Indra Utoyo, Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI), telah resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Manajemen Allo Bank Indonesia mengonfirmasi bahwa surat pengunduran diri diterima pada Kamis, 10 Juli 2025.
Dalam surat yang disampaikan kepada Bursa Efek Indonesia, alasan pengunduran diri Indra Utoyo adalah agar dapat berkonsentrasi penuh dalam menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapinya. Hal ini terkait dengan penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus yang terjadi saat beliau menjabat di bank sebelumnya, sebagaimana disampaikan oleh manajemen Allo Bank pada Kamis (10/7).
Menyusul pengunduran diri tersebut, Dewan Komisaris Allo Bank dengan sigap menunjuk Ari Yanuanto Asah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Utama. Penunjukan ini berlaku efektif mulai 10 Juli 2025 hingga diselenggarakannya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) berikutnya. Ari Yanuanto Asah memastikan bahwa seluruh layanan kepada nasabah serta operasional Bank akan tetap berjalan normal tanpa gangguan.
Sebagai informasi latar belakang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) pada sebuah bank pemerintah yang terjadi sepanjang tahun 2020 hingga 2024. Salah satu nama yang ditetapkan sebagai tersangka adalah mantan Wakil Direktur Utama BRI, Catur Budi Harto.
Selain Catur Budi Harto, empat tersangka lainnya meliputi Indra Utoyo yang saat itu menjabat Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk, Dedi Sunardi sebagai SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI, Elvizar selaku Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi, serta Rudy S. Kartadidjaja sebagai Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi. Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa penetapan tersangka didasarkan pada bukti permulaan yang cukup kuat.
“Memperkaya diri sendiri, orang lain, ataupun korporasi, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara yang dihitung dengan metode real cost, sekurang-kurangnya sebesar Rp 744.540.374.314,” papar Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (9/7), seperti dikutip dari Antara. Kerugian negara yang fantastis ini menjadi sorotan utama dalam penanganan kasus korupsi pengadaan mesin EDC tersebut.
Lebih lanjut, Asep Guntur Rahayu menjelaskan peran Indra Utoyo terkait posisi sebelumnya sebagai Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI. Indra Utoyo diduga kuat mengarahkan proses pengadaan mesin EDC serta melakukan pertemuan dengan para tersangka lain untuk memastikan penunjukan vendor mesin alat pembayaran tersebut kepada pihak-pihak tertentu.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menunjukkan seriusnya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan.