Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menjatuhkan sanksi kepada Timnas Indonesia atas dugaan tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh sejumlah suporter. Insiden ini terjadi pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia melawan Bahrain yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) pada 25 Maret lalu. Konsekuensi dari kejadian ini cukup signifikan bagi PSSI dan para pendukung.
Arya Sinulingga, anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, menyampaikan kabar tersebut pada hari Minggu (11/5), mengonfirmasi bahwa FIFA secara resmi telah memberikan hukuman. Hukuman pertama berupa denda yang cukup besar, mencapai hampir setengah miliar rupiah, tepatnya lebih dari Rp 400 juta.
Hukuman kedua berkaitan dengan pertandingan melawan China yang akan datang. FIFA memerintahkan PSSI untuk menutup sekitar 15 persen dari total kapasitas stadion, terutama di area tribun belakang gawang. Area ini secara khusus merujuk pada tribun utara, yang biasanya ditempati oleh kelompok suporter La Grande Indonesia, dan tribun selatan, yang menjadi markas bagi Ultras Garuda.
“Berdasarkan laporan yang kami terima, FIFA menyoroti bahwa suporter Indonesia yang paling aktif berada di tribun utara dan selatan. Insiden yang dimaksud terjadi di sektor 19 pada menit ke-80, di mana sekitar 200 suporter tuan rumah meneriakkan slogan xenophobia, ‘Bahrain blablabla’,” jelas Arya dalam pernyataan resminya pada Minggu (11/5).
“Akibat dari tindakan tersebut, pertama, PSSI dikenakan denda hampir setengah miliar rupiah, atau lebih dari Rp 400 juta. Kedua, PSSI diperintahkan oleh FIFA untuk menggelar pertandingan berikutnya dengan pembatasan jumlah penonton. Pembatasan ini dilakukan dengan menutup sekitar 15 persen dari total kursi yang tersedia, terutama di area belakang gawang, yaitu tribun utara dan selatan,” imbuhnya.
Meskipun ada sanksi, harapan untuk melihat GBK terisi penuh saat Timnas Indonesia menjamu China pada 5 Juni mendatang masih tetap ada. Namun, FIFA memberikan persyaratan khusus mengenai siapa yang diperbolehkan menempati 15 persen kursi yang ditutup tersebut.
“Kami diwajibkan untuk menyerahkan plan atau rencana penempatan tempat duduk kepada FIFA, paling lambat 10 hari sebelum pertandingan. Namun, FIFA juga membuka opsi alternatif, di mana 15 persen kursi yang ditutup tersebut dapat dialokasikan kepada komunitas antidiskriminasi atau komunitas khusus lainnya, seperti keluarga, pelajar, atau kelompok perempuan,” terang Arya.
“Syaratnya adalah mereka harus membawa spanduk yang berisi pesan-pesan antidiskriminasi. Lebih lanjut, FIFA juga meminta PSSI untuk menyusun planning, yaitu rencana komprehensif untuk memerangi tindakan diskriminasi di sepak bola Indonesia.”
“Ini merupakan tantangan berat yang harus kami hadapi, mengingat FIFA menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, kemanusiaan, dan saling menghargai. Oleh karena itu, tidak boleh ada hate speech, ujaran kebencian, rasisme, xenophobia, dan tindakan diskriminatif lainnya. Ini merugikan kita semua, dan kita harus bertanggung jawab bersama. Ke depannya, kita perlu meningkatkan upaya literasi dan pendidikan agar insiden diskriminasi tidak terulang kembali,” tegasnya.