Ragamutama.com JAKARTA. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin inilah gambaran yang paling tepat untuk menggambarkan situasi para pemegang saham atau investor PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), yang lebih dikenal dengan nama Sritex.
Setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang pada tanggal 21 Oktober 2024, kabar buruk kembali menghampiri. Kali ini, Komisaris Utama Sritex, yaitu Iwan Setiawan Lukminto, ditangkap oleh Kejaksaan Agung.
Saham perusahaan tekstil terkemuka ini telah dihentikan perdagangannya sejak 18 Mei 2021, akibat suspensi yang diberlakukan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Akibatnya, tidak sedikit investor yang dana investasinya tertahan di saham SRIL.
Menurut data yang dirilis oleh PT Adimitra Biro Administrasi Efek per 31 Januari 2025, total kepemilikan saham SRIL oleh masyarakat mencapai angka 8,37 miliar lembar saham, yang setara dengan 40,97% dari total saham yang telah disetor.
Kejagung: Bos Sritex Iwan Setiawan Lukminto Jadi Tersangka Korupsi Pemberian Kredit
Sesuai dengan Peraturan Bursa Nomor I-N, proses *delisting* perusahaan tercatat dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu permohonan perusahaan tercatat atau *voluntary delisting*, perintah dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta keputusan BEI atau *forced delisting*.
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan *delisting* terhadap perusahaan tercatat. Pertama, apabila emiten mengalami kondisi yang secara signifikan berdampak negatif terhadap keberlangsungan operasional perusahaan tercatat.
Kedua, apabila emiten tidak lagi memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk pencatatan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ketiga, apabila saham emiten telah mengalami suspensi perdagangan efek dalam jangka waktu minimal 24 bulan terakhir.
Berdasarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 3/2021 dan Surat Edaran OJK No. 13/SEOJK.04/2023, perusahaan yang akan melakukan *delisting* diwajibkan untuk melaksanakan pembelian kembali (*buyback*) atas saham yang dimiliki oleh publik.
Budi Frensidy, seorang Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, berpendapat bahwa jika *forced delisting* harus dilakukan, akan sulit bagi SRIL untuk melaksanakan kewajiban *buyback*.
“Akan sulit untuk meminta mereka melakukan *buyback* saham, karena sebagian besar perusahaan sudah dalam kondisi bangkrut,” ungkapnya kepada Kontan pada hari Rabu (21/5).
Iwan Setiawan Lukminto Ditahan, Bagaimana Nasib Investor Sritex (SRIL)?
Ekky Topan, seorang Investment Analyst dari Infovesta Kapital Advisory, menekankan bahwa dalam kasus seperti Sritex, penting bagi investor untuk mewaspadai sinyal-sinyal peringatan yang muncul.
“Sinyal-sinyal tersebut meliputi lonjakan utang yang signifikan, ketergantungan yang berlebihan pada pembiayaan eksternal, serta kurangnya transparansi dalam penyajian laporan keuangan,” jelasnya.
Berdasarkan laporan keuangan Sritex per September 2024, total liabilitas jangka pendek perusahaan mencapai US$ 133,84 juta. Sementara itu, total liabilitas jangka panjangnya menembus angka US$ 1,48 miliar.
Akibatnya, Sritex mencatatkan defisiensi modal sebesar US$ 1,02 miliar. Defisiensi modal mengindikasikan kondisi di mana perusahaan mengalami kekurangan sumber daya finansial yang diperlukan untuk menjalankan operasional dan memenuhi kewajiban-kewajibannya.
Sebelum tahun 2020, Sritex sebenarnya menunjukkan pertumbuhan kinerja yang positif, meskipun harus menanggung beban utang yang besar. Namun, situasi berubah drastis akibat praktik *dumping* dari China dan pandemi Covid-19 yang melanda dunia.
Ekky menjelaskan bahwa sejak saat itu, kondisi keuangan SRIL terus memburuk. Dengan beban utang yang sangat besar, Sritex akhirnya tidak mampu mempertahankan kesehatan finansialnya.
“Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa reputasi dan skala perusahaan, betapapun besarnya, tidak dapat menjamin stabilitas jika aspek tata kelola perusahaan (*governance*) dan manajemen risiko diabaikan,” pungkasnya.