Enam terdakwa dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan komoditas emas Antam sejumlah 109 ton, yang terjadi pada kurun waktu 2010 hingga 2022, telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Masing-masing terdakwa divonis dengan pidana penjara selama delapan tahun, disertai denda sebesar Rp750 juta yang jika tidak dibayarkan akan diganti dengan kurungan selama empat bulan.
Dennie Arsan Fatrika, selaku Hakim Ketua di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, keenam terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
“Tindakan para terdakwa ini menyebabkan kerugian keuangan negara dengan total mencapai Rp3,31 triliun,” ungkap Hakim Ketua saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada hari Selasa, 27 Mei 2025, seperti yang dilaporkan oleh Antara.
Adapun keenam terdakwa tersebut meliputi Tutik Kustiningsih, yang menjabat sebagai Vice President (VP) Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Antam periode 2008–2011, Herman, yang juga menjabat sebagai VP UBPP LM Antam periode 2011–2013, dan Dody Martimbang, yang menduduki posisi Senior Executive VP UBPP LM Antam periode 2013–2017.
Selain itu, terdapat pula Abdul Hadi Aviciena, yang menjabat sebagai General Manager (GM) UBPP LM Antam periode 2017–2019, Muhammad Abi Anwar, yang menjabat sebagai GM UBPP LM Antam periode 2019–2020, serta Iwan Dahlan, yang menjabat sebagai GM UBPP LM Antam periode 2021–2022.
Dengan putusan ini, Hakim Ketua menegaskan bahwa keenam terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP, sesuai dengan dakwaan primer yang diajukan.
Sebelum menjatuhkan vonis, Majelis Hakim melakukan pertimbangan terhadap berbagai faktor yang memberatkan dan meringankan yang ada pada diri masing-masing terdakwa. Salah satu hal yang memberatkan adalah perbuatan para terdakwa yang telah menyebabkan kerugian negara dan memperkaya pihak lain.
“Sementara itu, faktor-faktor yang meringankan yang menjadi pertimbangan adalah bahwa para terdakwa tidak menikmati hasil dari tindak pidana tersebut, mereka bersikap sopan dan tidak menghambat jalannya persidangan, beberapa terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya, dan sebagian terdakwa telah berusia lanjut,” jelas Dennie.
Vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum sebelumnya, yang menuntut pidana penjara selama 9 tahun dan denda sebesar Rp750 juta, dengan ketentuan bahwa jika denda tersebut tidak dibayarkan, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Dalam perkara ini, keenam mantan pejabat Antam tersebut didakwa telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp3,31 triliun. Hal ini disebabkan oleh tindakan mereka, antara lain menjalin kerja sama dalam pengolahan emas ilegal dan peleburan cap emas dengan pihak ketiga (perorangan, toko emas, atau perusahaan) yang tidak terikat kontrak karya selama periode 2010–2022.
Kerja sama tersebut diduga dilakukan tanpa adanya kajian bisnis intelijen yang memadai, tanpa kajian informasi mengenai potensi peluang secara akurat, tanpa kajian legal and compliance atau hukum dan kepatuhan, tanpa kajian risiko, serta tanpa adanya persetujuan dari Dewan Direksi.
Tindakan yang dilakukan oleh keenam mantan pejabat Antam tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan tujuh terdakwa lainnya dari pihak swasta, yang merupakan pelanggan jasa pemurnian dan jasa peleburan emas. Proses persidangan terhadap tujuh terdakwa ini dilakukan secara terpisah.
Ketujuh terdakwa dari klaster swasta tersebut adalah Lindawati Efendi, Suryadi Lukmantara, Suryadi Jonathan, James Tamponawas, Ho Kioen Tjay, Djudju Tanuwidjaja, dan Gluria Asih Rahayu.
Pembacaan putusan terhadap ketujuh terdakwa dari klaster swasta ini dijadwalkan akan dilaksanakan pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada hari Rabu, 28 Mei 2025.