Langkah Tegas ESDM: Empat Izin Tambang di Raja Ampat Dicabut, Mengapa PT Gag Nikel Lolos?
Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil langkah tegas dengan mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan signifikan ini menyisakan hanya satu perusahaan, PT Gag Nikel, yang diizinkan melanjutkan operasinya di Pulau Gag.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan, kebijakan ini merupakan hasil pertimbangan mendalam atas aspek legalitas, rekam jejak historis, serta verifikasi lapangan yang komprehensif. “Dari total lima IUP, hanya PT Gag Nikel yang memenuhi kriteria untuk tetap beroperasi. Empat IUP lainnya secara resmi telah dicabut,” tegas Bahlil dalam konferensi pers yang berlangsung pada Selasa, 10 Juni 2025.
Bahlil menjabarkan bahwa PT Gag Nikel memiliki status hukum yang berbeda dan lebih kuat dibandingkan perusahaan lain. Pasalnya, PT Gag Nikel merupakan pemegang kontrak karya yang sah dan telah berlaku sejak tahun 1998, dengan jejak eksplorasi awal yang bahkan sudah dimulai sejak tahun 1972.
Selain keunggulan historis tersebut, PT Gag Nikel menjadi satu-satunya entitas yang mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk tahun 2025, sementara empat perusahaan lainnya tidak memiliki dokumen krusial tersebut. Lebih lanjut, Bahlil juga meyakinkan bahwa kegiatan operasional PT Gag Nikel diklaim tidak memberikan dampak negatif terhadap ekosistem laut Raja Ampat yang kaya. Ia menegaskan, Pulau Gag, lokasi penambangan, tidak termasuk dalam kawasan konservasi maupun Geopark Raja Ampat. “Pulau Gag berjarak sekitar 42 km dari Piaynemo, yang dikenal sebagai pusat wisata utama, dan secara geografis lebih dekat ke Maluku Utara,” imbuh Bahlil, yang juga menjabat Ketua Umum Partai Golkar.
Empat IUP yang dicabut meliputi kepemilikan PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham. Dari keempatnya, dua perusahaan sempat mengajukan RKAB namun permohonannya ditolak oleh Kementerian ESDM, sementara PT Nurham bahkan tidak mengajukan sama sekali. Bahlil juga menekankan bahwa seluruh IUP yang dicabut ini belum satu pun memulai operasionalnya.
Selain alasan di atas, pencabutan izin bagi keempat perusahaan ini didasari indikasi pelanggaran lingkungan dan legalitas yang tidak selaras dengan perkembangan kebijakan nasional saat ini. Bahlil menjelaskan, “Sebagian besar izin ini diterbitkan antara tahun 2004 hingga 2006 oleh pemerintah daerah, berlandaskan Undang-Undang Minerba yang lama. Namun, kami tidak bermaksud menyalahkan pihak manapun; ini adalah tanggung jawab kolektif untuk kita benahi bersama,” pungkasnya, menandai komitmen pemerintah.