Ragamutama.com – JAKARTA — Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Enny Nurbaningsih, menyoroti kejanggalan dalam permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Permohonan tersebut secara khusus meminta Presiden, Badan Legislasi (Baleg), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memberikan kompensasi finansial kepada negara, yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Pada penghujung sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 58/PUU-XXIII/2025 yang digelar di Jakarta, Jumat (9/5/2025), Enny menyatakan bahwa tuntutan pemohon tersebut melampaui wewenang Mahkamah Konstitusi dan tidak sejalan dengan prosedur hukum yang berlaku.
“Ada permintaan agar Mahkamah menghukum Presiden, kemudian Baleg, dan pihak-pihak lainnya. Hal semacam ini tidak lazim dan tidak sesuai dengan mekanisme hukum di Mahkamah Konstitusi. Ini bukan wewenang kami,” tegasnya.
Enny menekankan pentingnya bagi pemohon untuk mengkaji ulang Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, terutama Pasal 10 yang menjelaskan tata cara merumuskan permohonan atau petitum.
“Permohonan Saudara terlalu meluas dan menyentuh area di luar kewenangan Mahkamah. Tidak mungkin Mahkamah memaksa Presiden untuk memenuhi permintaan Saudara, apalagi dengan detail yang Saudara sampaikan di sini. Ini bukan sesuatu yang lazim untuk dilakukan oleh Mahkamah,” tambahnya.
Senada dengan Enny, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengingatkan pemohon untuk berpegang teguh pada hukum acara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Ia menekankan bahwa permohonan yang tidak memenuhi ketentuan hukum acara berisiko tidak dapat diterima.
“Bayangkan jika permohonan Anda tidak memenuhi persyaratan yang ada, tentu saja bisa tidak dapat diterima karena berbagai alasan, misalnya karena dianggap kabur atau alasan lainnya. Akibatnya, permohonan ini tidak akan dilanjutkan ke tahap pembuktian,” jelas Arief.
Perkara Nomor 58 ini diajukan oleh dua mahasiswa, yaitu Hidayatuddin dari Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Putera Batam, serta Respati Hadinata dari Fakultas Teknik Informatika Politeknik Negeri Batam.
Dalam permohonannya, mereka meminta Mahkamah untuk menjatuhkan hukuman pembayaran uang paksa (dwangsom) kepada Presiden RI periode 2024–2029, pimpinan dan anggota Baleg periode 2024–2029, serta pimpinan dan anggota DPR periode 2024–2029 yang hadir dalam rapat paripurna pengesahan UU TNI.
Kedua pemohon tersebut mengusulkan agar Presiden membayar uang paksa sebesar Rp12,5 miliar per hari kepada negara, Baleg sebesar Rp2,5 miliar per hari, dan DPR sebesar Rp25 miliar per hari. Uang paksa ini akan dibayarkan jika ketiga pihak tersebut lalai dalam melaksanakan putusan Mahkamah.
Sebagai alternatif, para pemohon juga mengajukan petitum berupa pembayaran ganti rugi kepada negara, dengan rincian Rp25 miliar untuk Presiden, Rp5 miliar untuk Baleg, dan Rp50 miliar untuk DPR. Ganti rugi ini diajukan karena ketiga pihak tersebut dinilai lalai dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya dalam proses pembentukan UU TNI yang baru.
Selanjutnya, Mahkamah memberikan waktu selama dua minggu kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan mereka. Batas waktu penerimaan perbaikan permohonan di Kepaniteraan MK adalah Kamis (22/5/2025).