Gaji Pertama: Tips Bijak Mengelola Keuangan untuk Masa Depan

Avatar photo

- Penulis

Rabu, 28 Mei 2025 - 20:48 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Benarkah kehidupan yang sesungguhnya bermula dari gaji pertama?

Apa kenangan yang paling membekas tentang gaji pertama Anda?

Sejujurnya, saya sudah merasakan hasil jerih payah sendiri sejak masih aktif sebagai mahasiswa di sebuah Universitas tertua di Indonesia, tepatnya di Yogyakarta. Tentu, ini di luar uang bulanan yang dikirimkan oleh orang tua. Sebagai seorang mahasiswa rantau, kiriman dari orang tua menjadi sumber utama saat itu. Orang tua saya bukanlah berasal dari kalangan berada, melainkan seorang PNS dengan penghasilan yang pas-pasan. Namun, hebatnya, mereka tidak pernah sekalipun mengeluh soal keuangan dan selalu tepat waktu mengirimkan uang bulanan kepada anaknya di perantauan.

Sebagai anak yang memahami kondisi orang tua, saya pun jarang mengeluhkan jumlah uang bulanan yang diberikan, meskipun teman-teman kos saya menerima jumlah yang lebih besar. Saya juga tidak pernah meminta uang saku tambahan. Kalaupun ada permintaan tambahan, biasanya hanya untuk membayar uang kos setiap enam bulan sekali atau ketika ada buku perkuliahan penting yang harus dibeli. Selebihnya, tidak ada.

Menerima kiriman tepat waktu tidak menjamin keuangan selalu tercukupi. Oleh karena itu, saya menerapkan jurus hemat ala anak kos. Namun, untuk urusan keuangan, saya mengakali dengan mencari penghasilan tambahan.

Penghasilan tambahan ini saya gunakan untuk sekadar “bersenang-senang” sederhana bersama teman-teman organisasi kampus atau teman kos. Misalnya, untuk piknik bersama atau kegiatan serupa. Alhamdulillah, pada saat itu, budaya nongkrong di kafe belum sepopuler sekarang. Kalaupun nongkrong, biasanya hanya di warung burjo (bubur kacang ijo) atau di warung Intel (Indomie telur) di sekitaran kampus. Jika ada sedikit kelebihan uang, kami makan di tempat yang lebih mahal, itupun seringkali gratis karena ada teman yang cukup kaya dan merayakan ulang tahun atau ingin mentraktir.

Penghasilan tambahan saat itu saya peroleh, salah satunya, dari menulis di kolom mahasiswa di koran lokal. Sesekali saya juga menulis resensi buku di media nasional. Pada masa itu, media massa sedang berada di puncak kejayaannya dan masyarakat memperoleh informasi dari media massa, televisi, dan radio. Media sosial, sebagai alternatif mencari informasi, belum tersedia.

Baca Juga :  MSCI Kecualikan Saham Emiten Prajogo Pangestu BREN, CUAN, PTRO dalam Review Indeks

Uang yang saya dapatkan dari tulisan-tulisan yang dimuat ternyata lumayan juga. Terlebih lagi, ada kebijakan kampus yang memberikan uang tambahan jika ada publikasi mahasiswa di media lokal atau nasional. Jadi, sekali menulis, saya bisa mendapatkan tiga jenis honor: dari media, dari fakultas, dan dari universitas. Lumayan sekali!

Selain dari menulis, saya juga mendapatkan tambahan uang dari beasiswa dan berbagai acara kampus, mulai dari lomba hingga acara kampus yang membuka lowongan pekerjaan *freelance* bagi mahasiswa. Semua peluang yang berpotensi menghasilkan uang saya manfaatkan.

***

Namun, semua itu belum saya anggap sebagai gaji pertama. Hingga pada tahun 2001, setelah lulus kuliah, saya mendapatkan pekerjaan pertama sebagai jurnalis di sebuah majalah keuangan perbankan di Jakarta.

Saya ingat, saat wawancara kerja, saya hanya meminta gaji sebesar 1 juta rupiah. Pewawancara tentu saja senang mendengarnya, karena *take home pay* yang mereka tawarkan lebih tinggi dari angka yang saya minta, meskipun hanya berbeda 50 ribu rupiah saja. Gaji pertama saya saat itu sebesar Rp1.150.000 di Januari 2001. MasyaAllah. Saat itu, UMR Jakarta hanya Rp426.250.

Untuk apa gaji pertama itu saya gunakan? Jujur, saya sudah lupa detailnya. Yang pasti, gaji itu menjadi awal kemandirian dan tanggung jawab baru dalam pengelolaan keuangan.

Awal kemandirian karena saya tidak lagi menerima kiriman dari orang tua yang selama ini menjadi rutinitas bulanan. Sedangkan tanggung jawab baru karena, bagaimanapun caranya, gaji harus cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan. Pengelolaan keuangan menjadi tanggung jawab baru yang wajib dilakukan agar kehidupan keuangan di tanah rantau tidak berantakan.

Baca Juga :  Digempur Pinjol, Koperasi Simpan Pinjam Harus Berani Berubah

Gaji pertama saat itu, seingat saya, lebih banyak digunakan untuk bertahan hidup di Jakarta. Digunakan untuk membayar kos yang baru didapat dan untuk kebutuhan sehari-hari.

Mungkin ada sedikit yang saya kirimkan ke kampung halaman, dan selebihnya saya tabung. Belum terpikirkan soal investasi. Apalagi saat itu, pengetahuan saya tentang investasi masih sangat minim. Gaji pertama juga saya sisihkan untuk membeli *handphone* yang layak, karena saat itu teman-teman kantor sudah memiliki HP yang bagus untuk berkomunikasi.

Dari gaji pertama ini mungkin belum ada barang mewah yang bisa saya beli, seperti yang dilakukan orang lain. Apalagi saat itu saya memulai semuanya dari nol sebagai anak perantau baru di ibukota.

Namun, ternyata gaji inilah yang menjadi gerbang pembuka perjalanan kehidupan selanjutnya. Misalnya, dari gaji pertama ini, saya mulai membuka rekening tabungan kedua, yang saya gunakan untuk memisahkan uang gaji yang akan digunakan untuk konsumsi/kos dengan uang tabungan. Saat itu, rekening kedua saya di bank syariah yang letaknya dekat dengan kantor. Seiring berjalannya waktu, saya tidak hanya menabung, tetapi juga mulai belajar berinvestasi, mulai dari emas hingga berani berinvestasi di reksadana saham.

Pada akhirnya, saya harus mengakui bahwa kenangan tentang gaji pertama bukan hanya tentang nominalnya semata. Bukan pula tentang perasaan bangga karena tujuan tercapai berkat kerja keras. Tetapi lebih kepada menghargai dan mengingat gaji pertama sebagai awal perjalanan panjang dan pembuka jalan bagi masa depan keuangan pribadi yang lebih baik.

Kalau gaji pertama Anda dulu digunakan untuk apa?

Semoga bermanfaat.

Berita Terkait

Investor Asia Waspada: Bursa Tertekan Ketidakpastian Tarif Dagang Jumat Pagi
Harga Emas Anjlok Jumat Pagi: Bayang-bayang Tarif Trump dan Ketidakpastian Ekonomi
Sinarmas Land: Keluarga Widjaja Kuasai 97% Saham, Delisting dari Bursa Singapura
Lo Kheng Hong Raih Hampir Rp 50 Miliar Dividen dari Satu Saham Blue Chip
IHSG Akhiri Mei 2025 di Level 7.175: Analisis dan Prospeknya
TBS Energi Utama Tbk (TOBA) Catat EBITDA US$ 15,8 Juta pada Kuartal I-2025
Prediksi Saham Penopang IHSG Hingga Akhir Mei 2025: Catat Daftarnya!
Mengenal APEC: Sejarah, Tujuan, dan Peran Pentingnya di Ekonomi Global

Berita Terkait

Jumat, 30 Mei 2025 - 09:15 WIB

Investor Asia Waspada: Bursa Tertekan Ketidakpastian Tarif Dagang Jumat Pagi

Jumat, 30 Mei 2025 - 08:27 WIB

Sinarmas Land: Keluarga Widjaja Kuasai 97% Saham, Delisting dari Bursa Singapura

Jumat, 30 Mei 2025 - 08:12 WIB

Lo Kheng Hong Raih Hampir Rp 50 Miliar Dividen dari Satu Saham Blue Chip

Jumat, 30 Mei 2025 - 08:03 WIB

IHSG Akhiri Mei 2025 di Level 7.175: Analisis dan Prospeknya

Jumat, 30 Mei 2025 - 07:23 WIB

TBS Energi Utama Tbk (TOBA) Catat EBITDA US$ 15,8 Juta pada Kuartal I-2025

Berita Terbaru

technology

Bahaya Malware di TikTok: Waspada Video Sesat yang Sebar Virus

Jumat, 30 Mei 2025 - 08:59 WIB