ISTANA Kepresidenan secara tegas menyanggah klaim bahwa lonjakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di berbagai daerah disebabkan oleh minimnya transfer dana dari pemerintah pusat. Bantahan ini muncul di tengah maraknya kebijakan sejumlah pemerintah daerah yang menaikkan tarif PBB-P2, memicu polemik di kalangan masyarakat.
Beberapa daerah tercatat telah memberlakukan kenaikan tarif PBB-P2 secara signifikan. Pemerintah Kabupaten Pati, misalnya, menaikkan tarif PBB-P2 hingga 250 persen. Tak hanya Pati, daerah lain seperti Jombang, Cirebon, Semarang, hingga Bone juga melakukan hal serupa, bahkan dengan persentase kenaikan yang mencapai 1.000 persen di beberapa lokasi.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menjelaskan bahwa keputusan terkait kenaikan tarif PBB merupakan kewenangan mutlak setiap pemerintah daerah. Menurutnya, kebijakan ini bervariasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, bahkan yang berdekatan sekalipun. “Jadi bukan, menurut pendapat kami bukan karena itu (anggaran daerah kurang),” tegas Prasetyo, menepis anggapan bahwa kenaikan tarif tersebut merupakan respons terhadap defisit anggaran daerah akibat kurangnya transfer dana.
Prasetyo juga mengungkapkan bahwa Istana sempat berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Namun, fokus konsultasi tersebut bukanlah membahas formulasi tarif PBB di Pati, melainkan lebih pada penanganan polemik dan penolakan yang timbul di masyarakat pascakenaikan tarif.
Gelombang unjuk rasa yang disuarakan warga Pati merupakan imbas langsung dari kebijakan Pemerintah Kabupaten Pati yang menaikkan tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Pihak Pemerintah Kabupaten Pati sendiri menyatakan bahwa revisi tarif PBB-P2 ini merupakan penyesuaian yang sangat dibutuhkan setelah tarif tidak mengalami perubahan selama 14 tahun. Pemkab Pati berargumen, penyesuaian tarif ini bertujuan utama untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memperkuat kapasitas fiskal daerah. Kenaikan PBB diharapkan menjadi salah satu sumber pendanaan tambahan yang vital untuk membiayai pembangunan serta meningkatkan kualitas layanan publik.
Merujuk data dari jdih.patikab.go.id, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pati untuk tahun 2024 disetujui sekitar Rp 2,754 triliun. Anggaran ini diprioritaskan untuk berbagai sektor krusial, seperti penanganan infrastruktur, penanggulangan kemiskinan ekstrem, dan pengendalian inflasi. Selanjutnya, untuk tahun anggaran 2025, APBD Pati disetujui meningkat menjadi sekitar Rp 2,940 triliun, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 12 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahun Anggaran 2025. Sumber pendapatan ini mencakup pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, serta pendapatan asli daerah lainnya yang sah.
Meskipun kenaikan tarif PBB di Pati diklaim masih berada dalam batas maksimal yang diizinkan dan tidak diberlakukan untuk seluruh objek pajak—bahkan ada yang hanya mengalami kenaikan 50 persen—warga Pati tetap menunjukkan penolakan keras terhadap kebijakan tersebut.
Jamal Abdun Nashr, Rehan Oktra Halim, dan Kakak Indra Purnama berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Di Balik Dana Riset buat BEM