Seorang aktivis demokrasi di Jawa Barat menjadi korban serangan digital setelah fotonya diunggah tanpa izin oleh akun resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar). Kejadian ini diduga kuat sebagai tindakan doxing yang dipicu kritik tajam sang aktivis terhadap kebijakan pemerintah daerah. Insiden ini memicu somasi dan perdebatan tentang bagaimana semestinya kepala daerah merespons kritik di era digital, dengan para pakar menyerukan pentingnya memanfaatkan media sosial sebagai ruang dialog alih-alih sarana pembungkaman.
Aktivis demokrasi Neni Nur Hayati melayangkan somasi kepada jajaran Pemprov Jabar pada Senin (21/07). Langkah ini diambil menyusul unggahan akun Instagram @diskominfojabar—yang kini telah dihapus—sepekan sebelumnya, yang diduga menyebarkan identitas pribadi Neni tanpa persetujuan. Forum advokasi keterbukaan informasi, Wakca Balaka, menilai pencatutan foto tersebut memberi celah bagi warganet pendukung Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk melakukan perundungan, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik atau trolling.
Akibat insiden tersebut, Neni Nur Hayati mengalami serangkaian serangan digital yang brutal. Ia menerima ancaman penyiksaan, kekerasan gender berbasis online (KGBO), peretasan nomor WhatsApp, hingga teror telepon dari nomor tidak dikenal melalui akun media sosialnya. Ia mengungkapkan bahwa intensitas serangan ini jauh melampaui kritik-kritik yang pernah ia sampaikan sebelumnya, bahkan saat mengkritik tokoh nasional. “Ini tidak pernah saya dapatkan ketika saya mengkritik pemerintah, mengkritik Pak Prabowo sekalipun, dan mengkritik kebijakan presiden sebelum Pak Prabowo, Pak Jokowi,” ujarnya.
Tak hanya itu, akun TikTok Neni dengan hampir 19 ribu pengikut, yang selama ini menjadi platformnya menyuarakan kritik, aspirasi, dan edukasi seputar isu politik, demokrasi, serta kebijakan publik, turut tidak dapat diakses. Serangan digital terhadap Neni ini bermula setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (Kang Dedi Mulyadi/KDM), melalui akun Instagram pribadinya (@dedimulyadi71), memberikan klarifikasi mengenai anggaran media dan pengerahan buzzer. Dalam unggahannya, Dedi menyinggung “mbak yang berkerudung yang speak up saya menggunakan dana APBD untuk bayar buzzer,” yang kemudian memicu warganet untuk mencari tahu sosok tersebut dan menyematkan akun Instagram Neni.
Sehari berselang, video KDM itu dimuat ulang oleh akun @diskominfojabar—yang dikelola Dinas Komunikasi dan Informatika Pemprov Jabar—dengan menyertakan foto Neni dalam unggahan pada 15 Juli silam. Unggahan tersebut juga berkolaborasi dengan akun resmi lain seperti @humas_jabar, @jabarsaberhoaks, dan @jabarprovgoid. “Ketika sudah muncul di akun Pemprov Jawa Barat, bagi saya, ini ada dugaan upaya represif yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melakukan pembungkaman kepada warga negara yang kritis,” tegas Neni, yang lantas melayangkan somasi kepada Gubernur dan Kepala Diskominfo Provinsi Jawa Barat.
Kuasa hukum Neni, Ikhwan Fahrojih, menjelaskan bahwa unggahan foto tanpa izin tersebut merupakan tindakan doxing dan sangat kontraproduktif terhadap upaya membangun ruang kebebasan berpendapat yang kondusif. Somasi tersebut menuntut Gubernur dan Kepala Diskominfo Jawa Barat untuk meminta maaf secara terbuka di media massa dalam 1×5 hari, serta menarik unggahan yang memuat wajah Neni dalam 2×24 jam. Ikhwan menekankan bahwa pemasangan foto tanpa izin di media sosial memiliki konsekuensi hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Ia menambahkan, jika Pemprov Jabar tidak menunjukkan itikad baik, jalur hukum akan ditempuh. Saat dicek oleh BBC News Indonesia pada Jumat (25/07), unggahan kontroversial tersebut memang telah dihapus.
‘Tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh akun pemerintah’
Sebagai penggiat pemilu dan aktivis demokrasi, Neni Nur Hayati sangat menyayangkan sikap kepala daerah yang terkesan antikritik. Menurutnya, pemerintah seharusnya melindungi warganya dan mendukung kebebasan berpendapat, bukan malah membungkamnya. “Saya berharap kebebasan berpendapat, mendukung masyarakat untuk kritis itu bukan hanya wacana saja, tetapi bisa diimplementasikan dengan tindakan nyata bahwa saya adalah pemimpin yang tidak antikritik, menerima semua masukan-masukan,” tegas Neni, menekankan pentingnya pemimpin yang negarawan dan mengedepankan etika serta partisipasi publik.
Senada, forum advokasi keterbukaan informasi Wakca Balaka mengecam keras serangan digital terhadap Neni. Perwakilan Wakca Balaka, Iqbal T. Lazuardi, menyebut tindakan Pemprov Jabar memuat ulang video klarifikasi Dedi Mulyadi dengan menyertakan foto Neni sebagai “tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh akun pemerintah, apalagi dilakukan oleh Diskominfo dan Humas Jabar, lembaga yang seharusnya mendidik publik dalam hal digital.” Iqbal menambahkan, hal ini berpotensi menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat Jawa Barat yang ingin menyampaikan kritik.
Pakar komunikasi publik dari Universitas Padjajaran (Unpad), FX Ari Agung Prastowo, juga menyayangkan insiden ini. Ia menilai Pemprov Jabar justru terjebak kasus doxing dan gagal membangun ruang publik virtual yang rasional dan komunikatif. “Fenomena ini, termasuk juga munculnya fenomena buzzer itu, dampak dari belum kuat budaya kita sebagai pengguna media sosial yang bijak dan arif,” sebut Ari. Terkait respons dari Pemprov Jabar, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Ade Komar belum memberikan tanggapan. Sementara itu, Gubernur Dedi Mulyadi membantah melakukan doxing, berkilah dirinya tidak menyebut nama spesifik dan hanya berniat menjawab tuduhan pengerahan buzzer.
Bagaimana seharusnya kepala daerah merespons kritikan?
Neni Nur Hayati, sebagai pengamat isu demokrasi, menegaskan bahwa kritik warga terhadap pemimpin adalah esensi demokrasi itu sendiri. Ia berpendapat bahwa pemimpin seharusnya membangun dialog, membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya, dan bersedia mendengarkan masukan warganya. “Jangan menjadi pemimpin yang bebal politik. Kalau bebal politik, masyarakat memberikan masukan apa pun tidak akan pernah didengar,” kata Neni.
FX Ari Agung Prastowo dari Unpad sepakat, menyarankan kepala daerah untuk memanfaatkan media sosial sebagai ruang dialog guna menciptakan kebijakan yang lebih baik. Menurutnya, pemimpin tidak semestinya alergi terhadap kritik, melainkan menggunakannya sebagai momentum untuk perbaikan. “Sesungguhnya yang lebih utama atau penting adalah bagaimana menyusun kebijakan dan program itu berbasis riset,” tegas Ari. Ia menekankan bahwa suara publik adalah bagian integral dari riset yang harus didengarkan, dianalisis, dan diwujudkan dalam program atau kebijakan pemerintah.
Ari juga menyoroti pentingnya etika komunikasi politik di tengah pesatnya penggunaan ruang virtual. Ia mengingatkan bahwa ruang-ruang dialog tatap muka yang tidak dapat tergantikan oleh virtual, tetap harus dirawat dan tidak segala sesuatunya dipertontonkan di ruang publik digital.
Bagaimana gaya komunikasi publik kepala daerah
Dalam konteks komunikasi publik, Dedi Mulyadi dikenal aktif menyebarkan aktivitas blusukan dan aksi sosialnya melalui akun media sosial pribadinya, kerap “mendompleng” kasus viral. Meskipun memiliki tim konten sendiri dan sering membuat swa-video untuk merespons kritik atau mengumumkan kebijakan, ia mendapatkan dukungan karena mampu membangun kedekatan emosional dengan warga Jabar, menciptakan personal branding sebagai ‘Bapak Aing’.
Gaya komunikasi publik yang hangat juga ditunjukkan oleh Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, yang dijuluki “ibunya warga Maluku Utara.” Ia menunjukkan kedekatan emosional, misalnya dengan berbaur dan bermain bersama anak-anak pada Hari Anak Nasional, yang mendapat respons sangat positif dari warganet.
Berbeda dengan itu, Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, memiliki program SADA Sumut (Sapa Daerah Sumatra Utara) untuk turun langsung ke lapangan. Namun, gaya komunikasi Bobby cenderung formal, menggunakan bahasa baku dan terstruktur, dan kurang interaktif di media sosial, dengan banyak keluhan atau kritik warga di kolom komentar akun Instagramnya yang tidak direspons. Ari menilai hal ini mungkin karena kurangnya pengalaman Bobby dalam memberikan umpan balik konstruktif.
Di Tasikmalaya, Wali Kota Viman Alfarizi Ramadhan dikritik karena terlalu mengandalkan media sosial atau komunikasi satu arah, sementara wakilnya, Diky Chandra, dipuji karena interaksi langsungnya dengan masyarakat. Ari menganggap ini sebagai pembagian tugas yang positif. Namun, ia mengingatkan bahwa esensi komunikasi publik kepala daerah bukan hanya berbagi informasi, melainkan juga menunjukkan empati dan menjadi solusi bagi warga. “Kepala daerah harus betul-betul ikut merasakan apa yang menjadi persoalan publik,” pungkas Ari, menekankan bahwa kehadiran pemimpin harus mampu menjadi solusi agar tercipta hubungan baik antara pemerintah dan warganya.
- Polemik ‘gubernur konten’ Dedi Mulyadi – Wacana kebijakan yang bikin gaduh atau ‘investasi politik’?
- Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kirim pelajar ‘bandel’ ke barak militer – Apa akibatnya?
- Kasus pembubaran paksa retret di Cidahu Sukabumi – Bagaimana kronologinya?
- Lima masalah yang perlu diatasi Komdigi selain pembatasan gratis ongkos kirim – ‘Data bocor, judi online merajalela’
- Petinggi Kominfo mundur ‘sebagai tanggung jawab moral’ setelah Pusat Data Nasional diretas
- Pusat Data Nasional Sementara lumpuh akibat ransomware, mengapa instansi pemerintah masih rentan terhadap serangan siber?
- Potret kebijakan publik pemerintahan Prabowo-Gibran – Viral dulu, cabut kemudian
- ‘Tukang pukul kok disuruh merangkul?’ – Pendekatan kesejahteraan di Papua dipertanyakan
- Kesaksian staf KBRI soal perilaku pejabat pemerintah dan keluarganya di luar negeri – ‘Bukan tugas negara, tapi minta fasilitas’
- Mengungkap jejak digital tiga cagub Jakarta – Dari candaan seksis hingga teori konspirasi
- Bobby dan Gibran terima penghargaan dari Kemendagri – Adakah unsur nepotisme?
- Wali Kota Medan Bobby Nasution apresiasi tembak mati begal, padahal Presiden Jokowi menyesalkan ‘Petrus’
- Polemik ‘gubernur konten’ Dedi Mulyadi – Wacana kebijakan yang bikin gaduh atau ‘investasi politik’?
- Sederet kontroversi menteri-menteri dan pembantu Prabowo – Mulai dari pelanggaran HAM berat, kop surat dan anggaran Rp20 T
- Mengungkap jejak digital tiga cagub Jakarta – Dari candaan seksis hingga teori konspirasi









