Eks Hakim MK Maruarar Siahaan Beberkan Doktrin ‘Pohon Beracun’ di Sidang Dugaan Suap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menjadi sorotan dengan hadirnya Maruarar Siahaan, mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai ahli dalam sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang menjerat Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Kehadiran Maruarar pada Kamis (19/6) atas undangan kubu Hasto bertujuan untuk memberikan pandangan hukum mendalam terkait legalitas alat bukti dan penafsiran pasal perintangan penyidikan.
Dalam keterangannya, Maruarar Siahaan secara tegas menyoroti legalitas perolehan alat bukti dalam suatu perkara. Menanggapi pertanyaan penasihat hukum Hasto, Febri Diansyah, mengenai penggeledahan terhadap seseorang yang bukan tersangka dan konsekuensi penyitaan barang pribadi secara tidak sah, Maruarar menjelaskan prinsip krusial yang dipegang Mahkamah Konstitusi. “Setiap alat bukti yang boleh diajukan di sidang itu adalah yang diperoleh dengan cara-cara yang sah,” tegas Maruarar, menggarisbawahi bahwa bukti yang dicuri atau diperoleh secara tidak sah, sekalipun mendukung dalil, tidak dapat diterima.
Lebih lanjut, Maruarar mengibaratkan alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti “buah dari pohon beracun” (the fruit of the poisonous tree). Ia menegaskan, “Alat bukti yang diperoleh tidak sah yang melanggar aturan itu tidak boleh dipergunakan. *Exclusionary*, tidak boleh dipakai.” Menurutnya, penggunaan bukti semacam itu di persidangan justru akan merusak validitas dan keadilan proses hukum secara keseluruhan, menjadikannya “beracun” dan “tidak sah,” layaknya memakan buah beracun yang mematikan.
Tak hanya soal alat bukti, Maruarar Siahaan juga mengelaborasi tafsir Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tentang perintangan penyidikan, yang juga didakwakan kepada Hasto Kristiyanto. Menanggapi pertanyaan penasihat hukum Hasto lainnya, Maqdir Ismail, terkait penerapan pasal tersebut pada tahap penyelidikan, Maruarar memberikan penjelasan yang fundamental.
Ia memaparkan tiga karakteristik utama hukum pidana: *lex stricta* (harus ketat dan terbatas), *lex certa* (harus jelas dan tidak ambigu), dan *lex scripta* (harus tertulis). Maruarar menekankan bahwa hukum pidana tidak memperkenankan penafsiran ekstensif atau analogis. “Kalau tegas sudah ditulis norma itu, tidak ada interpretasi yang kita bisa cari untuk membenarkan bisa diperluas atau dia bisa dipersingkat,” ujarnya. Oleh karena itu, Maruarar menegaskan bahwa jika norma hanya menyebut “penyidikan” dan tidak “penyelidikan,” maka keduanya harus dipisahkan secara tegas. Perluasan tafsir untuk memasukkan penyelidikan akan bertentangan dengan karakter *lex stricta* hukum pidana.
Duduk Perkara Kasus Hasto Kristiyanto
Sebagai informasi, Hasto Kristiyanto didakwa atas dua tuduhan utama dalam kasus ini: dugaan suap terkait proses Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dan perintangan penyidikan kasus buronan Harun Masiku.
Dalam dakwaan suap, Hasto disebut turut menyokong dana sebesar Rp 600 juta untuk memuluskan Harun Masiku menjadi anggota DPR melalui proses PAW. Dana tersebut diduga diberikan kepada Komisioner KPU RI saat itu, Wahyu Setiawan, melalui Agustiani Tio. Perbuatan suap ini diduga dilakukan Hasto bersama Donny Tri Istiqomah, Harun Masiku, dan Saeful Bahri.
Sementara itu, terkait dugaan perintangan penyidikan, Hasto dituding melakukan serangkaian upaya sistematis. Ia diduga mengumpulkan beberapa saksi terkait Masiku dan mengarahkan mereka untuk tidak memberikan keterangan yang sebenarnya kepada penyidik. Selain itu, pada saat operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Masiku, Hasto diduga memerintahkan Nur Hasan, penjaga rumahnya, untuk menelepon Masiku agar merendam ponselnya dalam air dan segera melarikan diri. Puncaknya, pada 6 Juni 2024, hanya empat hari sebelum Hasto diperiksa sebagai saksi terkait Masiku, ia juga diduga memerintahkan stafnya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel milik Kusnadi demi menghilangkan jejak dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).