Kasus pengunduran diri dua orang guru di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 24 Gowa, Sulawesi Selatan, sebelum sempat menjalankan tugas mengajar mereka, kini menjadi sorotan. Kepala Sekolah SRMP 24 Gowa, Anwar, mengungkapkan bahwa kedua guru tersebut, yang seharusnya mengampu mata pelajaran Bimbingan Konseling (BK) dan Seni Budaya, belum pernah sekalipun hadir di sekolah. Alasan utama yang disampaikan adalah kendala jarak domisili dan pertimbangan keluarga.
Anwar menjelaskan bahwa kedua guru tersebut berdomisili di Yogyakarta dan menghadapi kesulitan untuk berpindah tempat tinggal karena alasan keluarga, termasuk status istri salah satu guru sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Kondisi ini menyebabkan kekosongan tenaga pendidik di SRMP 24 Gowa, yang idealnya memiliki 11 guru dan satu kepala sekolah untuk membimbing 150 siswa. Saat ini, hanya sembilan guru yang aktif dan tengah dioptimalkan untuk mengisi kebutuhan mengajar.
Gelombang Pengunduran Diri Guru di Berbagai Daerah
Fenomena di Gowa ternyata hanyalah bagian kecil dari persoalan yang lebih besar dalam implementasi program Sekolah Rakyat. Menteri Sosial Saifullah Yusuf, yang akrab disapa Gus Ipul, mengungkapkan bahwa secara nasional, sebanyak 160 guru Sekolah Rakyat telah mengundurkan diri. Menurutnya, penyebab utama pengunduran diri ini adalah lokasi penempatan yang terlalu jauh dari tempat tinggal para guru.
Gus Ipul menyatakan bahwa Kementerian Sosial telah menyiapkan lebih dari 50.000 guru cadangan yang sedang mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG), siap untuk menggantikan posisi guru yang mundur. Namun, lonjakan pengunduran diri ini memunculkan kekhawatiran mendalam terhadap efektivitas dan keberlanjutan pelaksanaan program Sekolah Rakyat yang berfokus pada pemerataan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Kondisi serupa juga teramati di Sekolah Rakyat Sentra Wirajaya Makassar, di mana dua guru mata pelajaran IPS dan Seni Budaya turut mengundurkan diri dengan alasan yang sama, yaitu jarak tempuh yang jauh dari tempat tinggal mereka.
Fenomena ini memicu kritik terhadap sistem penempatan guru yang dinilai terlalu sentralistik dan kurang mempertimbangkan kondisi geografis serta kebutuhan lokal. Yanuar Nugroho, seorang pengamat kebijakan publik dari Nalar Institute, berpendapat bahwa sistem administratif yang diterapkan oleh pemerintah pusat terlalu kaku, mengabaikan domisili atau kapasitas mobilitas para guru. Hal ini menciptakan ketidaksesuaian antara kebutuhan pendidikan di daerah dengan kesiapan pribadi guru.
Senada dengan itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menegaskan perlunya pelibatan pemerintah daerah dalam proses penentuan penempatan guru. Menurutnya, kebijakan satu arah dari pusat akan terus menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan. Ubaid juga menyarankan agar guru dilibatkan sejak awal dalam penentuan lokasi mengajar melalui mekanisme konsultasi atau survei preferensi, sehingga mereka memiliki rasa kepemilikan dan tanggung jawab yang lebih besar terhadap program ini.
Menanggapi berbagai kritik tersebut, Gus Ipul menegaskan komitmen pemerintah untuk terus melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap kebijakan Sekolah Rakyat. Ia menyatakan bahwa penambahan titik-titik sekolah dan optimalisasi penempatan guru akan terus diupayakan demi menjangkau lebih banyak anak-anak dari keluarga miskin yang membutuhkan akses pendidikan. Gus Ipul juga menambahkan bahwa program Sekolah Rakyat ini masih dalam tahap awal, dan pemerintah akan terus memperbaiki kekurangan yang ada.