APBN Jadi Benteng: Kemenkeu Pastikan Harga BBM Aman di Tengah Gejolak Konflik Iran-Israel
Gejolak konflik antara Iran dan Israel telah memicu lonjakan harga minyak mentah dunia, menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri. Namun, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih memiliki kapasitas kuat untuk menahan rambatan dampak ekonomi tersebut.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, menjelaskan bahwa tekanan harga minyak terhadap inflasi, terutama yang terkait dengan harga BBM, dapat diredam berkat kebijakan subsidi dan kompensasi yang telah disiapkan Pemerintah. “Masih terdapat ruang fiskal yang cukup untuk menyerap risiko inflasi terhadap domestik melalui kebijakan Pemerintah tersebut. Fungsi APBN sebagai *shock absorber* terbukti masih dapat berjalan dengan baik,” ujar Deni pada Selasa (24/6).
Keyakinan Kemenkeu didukung oleh fakta bahwa level harga minyak saat ini masih berada di bawah asumsi yang ditetapkan untuk APBN 2025, yakni USD 82 per barel. Sebagai perbandingan, harga minyak Brent pada akhir pekan lalu tercatat USD 77,27 per barel. Selain itu, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sepanjang tahun berjalan masih di bawah USD 73 per barel, yang semakin memperkuat posisi ruang fiskal pemerintah dalam menahan guncangan inflasi.
Di tengah pernyataan pemerintah, pasar minyak global memang menunjukkan pergerakan yang signifikan. Mengutip Reuters, pada perdagangan Senin (23/6), harga minyak mentah Brent naik 72 sen atau 0,93 persen menjadi USD 77,73 per barel. Senada, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS juga naik 71 sen atau 0,96 persen menjadi USD 74,55.
Melihat dinamika ini, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, turut memberikan pandangannya. Ia memperkirakan bahwa dampak kenaikan harga minyak mentah ini akan lebih terasa pada jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Non-Subsidi, seperti Pertamax ke atas. Harga BBM jenis ini memang dievaluasi dan disesuaikan setiap bulan berdasarkan fluktuasi harga minyak mentah dunia. “Jadi, jika terjadi kenaikan harga minyak global, kemungkinan besar yang akan naik secara spontan adalah harga BBM non-subsidi,” kata Fahmy saat dihubungi pada Senin (23/6).
Namun, untuk BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar, Fahmy memperkirakan harganya baru akan berpotensi berubah jika harga minyak mentah dunia menembus level di atas USD 100 per barel. Selama harga minyak mentah dunia masih bergerak dalam rentang USD 90 hingga USD 100 per barel, harga BBM bersubsidi cenderung akan dipertahankan oleh pemerintah.
Keputusan ini bukannya tanpa alasan. Fahmy menegaskan bahwa menaikkan harga BBM bersubsidi saat harga minyak mentah belum menembus USD 100 per barel akan membawa dampak yang sangat besar bagi perekonomian RI. Langkah tersebut berpotensi memicu lonjakan inflasi dan melemahkan daya beli masyarakat, sebuah risiko yang harus dihindari. “Menurut saya, jika masih di bawah USD 100 per barel, atau sekitar USD 90-an misalnya, pemerintah sebaiknya tidak menaikkan, karena risiko terlalu besar, meskipun itu menambah beban bagi APBN,” pungkasnya, menegaskan pentingnya stabilitas ekonomi di tengah tekanan global.