Seorang pendaki asal Swiss, Benedikt Emmenegger (46 tahun), mengalami kecelakaan di Gunung Rinjani pada Rabu pagi, 16 Juli. Proses evakuasinya berlangsung cepat dalam hitungan jam, sebuah kontras mencolok dibandingkan dengan evakuasi Juliana Marins asal Brasil yang membutuhkan waktu berhari-hari. Perbedaan signifikan ini memunculkan pertanyaan: apa faktor yang membedakan kedua insiden tersebut?
Kabar mengenai insiden yang menimpa pendaki asal Swiss ini diterima oleh Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) pada Rabu, 16 Juli, sekitar pukul 11.25 WITA, dari pemandu dan porter yang mendampingi korban. Merespons laporan tersebut, tim penyelamat segera bergerak. Hanya dalam beberapa jam, sekitar pukul 15.00 WITA, Benedikt berhasil dievakuasi menggunakan helikopter dan langsung dibawa menuju Rumah Sakit Bali Internasional Medical Center untuk penanganan lebih lanjut.
Kecepatan evakuasi Benedikt yang hanya berlangsung dalam hitungan jam ini sangat berbeda dengan penanganan kasus Juliana Marins yang memakan waktu berhari-hari. Kepala BTNGR, Yarman, menjelaskan beberapa faktor kunci di balik keberhasilan evakuasi cepat ini. “Lokasi kecelakaan Benedikt berbeda dengan tempat Juliana terperosok,” ungkap Yarman. Ia menambahkan bahwa di lokasi Benedikt, terdapat area savana yang stabil, bukan daerah berpasir seperti di titik jatuhnya Juliana, sehingga memungkinkan pilot helikopter untuk mendarat dengan aman.
Selain kondisi medan yang mendukung, faktor cuaca juga sangat kondusif, memungkinkan penggunaan helikopter dalam proses penyelamatan. Pentingnya peran asuransi juga menjadi sorotan; Benedikt diketahui menggunakan jasa asuransi selama pendakiannya, dan pihak asuransi inilah yang kemudian mengerahkan helikopter untuk evakuasi setelah berkoordinasi dengan BTNGR. Kendati demikian, Yarman menegaskan bahwa keputusan penggunaan helikopter sangat bergantung pada rekomendasi tim evakuasi di lapangan dan keberanian serta kemampuan pilot. “Bagi kami, ini tergantung kemampuan pilot dan rekomendasi dari teman-teman yang mengetahui medan. Ternyata kondisi saat itu memang memungkinkan pendaratan heli dan cuaca mendukung,” jelasnya.
Sebagai perbandingan, Juliana Marins diketahui jatuh di tebing berpasir dengan kedalaman sekitar 600 meter di jalur menuju puncak Rinjani, sebuah medan yang jauh lebih ekstrem. Sementara itu, Benedikt terperosok di jalur menuju Danau Segara Anak, setelah ia bersama empat rekannya, termasuk anaknya, turun dari puncak Gunung Rinjani.
- Mengapa perlu waktu berhari-hari mengevakuasi WNA Brasil di Gunung Rinjani?
- Jenazah Juliana Marins diautopsi lagi di Brasil – Apa yang sejauh ini diketahui?
- Mengapa proyek wisata glamping-seaplane di Gunung Rinjani mendapat penolakan?
Kepala Kantor SAR Mataram, Muhamad Hariyadi, menjelaskan bahwa helikopter Bali Air yang digunakan dalam evakuasi diterbangkan langsung dari Bali. Helikopter ini berhasil mendarat di sekitar jalur Pelawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak pada pukul 16.44 WITA, sangat dekat dengan lokasi korban berada. Setelah dievakuasi, Benedikt diterbangkan menuju Rumah Sakit BIMC Kuta di Bali untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut.
Setibanya di Bali, helikopter yang membawa Benedikt, ditemani anaknya dan seorang dokter asal Spanyol, tiba pada pukul 17.30 WITA. Korban kemudian segera dilarikan ke Rumah Sakit BIMC. Menurut keterangan otoritas setempat, Benedikt memulai pendakian melalui jalur Sembalun pada Selasa, 15 Juli, dan mengalami kecelakaan di jalur Pelawangan Sembalun yang mengarah ke Danau Segara Anak.
Laporan insiden ini segera direspons oleh Kantor Pencarian dan Pertolongan Denpasar (Basarnas Bali) yang kemudian berkoordinasi erat dengan Kantor Pencarian dan Pertolongan Mataram. Di lokasi kejadian, Benedikt beruntung mendapatkan penanganan medis awal dari salah seorang pendaki yang kebetulan berprofesi sebagai dokter. “Korban dievakuasi menuju Danau Segara Anak oleh tim darat dalam keadaan selamat dengan kondisi tangan patah dan juga kaki,” jelas I Nyoman Sidakarya, Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Denpasar (Basarnas Bali).
I Nyoman Sidakarya langsung mendatangi kantor SGi Air Bali untuk segera mengerahkan helikopter menuju lokasi kejadian. Helikopter tersebut berangkat dari Bali pada pukul 15.45 WITA dan berhasil mendarat di sekitar jalur Pelawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak pada pukul 16.44 WITA.
Pendakian Gunung Rinjani memang telah menjadi sorotan dunia internasional dalam beberapa pekan terakhir, terutama setelah tragedi yang menimpa warga Brasil, Juliana Marins. Ia terperosok di titik Cemara Nunggal, sebuah jalur yang diapit jurang menuju puncak Rinjani, pada 21 Juni 2025. Pada hari kejadian, Juliana dilaporkan masih hidup berdasarkan rekaman pesawat nirawak dan video yang beredar di media sosial. Namun, tiga hari kemudian, pada Selasa, 24 Juni, tim penyelamat yang berhasil mendekati Juliana menyatakan korban telah meninggal dunia, sebelum akhirnya dievakuasi keesokan harinya.
Dalam rentang waktu tersebut, media sosial dibanjiri kritik dari warganet yang mempertanyakan lambatnya proses evakuasi Juliana. BBC News Indonesia bahkan sempat mewawancarai beberapa pendaki Rinjani yang menyoroti sejumlah titik kritis terkait prosedur penyelamatan. Permasalahan yang diidentifikasi antara lain keterbatasan perlengkapan penyelamatan, kendala cuaca ekstrem, dan kesiapsiagaan tim penyelamat di pos. Selain itu, muncul pula saran agar pendamping dan porter memperoleh pelatihan dasar penyelamatan yang memadai.
Di sisi lain, Kepala BTNGR, Yarman Wasur, menegaskan bahwa proses evakuasi telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan membantah anggapan bahwa proses tersebut berjalan lambat. “Kita langsung membentuk tim. Dalam proses membentuk tim, menyiapkan peralatan, dan lainnya memang memakan waktu. Ini betul-betul harus tim yang profesional karena menyangkut keselamatan tim evakuasi juga,” katanya.
Berdasarkan data dari Balai TNGR, jumlah pendaki di Gunung Rinjani, baik dari Indonesia maupun mancanegara, meningkat lebih dari dua kali lipat selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2022, tercatat sebanyak 32.000 pendaki, dan pada tahun 2024 jumlahnya mencapai 80.000 pendaki. Sayangnya, rata-rata satu pendaki meninggal setiap tahunnya karena gagal menaklukkan tantangan Gunung Rinjani.
- Kesaksian warga Irlandia yang hampir tewas saat mendaki Gunung Rinjani
- Mengapa perlu waktu berhari-hari mengevakuasi WNA Brasil di Gunung Rinjani?
- Kisah pendaki Rinjani saat gempa di Lombok: “Saya melihat mayat, sekarang tak berani naik gunung”