Jam Malam Anak di Surabaya: Pedang Bermata Dua untuk Perlindungan dan Potensi Konflik Keluarga
Pemberlakuan jam malam anak di Surabaya, Jawa Timur, kembali menjadi sorotan. Aturan ini, yang bertujuan mulia untuk melindungi generasi muda, ternyata memiliki dua sisi mata uang: potensi dampak positif yang signifikan sekaligus risiko memicu konflik internal dalam keluarga. Keberhasilan pelaksanaannya sangat bergantung pada kualitas komunikasi dan pemahaman yang terbangun antara orang tua dan anak.
Menurut psikolog anak dan remaja terkemuka, Vera Itabiliana, S.Psi., aturan jam malam Surabaya sesungguhnya dapat menjadi benteng pelindung bagi anak-anak dari berbagai pengaruh negatif yang kerap muncul di lingkungan malam. Namun, Vera juga memperingatkan, penerapan aturan yang cenderung sepihak atau represif justru berpotensi memicu gejolak dan perlawanan dari sang anak. Ia menegaskan, tanpa disertai komunikasi yang sehat dan pemahaman mendalam, kebijakan ini justru bisa menjadi pemicu konflik serius antara anak dengan orang tua, bahkan dengan pihak otoritas terkait. Hal ini diungkapkan Vera kepada *Kompas.com*, Kamis (26/6/2025).
Secara resmi, jam malam anak di Surabaya tertuang dalam Surat Edaran Wali Kota Surabaya Nomor 400.2.4/12681/436.7.8/2025. Regulasi ini secara spesifik melarang anak-anak di bawah usia 18 tahun untuk beraktivitas di luar rumah antara pukul 22.00 WIB hingga 04.00 WIB, kecuali untuk tujuan yang esensial seperti kegiatan pendidikan, keagamaan, atau dalam situasi darurat. Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menjelaskan bahwa pembatasan ini dirancang untuk membentengi anak-anak dari ancaman pergaulan bebas, penyalahgunaan zat adiktif, serta risiko kekerasan yang rentan terjadi di malam hari.
Mengacu pada pandangan Vera Itabiliana, fondasi utama keberhasilan penerapan aturan jam malam anak di Surabaya justru terletak pada peran orang tua di lingkungan rumah. Vera menyarankan agar orang tua tidak sekadar menyampaikan bahwa ini adalah regulasi pemerintah, melainkan aktif membangun dialog terbuka dan inklusif dengan anak. Penting bagi orang tua untuk melibatkan anak dalam proses diskusi, misalnya menentukan batasan jam malam yang disepakati bersama, serta konsekuensi yang jelas apabila kesepakatan tersebut dilanggar.
Lebih lanjut, Vera menekankan vitalnya mengenalkan anak pada nilai-nilai fundamental seperti pentingnya menjaga diri, menghargai waktu, dan memahami konsekuensi dari setiap pilihan yang mereka ambil. Pendekatan ini akan menumbuhkan kepatuhan pada anak, bukan karena rasa takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran intrinsik dan perasaan dihargai. Inilah esensi sebenarnya dalam membentuk tanggung jawab yang berasal dari dalam diri anak, bukan sekadar kepatuhan eksternal.
Meski sejatinya aturan jam malam dirancang demi kebaikan dan perlindungan anak, Vera Itabiliana mengingatkan adanya bahaya pola pengasuhan yang terlalu kaku. Pendekatan otoriter justru bisa memberikan dampak kontraproduktif, di mana anak merasa tertekan, tidak dipercaya, dan pada akhirnya cenderung menarik diri atau bahkan memberontak. Hal ini tentu jauh dari tujuan ideal pembentukan karakter anak.
Oleh karena itu, alih-alih mengedepankan gaya pengasuhan yang otoriter, Vera menyarankan agar orang tua menerapkan pendekatan yang lebih suportif dan terbuka terhadap setiap masukan dari anak. Strategi ini diyakini jauh lebih efektif dalam membentuk remaja yang tidak hanya sehat secara emosional, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara mandiri dan bertanggung jawab. Dengan demikian, jam malam anak di Surabaya dapat benar-benar berfungsi sebagai instrumen perlindungan yang efektif, didukung oleh fondasi keluarga yang kuat dan harmonis.