Proyeksi IHSG: Menguat Terbatas di Tengah Data Inflasi dan Kebijakan Tarif Global
JAKARTA — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) diproyeksikan memiliki peluang penguatan terbatas pada Senin (2/6/2025). Proyeksi ini muncul seiring pelaku pasar memusatkan perhatian pada rilis data inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia untuk periode Mei 2025. Pada pembukaan perdagangan, IHSG terpantau melemah 41,33 poin atau 0,58 persen, berada pada posisi 7.134,49. Senada, Indeks LQ45 yang merupakan cerminan dari 45 saham unggulan, juga terkoreksi 9,68 poin atau 1,19 persen, mengakhiri sesi pada 805,08.
Proyeksi penguatan terbatas IHSG tersebut disampaikan oleh Tim Riset Lotus Andalan Sekuritas dalam kajian terbarunya di Jakarta, Senin (2/6/2025).
Dari ranah domestik, aktivitas perdagangan saham di pekan ini terbilang singkat, hanya berlangsung selama empat hari, yakni dari Senin hingga Kamis. Hal ini disebabkan libur nasional Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada hari Jumat. Meskipun pekan perdagangan lebih pendek, beberapa data ekonomi makro krusial dijadwalkan akan dirilis. Salah satunya, S&P Global akan mengumumkan data Purchasing Managers’ Index (PMI) untuk periode Mei 2025.
Bersamaan dengan itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga akan merilis dua indikator penting pada hari yang sama, yaitu data IHK Mei 2025 dan Neraca Perdagangan April 2025. Data IHK Mei 2025 sendiri diperkirakan akan menunjukkan penurunan atau deflasi secara bulanan, menjadi perhatian utama bagi investor.
Beralih ke lanskap global, pasar juga diwarnai oleh kebijakan kontroversial dari Amerika Serikat. Presiden AS, Donald Trump, pada Jumat (30/5/2025) mengumumkan rencana untuk menaikkan dua kali lipat tarif impor baja, dari 25 persen menjadi 50 persen. Langkah ini diperkirakan akan meningkatkan tekanan biaya produksi bagi industri yang sangat bergantung pada logam industri. Kebijakan bea masuk baru tersebut akan mulai diberlakukan efektif pada 4 Juni.
Uni Eropa (UE) segera melontarkan kritik keras terhadap langkah AS ini, menegaskan bahwa kebijakan tersebut “merusak” upaya yang telah dibangun untuk mencapai “solusi yang dinegosiasikan” dalam konflik perang dagang yang masih berlarut-larut. Selain itu, S&P Global juga dijadwalkan akan merilis data PMI manufaktur dari berbagai negara penting, termasuk Amerika Serikat, Jepang, negara-negara ASEAN, dan Tiongkok untuk periode Mei 2025. Data ini penting sebagai indikator awal dalam menilai sejauh mana dampak perang dagang telah memengaruhi aktivitas manufaktur secara global.
Sementara itu, pergerakan bursa saham Amerika Serikat di Wall Street menunjukkan kinerja yang bervariasi pada penutupan perdagangan Jumat (30/5/2025). Meskipun demikian, secara keseluruhan, indeks-indeks saham AS berhasil mencatat performa positif sepanjang bulan ini. Penguatan pasar di Wall Street banyak didorong oleh pengumuman kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat dan Inggris. Para investor menaruh harapan besar bahwa kesepakatan ini dapat menjadi preseden dan membuka jalan bagi perjanjian serupa dengan negara-negara lain yang saat ini menghadapi dampak tarif dagang dari AS.
Secara rinci, Indeks S&P 500 terkoreksi tipis 0,01 persen menjadi 5.911,69. Nasdaq Composite juga menunjukkan pelemahan sebesar 0,32 persen, berakhir pada 19.113,77. Di sisi lain, Dow Jones Industrial Average berhasil menguat 54,34 poin atau 0,13 persen, mencapai level 42.270,07.
Mengakhiri tinjauan pasar global, bursa saham regional Asia pada pagi hari ini juga terpantau bergerak bervariasi. Indeks Nikkei Jepang melemah 523,60 poin atau 0,32 persen ke posisi 37.441,50; Indeks Shanghai Tiongkok terkoreksi 15,96 poin atau 0,47 persen ke 3.347,76; Indeks Hang Seng Hong Kong anjlok 545,77 poin atau 2,35 persen ke 22.745,00. Berbeda dengan sebagian besar, Indeks Strait Times Singapura justru berhasil menguat 9,26 poin atau 0,22 persen, ditutup pada level 3.886,33.