Harga Minyak WTI Melambung di Tengah Eskalasi Israel-Iran: Kekhawatiran Pasokan Global Meningkat
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) kembali menunjukkan performa impresif pada awal pekan ini, melanjutkan reli tajam yang telah berlangsung sejak Jumat lalu. Lonjakan signifikan ini dipicu oleh meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah, menyusul eskalasi serangan udara antara Israel dan Iran.
Data dari Trading Economics menunjukkan bahwa harga minyak WTI melonjak 0,91% menjadi US$ 73,64 per barel pada Senin (16/6) pukul 10.49 WIB. Kenaikan harian ini menambah akumulasi penguatan sebesar 12,73% dalam sepekan terakhir, menandakan momentum *bullish* yang kuat di pasar minyak global.
Menganalisis pergerakan pasar, Andy Nugraha, Analis Dupoin Futures Indonesia, mengungkapkan bahwa kondisi teknikal minyak WTI saat ini secara jelas mengindikasikan kecenderungan tren *bullish* yang kuat. Sinyal teknikal ini dipertegas oleh volume transaksi opsi beli (*call options*) minyak senilai US$ 80 yang melonjak ke level tertinggi sejak Januari 2025. Fenomena ini mencerminkan ekspektasi kuat dari para pelaku pasar akan kenaikan harga minyak yang berkelanjutan.
Dalam risetnya pada Senin (16/6), Andy Nugraha menyatakan, “Ini merupakan indikator bahwa banyak *trader* yang memperkirakan adanya potensi gangguan pasokan dari kawasan Timur Tengah.” Prediksi ini menggarisbawahi sensitivitas pasar terhadap stabilitas geopolitik. Andy juga menambahkan, jika tekanan *bullish* terus berlanjut, harga WTI berpotensi menguji area *resistance* krusial di level US$ 77 per barel dalam waktu dekat, menandakan potensi kenaikan lebih lanjut.
Dari sisi sentimen fundamental, faktor geopolitik memang menjadi pendorong utama di balik reli harga minyak saat ini. Serangan balasan antara Israel dan Iran pada akhir pekan lalu tidak hanya menyebabkan korban sipil, tetapi juga secara signifikan meningkatkan kekhawatiran akan konflik berskala lebih besar yang dapat mengguncang stabilitas kawasan.
Ketegangan yang memanas ini secara langsung mengarah pada risiko gangguan distribusi minyak, terutama di Selat Hormuz, sebuah jalur pelayaran strategis yang vital. Sekitar 20% dari konsumsi minyak global melewati selat ini. Maklum, Iran sendiri merupakan produsen utama OPEC dengan kapasitas produksi sekitar 3,3 juta barel per hari dan ekspor lebih dari 2 juta barel.
Potensi serangan terhadap infrastruktur energi Iran atau bahkan kemungkinan blokade Selat Hormuz akan menjadi ancaman serius bagi suplai minyak global. Meskipun Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya memiliki kapasitas cadangan untuk menutupi kekurangan tersebut, pasar tetap merespons dengan kekhawatiran tinggi terhadap ketidakpastian pasokan yang dapat terjadi.
Namun demikian, Andy Nugraha juga mengingatkan adanya potensi koreksi harga jika pasar mulai merespons secara berlebihan terhadap sentimen positif. “Jika harga gagal mempertahankan tren naiknya dan terjadi tekanan jual, maka WTI berpotensi terkoreksi menuju *support* terdekat di level US$ 71,” jelasnya, memberikan pandangan dua arah.
Sentimen lain yang turut memengaruhi dinamika pasar adalah pernyataan politik global. Misalnya, pernyataan Donald Trump yang menyarankan perlunya ‘pertarungan’ sebelum gencatan senjata tercapai, menambah kompleksitas situasi yang sudah tegang. Dalam kondisi ketidakpastian seperti ini, volatilitas harga minyak diprediksi akan tetap tinggi dalam beberapa waktu ke depan.