yang kerap kali terlewatkan, bahkan oleh saya sendiri. Oleh karena itu, ketika Kompasiana mengadakan acara KeTemu Walking Tour “The Hidden of History Pasar Lama Tangerang”, saya merasa ini adalah kesempatan emas untuk menjelajahi tempat-tempat legendaris di sana.
Walking Tour ini dipandu dengan apik oleh Kak Elsa Novia Sena dan Ronaldi dari Benteng Walking Tour. Para peserta, terdiri dari rekan-rekan Kompasianer, larut dalam kebersamaan menyusuri lorong-lorong kuno, bangunan-bangunan bersejarah, dan situs-situs budaya yang menyimpan kisah-kisah penting.
Meskipun peluh bercucuran dan udara terasa hangat, semangat para peserta tidak surut sedikit pun. Mungkin sedikit kusam di wajah adalah hal yang lumrah, hehe. Namun, perjalanan yang dimulai dari pagi hingga siang hari justru semakin membangkitkan antusiasme saya untuk mengikuti seluruh rangkaian tur. Dari pengalaman berharga ini, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat saya ambil:
1. Memperluas Lingkaran Pertemanan
Pelajaran utama dari setiap perjalanan adalah kesempatan untuk menjalin pertemanan baru. Dalam acara walking tour yang diadakan oleh Kompasiana ini, saya sangat senang bisa bertemu dan berinteraksi dengan Kompasianer lainnya. Di sini, baik yang sudah terverifikasi maupun belum, yang baru bergabung maupun yang sudah lama, dari penulis pemula hingga yang berpengalaman, semua berbaur menjadi satu, bersama-sama menjelajahi tempat-tempat bersejarah.
2. Menjembatani Generasi Muda dengan Warisan Lokal
Perkembangan pesat dunia digital dan teknologi tidak boleh membuat generasi muda melupakan identitas lokal mereka, apalagi sampai lebih mengagungkan budaya asing. Kearifan lokal yang ada harus dilestarikan dengan cara-cara yang menarik, seperti walking tour ini, yang bisa menjadi jembatan yang menyenangkan dan interaktif.
Kebetulan sekali, pemandu tur dari Benteng Walking Tour dan sebagian besar Kompasianer yang mengikuti acara ini adalah generasi muda. Hal ini tidak hanya memberikan pemahaman tentang budaya dan sosial, tetapi juga menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk melestarikan situs-situs bersejarah yang dapat diceritakan dan diperlihatkan kepada generasi mendatang.
3. Meningkatkan Kesadaran akan Pentingnya Olahraga dan Istirahat yang Cukup
Sesuai dengan namanya, “walking tour” tentu saja melibatkan banyak berjalan kaki. Oleh karena itu, sebelum hari pelaksanaan, para peserta sebaiknya mempersiapkan diri dengan kondisi fisik yang prima, sarapan terlebih dahulu, serta tidur yang cukup dan menghindari begadang.
Bayangkan jika ada peserta yang kurang tidur (kurang dari 6-8 jam) atau tidak memiliki stamina yang cukup untuk berjalan kaki dalam waktu yang lama, tentu pengalaman menyusuri bangunan-bangunan bersejarah tersebut akan kurang bermakna. Oleh karena itu, menjaga kesehatan tubuh dengan pola hidup sehat seperti berolahraga dan istirahat yang cukup menjadi kesadaran diri yang perlu ditanamkan.
4. Menghargai Keberagaman Budaya
Kawasan Pasar Lama Tangerang adalah representasi dari pluralitas. Di sana, bangunan-bangunan bersejarah berdiri berdampingan secara harmonis. Tur ini mengajarkan tentang toleransi dan pentingnya menjaga warisan budaya lintas etnis dan agama.
Sebenarnya, ke mana saja sih rute walking tour “The Hidden of History Pasar Lama Tangerang” ini? Mari kita jelajahi bersama!
A. Stasiun Tangerang
Mungkin ada yang tidak menyadari bahwa stasiun kereta api yang terletak di ujung ini adalah cagar budaya. Stasiun yang telah berdiri sejak tahun 1889 ini, awalnya digunakan untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan ke Jakarta (Duri). Stasiun yang menjadi saksi bisu perkembangan Kota Tangerang ini ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Tangerang berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota 430/Kep.337-Disporbudpar/2011 pada tanggal 25 Agustus 2011.
B. Pabrik Pembuatan Kecap Siong Hin
Pernah mendengar nama kecap SH? Tentu sudah familiar dengan rasa kecap yang berdiri sejak tahun 1920 ini. Pabriknya hanya ada satu, yaitu di kawasan Pasar Lama Tangerang. Kecap SH atau Kecap Siong Hin didirikan oleh Lo Tjit Siong.
“Rasa kecap SH memiliki aroma rempah-rempah yang khas, sehingga terasa gurih. Warnanya hitam, tetapi tidak terlalu pekat. Kecap SH tersedia dalam dua varian, yaitu kecap manis dan kecap asin,” jelas Kak Elsa.
C. Kecap Benteng Tulen Istana
Tidak jauh dari pabrik kecap SH, ternyata ada kecap yang lebih legendaris lagi, yaitu Kecap Benteng Tulen Istana yang sudah berdiri sejak tahun 1882.
Kecap ini juga dikenal dengan nama kecap Teng Giok Sen (nama pendirinya). Rasanya tidak semanis kecap SH, dan teksturnya lebih kental. Selain itu, kemasannya menggunakan botol kaca besar, karena target pasarnya adalah restoran atau pelanggan yang memasak dalam jumlah besar.
D. Masjid Jami Kalipasir
Masjid Jami Kalipasir adalah masjid tertua di kota Tangerang. Didirikan pada tahun 1576, lokasinya berada di sebelah timur bantaran Sungai Cisadane. Di halaman masjid, terdapat makam-makam tokoh berpengaruh pada masanya, salah satunya adalah istri dari Sultan Ageng Tirtayasa.
Tempat ibadah yang menjadi saksi bisu perkembangan Islam di kota Tangerang ini ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Undang-undang nomor 11 tahun 2010 dan Peraturan Daerah nomor 3 Tahun 2018 untuk makam dan masjid Jami Kalipasir.
E. Toapekong Air
Di seberang Masjid Jami Kalipasir, terdapat Sungai Cisadane yang menjadi lokasi Festival Perahu Naga Peh Cun. Peh artinya mendayung, dan Cun berarti kapal atau perahu.
Ketika kami tiba di Toapekong Air (prasasti tangga jamban) ini, kami melihat ada beberapa orang yang sedang berlatih untuk persiapan festival. Awalnya, tempat ini digunakan untuk kegiatan MCK (mandi, cuci, kakus), kemudian beralih fungsi menjadi dermaga Peh Cun.
Festival Perahu Naga Peh Cun yang dimulai pada tahun 1910 ini, rutin diadakan oleh Boen Tek Bio setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek, dan pelaksanaannya selalu pada hari Sabtu atau Minggu.
Dalam waktu dekat ini, acaranya akan jatuh pada tanggal 30 Mei 2025. Mungkin Anda bisa sekalian mampir dan ikut serta dalam tradisi mendirikan telur saat siang hari serta menangkap bebek di sungai.
F. Rumah Burung
Roemboer atau rumah burung, dulunya adalah rumah tinggal yang dibangun sekitar tahun 1800-an. Pada tahun 1970-an, tempat ini dijadikan sarang burung walet. Kemudian, pada tahun 2013, dibeli oleh Pak Udaya Halim dan sempat dibuka untuk umum pada tahun 2015 karena terdapat mini museum dan restoran. Namun, tempat ini kembali ditutup saat pandemi.
G. Rumah OKT
Tepat di depan Roemboer, terdapat rumah OKT atau rumah milik Oey Kim Tiang yang lahir pada tahun 1903 dan meninggal pada tahun 1995. Oey Kim Tiang adalah penerjemah cerita silat (cersil) dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia, salah satunya adalah cerita Kho Ping Hoo.
H. Kelenteng Boen Tek Bio
Perjalanan wisata sejarah berlanjut ke Kelenteng Boen Tek Bio yang diperkirakan berdiri pada tahun 1684. Kelenteng tertua di kota Tangerang ini memiliki benda-benda bersejarah, seperti singa batu yang sudah ada sejak tahun 1827 terbuat dari batu granit, lonceng yang sudah ada sejak tahun 1835, tempat pembakaran sejak tahun 1910, dan tempat dupa pada tahun 1839.
Pembangunan kelenteng ini didedikasikan untuk menghormati Dewi Kwan Im. Kelenteng ini buka selama 24 jam penuh dan masih aktif hingga saat ini sebagai tempat budaya dan pusat spiritual Tionghoa.
I. Museum Benteng Heritage
Perjalanan semakin menarik karena kami berkesempatan mengunjungi museum. Ya, siapa sangka di kawasan Pasar Lama Tangerang, ternyata ada museum Benteng Heritage.
Museum yang meraih rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) pada tahun 2012 sebagai Museum Kebudayaan Indonesia-Tionghoa pertama di Indonesia ini, diperkirakan dibangun pada abad ke-17 dan telah direstorasi.
Bangunan museum yang masih mempertahankan keasliannya ini memiliki koleksi, seperti sepatu mungil khas perempuan Tionghoa, koleksi timbangan, botol kecap SH dan kecap benteng Teng Giok Sen, fonograf, dan artefak yang menceritakan kisah armada Laksamana Cheng Ho.
J. Kedai Kopi Lampion
Penjelajahan hidden gem di kawasan Pasar Lama Tangerang ini ditutup dengan makan siang di Kedai Lampion. Suasana restoran bernuansa heritage ini sangat mengesankan karena terdapat benda-benda klasik dan lampion yang berpadu dengan hidangan yang lezat.
Untuk gambaran yang lebih jelas, Anda bisa melihat video reels saya berikut ini ^_^
Penutup
Hampir seharian penuh, saya dan rekan-rekan Kompasianer menyusuri hidden gem di Pasar Lama Tangerang ini, menunjukkan bahwa sosialisasi tentang sejarah budaya dapat disampaikan secara menarik dan praktis melalui walking tour.
Secara tidak langsung, kegiatan ini juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pelestarian benda dan bangunan bernilai historis. Dengan adanya pelestarian bangunan bersejarah, hal ini dapat menggerakkan roda ekonomi lokal sebagai tempat wisata yang edukatif, serta membuktikan bahwa wisata sejarah dapat memberikan dampak yang luas bagi semua pihak. Sampai jumpa di walking tour saya berikutnya.