Fadli Zon Sebut Kekerasan Seksual Mei 1998 ‘Rumor’, Aktivis: Pengaburan Sejarah dan Budaya Penyangkalan
Klaim Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 sebagai “rumor” tanpa bukti telah memicu gelombang protes keras dari para aktivis perempuan. Pernyataan ini dikecam sebagai upaya “pengaburan sejarah” dan “melanggengkan budaya penyangkalan” yang menghambat pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Indonesia.
Dalam sebuah wawancara di kanal YouTube *RAGAMUTAMA.COM*, Fadli Zon secara tegas menyatakan “tidak ada bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal” dalam peristiwa tersebut. Ia bahkan mengklaim bahwa informasi mengenai kekerasan seksual hanyalah rumor semata dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah. Ketika disinggung mengenai laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mengungkap kesaksian dan bukti kekerasan seksual, Fadli Zon berdalih telah “membantah” laporan tersebut dan menganggap “mereka tak bisa buktikan.”
Ironisnya, klaim ini muncul di tengah proyek penulisan ulang sejarah nasional yang sedang digarap Kementerian Kebudayaan di bawah kepemimpinannya, yang ditargetkan rampung pada Agustus 2025. Draf Kerangka Konsep Penulisan “Sejarah Indonesia” yang beredar menunjukkan sejumlah pelanggaran HAM berat justru tidak dimasukkan, termasuk: pemerkosaan perempuan Tionghoa dalam Peristiwa Mei 1998, Penembakan Misterius (Petrus), penghilangan paksa aktivis 1997-1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, serta Pembantaian Massal 1965. Fadli Zon berharap buku sejarah yang sedang dibuat ini dapat “mempersatukan bangsa.”
Suara Penentang dari Para Aktivis Perempuan
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, yang terdiri dari berbagai organisasi dan individu, mengecam keras pernyataan Fadli Zon. Mereka menilai klaim tersebut sebagai bentuk manipulasi dan pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi Mei 1998, khususnya kekerasan terhadap perempuan.
Salah satu suara penentang keras datang dari Ita Fatia Nadia, aktivis yang mendampingi para korban kekerasan seksual Mei 1998. Ia menegaskan bahwa pernyataan Fadli Zon “menyalahi fakta sejarah” yang telah tercatat dan terverifikasi. Ita bahkan menyebutkan bahwa fakta sejarah kekerasan seksual Mei 1998 telah dimuat dalam buku *Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI*, halaman 609, yang secara gamblang mencatat pemerkosaan massal terhadap sejumlah perempuan Tionghoa di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Solo.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah pada 1998, telah mengumpulkan banyak kesaksian dan bukti yang tak terbantahkan. Laporan TGPF mencatat jumlah korban kekerasan seksual yang terverifikasi, meliputi: 52 orang korban perkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan atau penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. TGPF juga menemukan kasus kekerasan seksual yang terkait dengan kerusuhan Mei, terjadi sebelum dan sesudahnya, seperti ratusan laporan pelecehan seksual di Medan pada 4-8 Mei 1998 (lima di antaranya melapor) dan kasus di Jakarta (2 Juli 1998) serta Solo (8 Juli 1998) pasca kerusuhan.
TGPF mengidentifikasi bahwa kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di berbagai lokasi, mulai dari dalam rumah, di jalan, hingga di depan tempat usaha, dengan mayoritas kasus berlangsung di dalam rumah atau bangunan. Sebagian besar kasus perkosaan juga tergolong *gang rape* (diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian) dan seringkali dilakukan di hadapan orang lain. Meskipun tidak semua korban berasal dari etnis Tionghoa, mayoritas kasus kekerasan seksual kala itu diderita oleh perempuan etnis Tionghoa dan bersifat lintas kelas sosial.
Melawan Budaya Penyangkalan
Peristiwa Mei 1998 menjadi katalis bagi kedatangan Pelapor Khusus PBB, Radhika Coomaraswamy, ke Indonesia untuk menyelidiki kasus kekerasan terhadap perempuan di Mei 1998 serta di wilayah DOM Aceh, Timor Timur, dan Papua. Dalam laporannya, Radhika menyoroti adanya “budaya penyangkalan” (*denial culture*) yang menghambat penegakan hukum terkait peristiwa 1998. Budaya penyangkalan adalah penolakan untuk mengakui peristiwa yang telah terjadi, dan dalam konteks ini, tercermin dalam sikap aparat negara yang beralasan “tidak ada kasus yang dilaporkan, sehingga pemerkosaan pasti tidak terjadi.” Padahal, minimnya laporan justru disebabkan ketidakpercayaan korban terhadap sistem peradilan pidana yang tidak berpihak pada perempuan. Setelah bertemu dengan para korban, Radhika meyakini “pemerkosaan memang terjadi.”
Aktivis perempuan dan HAM, Kamala Chandrakirana, mengatakan bahwa pernyataan Fadli Zon tentang pemerkosaan Mei 1998 sebagai rumor adalah “pertanda” bahwa menteri kebudayaan tersebut bagian dari budaya penyangkalan. “Yang ternyata, hampir 30 tahun setelah laporan itu dibuat sekarang masih ada [budaya penyangkalan] dan ternyata masih ada di dalam jajaran tertinggi pemerintahan kita,” tegas Kamala. Ia khawatir, jika kekerasan seksual Mei 1998 tidak dimasukkan dalam penulisan ulang sejarah nasional, narasi sejarah tersebut akan “kehilangan keabsahannya” dan tidak akan mendapat kepercayaan publik, terutama dari kalangan perempuan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyawati Irianto, menegaskan bahwa penyangkalan Fadli Zon semestinya dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni terkait upaya penulisan ulang sejarah yang dapat menjadi “penyesatan identitas bangsa.” Menurut Profesor Sulis, bangsa yang melupakan sejarahnya tidak akan mampu membangun masa depan yang kokoh karena kehilangan pengetahuan memadai tentang apa yang pernah terjadi. Ia mencontohkan Jerman, yang membangun memorialisasi di berbagai kota dan para pejabatnya mengucapkan *’mea culpa’* untuk menunjukkan penyesalan terhadap kejahatan kemanusiaan, demi mencegah terulangnya peristiwa serupa. “Yang kami tuntut hari ini adalah negara harus membayar utang, membayar utang pengakuan bahwa peristiwa ini pernah terjadi,” ujar Sulis, seraya menambahkan pentingnya memulihkan trauma yang dialami tidak hanya oleh korban, tetapi juga oleh segenap keluarga bangsa.
Negasi Terhadap Pembentukan Komnas Perempuan
Ita Fatia Nadia juga menyoroti bagaimana klaim Fadli Zon secara fundamental “menegasikan dan menyangkal” alasan di balik pembentukan Komnas Perempuan. Pada Oktober 1998, sebelas perempuan, termasuk Ita, bertemu dengan Presiden BJ Habibie untuk menyerahkan dokumen data dan fakta terkait pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998. Dalam pertemuan bersejarah itu, Presiden Habibie menyatakan “percaya” dan “menerima bahwa terjadi perkosaan massal” terhadap para perempuan etnis Tionghoa. Dari pertemuan itulah Profesor Saparinah Sadli mengusulkan pembentukan komisi untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan, yang kemudian diwujudkan oleh Presiden Habibie melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang pembentukan Komnas Perempuan.
“Dia sebagai pejabat publik, sebagai menteri yang seharusnya menumbuhkan, menyemai satu bangunan untuk membangun kembali *recalling memory* untuk reparasi, untuk bagaimana menyembuhkan trauma bangsa ini, untuk menyembuhkan trauma dari kaum perempuan yang menjadi korban,” kata Ita. “Tetapi justru dia menegasikan, menyangkal tentang peristiwa perkosaan Mei 1998.”
Perdebatan ini bukan hanya tentang klaim satu individu, melainkan pertarungan esensial untuk menjaga integritas sejarah bangsa dan memastikan pengakuan atas penderitaan korban, demi terwujudnya keadilan dan pemulihan kolektif.
Baca juga:
* Penulisan ulang sejarah Indonesia – Rawan dijadikan alat legitimasi, meminggirkan perempuan dan sejarah Papua
* Rusia berupaya menulis ulang sejarah Stalin dan Uni Soviet
* Kisah warga keturunan Tionghoa yang menetap di luar negeri usai kerusuhan Mei 1998 dan mereka yang memutuskan kembali ke Indonesia – ‘Semoga pemerintah tidak hapus sejarah’
* Kerusuhan Mei 1998: “Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?”
* Sejauh mana generasi yang lahir setelah 1998 tahu soal Tragedi ’98?
* Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’
* Korban kerusuhan Mei 1998, bagaimana kondisi mereka kini?
* Generasi Z dan Peristiwa 1998: ‘Relevan dibahas agar anak muda tidak menjadi korban pada masa mendatang’