Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Hentikan Sementara Tambang Nikel di Raja Ampat, Klarifikasi Soal Lokasi dan Perizinan
Jakarta – Di tengah sorotan publik dan kekhawatiran akan dampak lingkungan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia akhirnya memutuskan untuk menyetop sementara aktivitas pertambangan nikel oleh PT GAG Nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini, yang berlaku sejak Kamis, 5 Juni 2025, menyusul desakan dari aktivis lingkungan dan aliansi masyarakat sipil yang menyoroti ancaman terhadap ekosistem ikonik Raja Ampat.
Menanggapi kontroversi yang beredar luas, Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa izin usaha pertambangan nikel tersebut telah diterbitkan jauh sebelum ia menjabat sebagai menteri. Ia menjelaskan, PT GAG Nikel merupakan pemegang Kontrak Karya Generasi VII Nomor B53/Pres/I/1998, yang ditandatangani pada 19 Januari 1998 oleh presiden saat itu. “Perlu saya tegaskan, saat izin usaha pertambangan dikeluarkan, saya masih menjadi Ketua Umum HIPMI dan belum masuk kabinet,” ujar Bahlil pada Jumat, 6 Juni 2025, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis.
Bahlil juga membantah keras isu yang menyebutkan aktivitas tambang nikel merusak ikon wisata Raja Ampat, seperti Pulau Piaynemo. Ia menekankan bahwa operasi pertambangan tidak dilakukan di Pulau Piaynemo—yang terkenal dengan pemandangan bukit karst dan terumbu karang yang memukau—melainkan di Pulau Gag. Pulau Gag sendiri terpisah jarak sekitar 30 hingga 40 kilometer dari Piaynemo. “Banyak media menyebutkan penambangan dilakukan di Pulau Piaynemo. Itu tidak benar. Lokasinya ada di Pulau Gag yang jaraknya cukup jauh dari Piaynemo. Saya tahu karena saya cukup sering ke Raja Ampat,” kata Bahlil, memperkuat argumentasinya.
Sebagai regulator, Bahlil menekankan bahwa Kementerian ESDM memiliki kewenangan penuh untuk mengawasi kegiatan pertambangan agar tetap sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik atau *good mining practice*. Langkah pembekuan sementara ini, menurut Bahlil, adalah bagian dari komitmen tersebut. “Untuk sementara, kami hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan. Kami akan cek,” tuturnya. Pemerintah, lanjut Bahlil, berkomitmen menjaga keseimbangan antara pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan kawasan konservasi serta destinasi wisata strategis, termasuk wilayah-wilayah penting di Raja Ampat.
PT GAG Nikel sendiri merupakan anak perusahaan dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkemuka. Izin Usaha Pertambangan (IUP) produksi untuk menambang nikel di Raja Ampat terbit pada 2017, dan perusahaan mulai beroperasi setahun setelahnya, yakni 2018. Bahlil juga menambahkan bahwa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk operasi ini sudah ada sebelum kegiatan penambangan dimulai. Secara historis, perusahaan ini awalnya dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. dengan 75 persen saham dan PT Antam sebesar 25 persen. Namun, sejak 2008, PT Antam mengakuisisi seluruh saham Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. dan kini menguasai penuh PT GAG Nikel.
Pembekuan IUP oleh Bahlil tak lepas dari gelombang penolakan yang disuarakan oleh berbagai pihak, terutama Greenpeace Indonesia. Dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Selasa, 3 Juni 2025, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Global untuk Indonesia, Kiki Taufik, secara tegas menyuarakan kekhawatirannya. Ia memperingatkan bahwa wilayah Raja Ampat akan rusak parah jika aktivitas tambang nikel terus dibiarkan. Menurut Taufik, dampak merusak akibat industri nikel sudah terlihat di beberapa daerah seperti Halmahera, Wawonii, dan Kabaena, dan kini ancaman serupa mulai merambah Raja Ampat.
Taufik menyoroti bahwa Raja Ampat adalah kawasan geopark global dan destinasi wisata bawah laut terpopuler di dunia, di mana sekitar 75 persen terumbu karang terbaik dunia berada. “Sekitar 75 persen terumbu karang terbaik dunia berada di Raja Ampat, dan sekarang mulai dirusak,” ujarnya dengan nada prihatin. Penelusuran Greenpeace tahun lalu juga menemukan adanya aktivitas tambang di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiga pulau ini termasuk kategori pulau kecil yang seharusnya tidak boleh ditambang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Analisis data Greenpeace menunjukkan bahwa kegiatan tambang di ketiga pulau tersebut telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami. Dokumentasi lapangan bahkan memperlihatkan adanya limpasan tanah yang mengalir ke pesisir, menimbulkan sedimentasi parah yang membahayakan terumbu karang serta ekosistem laut yang rapuh.
Dengan langkah pembekuan sementara ini, Kementerian ESDM berupaya mencari solusi objektif melalui verifikasi langsung ke lapangan, memastikan kebijakan yang diambil berdasarkan informasi yang akurat dan menjaga keberlanjutan lingkungan Raja Ampat.
Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Bahlil Bakal Kunjungi Raja Ampat untuk Tinjau Tambang Nikel