Dugaan Korupsi Kredit Sritex: Nasib Pekerja dan Ancaman PHK Massal

Avatar photo

- Penulis

Jumat, 23 Mei 2025 - 18:05 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Iwan Setiawan Lukminto, mantan pemimpin puncak perusahaan tekstil terkemuka Sritex, kini menghadapi status tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penyaluran kredit perbankan. Pertanyaan besar muncul: di mana letak potensi pelanggaran yang dilakukan Iwan dan pihak bank, sehingga menimbulkan kerugian bagi negara? Selain itu, bagaimana nasib pesangon yang dijanjikan kepada para mantan karyawan Sritex di tengah pusaran kasus ini?

Selain penetapan Iwan Setiawan Lukminto, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama Sri Rejeki Isman (Sritex), sebagai tersangka, beberapa nama dari jajaran pimpinan bank daerah turut terseret dalam penyelidikan.

Di antara mereka adalah mantan petinggi dari Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, serta Bank DKI.

Baik Iwan maupun dua tersangka lainnya diduga kuat telah menyalahgunakan fasilitas kredit yang diberikan, dengan penggunaan yang tidak sesuai dengan tujuan awal.

Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa tindakan ini dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, mengingat kedua bank yang menyalurkan kredit tersebut merupakan entitas perbankan milik negara.

Seorang analis keuangan berpendapat bahwa kasus korupsi terkait penyaluran kredit ini mencerminkan pola yang terus berulang dalam sistem perbankan.

Hal ini disebabkan karena “tidak adanya korelasi yang jelas antara tujuan pemberian kredit dengan jaminan yang diberikan, serta pemanfaatan dana pinjaman yang tidak tepat sasaran.”

Faktor utama yang memicu masalah ini adalah tekanan terhadap bagian analis kredit untuk mencapai target penyaluran kredit tanpa diimbangi dengan penerapan manajemen risiko yang memadai, sehingga berujung pada kredit macet.

Beberapa mantan karyawan Sritex mengungkapkan keterkejutan mereka atas penetapan status tersangka terhadap mantan pemimpin mereka.

Mereka berharap agar kasus ini tidak berdampak negatif pada realisasi janji pemberian pesangon yang telah dijanjikan perusahaan.

Bagaimana sebenarnya perjalanan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pimpinan PT Sritex dan pihak perbankan ini?

Kabar mengenai penyidikan kasus dugaan korupsi ini mulai mencuat dan terkonfirmasi sejak awal bulan Mei.

Pada saat itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa proses penyidikan masih berada dalam tahap umum.

Dengan kata lain, lanjutnya, tim penyidik dari Jampidsus akan fokus untuk “menganalisis apakah terdapat tindakan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau daerah.”

Serangkaian pemeriksaan terhadap puluhan saksi kemudian dilakukan, hingga akhirnya Jampidsus menemukan indikasi pelanggaran, berdasarkan analisis terhadap kejanggalan dalam laporan keuangan perusahaan.

Pada tahun 2021, PT Sritex melaporkan kerugian signifikan senilai Rp15,66 triliun—setara dengan US$1,08 miliar.

Padahal, setahun sebelumnya, pada tahun 2020, laporan keuangan PT Sritex masih mencatatkan keuntungan sebesar Rp1,24 triliun, atau setara dengan US$85,32 juta.

Dari titik inilah, penyidikan kemudian mengerucut kepada permasalahan kepemilikan kredit PT Sritex beserta anak-anak perusahaannya.

Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa nilai tagihan yang belum dilunasi (outstanding) mencapai Rp3,5 triliun per bulan Oktober 2024.

Kredit tersebut berasal dari sejumlah bank, baik bank negara maupun bank daerah, termasuk di antaranya PT Bank BJB dan PT Bank DKI.

Dari kedua bank tersebut, PT Sritex menerima fasilitas kredit dengan total nilai lebih dari Rp690 miliar.

Permasalahannya, sebagaimana dijelaskan oleh Jampidsus, adalah proses pemberian kredit yang dinilai tidak dilakukan dengan prosedur yang benar.

Di mana letak aspek dugaan korupsi yang merugikan negara dalam kasus ini?

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa masalah kredit macet dalam kasus yang melibatkan mantan petinggi Sritex ini dikategorikan sebagai korupsi karena pemberi kreditnya adalah bank pemerintah.

“Bank pemberi kredit ini adalah bank pemerintah. Berdasarkan undang-undang keuangan negara, dana dari bank daerah merupakan bagian dari keuangan negara atau keuangan daerah,” tegas Harli Siregar pada Kamis (22/05).

Pemberian fasilitas kredit kepada PT Sritex masuk dalam kategori tindak pidana korupsi karena kredit yang seharusnya dialokasikan untuk modal kerja, justru digunakan untuk membayar utang.

Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dua tersangka yang juga merupakan perwakilan dari bank pemberi kredit, tidak melakukan analisis yang komprehensif sebelum menyetujui pemberian kredit.

Jampidsus menjelaskan bahwa kredit tanpa jaminan disalurkan kepada debitor—atau perusahaan—yang memiliki peringkat A dari lembaga pemeringkat seperti Fitch, Moody’s, dan S&P.

Sementara itu, penilaian yang diberikan kepada PT Sritex oleh setidaknya dua lembaga pemeringkat, Fitch dan Moody’s, adalah BB-, yang didefinisikan sebagai memiliki risiko gagal bayar yang lebih tinggi.

Pemberian kredit ini, menurut Jampidsus, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ketentuan standar operasional prosedur (SOP) bank, serta prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit.

Tidak hanya proses pemberian kredit yang dianggap bermasalah, penggunaan kredit dari kedua bank tersebut oleh PT Sritex juga menjadi sorotan.

Jampidsus mengungkapkan bahwa kredit tersebut dialokasikan oleh Dirut PT Sritex periode 2005-2022, Iwan Lukminto, untuk membayar utang serta membeli aset nonproduktif—alih-alih digunakan sebagai modal kerja.

Akibatnya, kredit tersebut berujung pada gagal bayar.

Status kredit yang difasilitasi oleh PT Bank BJB dan PT Bank DKI menjadi macet dengan status kolektibilitas 5—debitur menunggak pembayaran pokok dan/atau bunga lebih dari 180 hari.

Kedua bank ini juga tidak dapat mengeksekusi aset PT Sritex karena nilai aset mereka lebih kecil dan tidak mencukupi untuk menutupi kerugian negara.

Baca Juga :  Saham Pilihan Asing: Daftar Teratas Diburu Saat IHSG Terkoreksi!

Dugaan kasus korupsi ini mencuat di tengah proses kepailitan yang dialami oleh PT Sritex.

PT Bank BJB dan PT Bank DKI hanyalah dua dari puluhan bank yang telah memberikan kredit kepada PT Sritex, termasuk 20 entitas dari sektor swasta.

Kejatuhan PT Sritex bermula pada awal tahun 2021 ketika perusahaan tersebut digugat oleh salah satu kreditur (pemberi pinjaman) karena tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang, yang kemudian diikuti oleh langkah serupa dari kreditur lainnya. Total tagihan utang PT Sritex, per September 2024, mencapai angka Rp26 triliun.

Berbagai upaya yang dilakukan ternyata tidak berhasil menyelamatkan PT Sritex dari kebangkrutan.

Pada bulan Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan PT Sritex pailit.

Lebih dari 10 ribu pegawai, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK).

Apa tanggapan dari para mantan karyawan Sritex terhadap kasus ini?

Faizatun Farikah awalnya tidak percaya bahwa mantan Dirut PT Sritex, Iwan Lukminto, terlibat dalam tindakan korupsi.

“Ada yang membuat status di WhatsApp. Saya pikir itu tidak benar,” ujarnya saat ditemui oleh wartawan Fajar Sodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada hari Kamis (22/05).

“Setelah scroll TikTok, ternyata benar [terlibat korupsi]. Saya tidak menyangka.”

Faizatun mulai bekerja di PT Sritex pada tahun 2019. Ia ditempatkan di bagian garmen. Namun, pada akhir tahun 2024, ia menerima kabar buruk: PHK.

Ketika pertama kali menerima informasi tersebut, Faizatun merasa “tidak percaya” karena “PT Sritex merupakan pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara.”

“Karena PHK itu sudah mau dekat ke Lebaran [Idulfitri]. Terus nanti [saya berpikir] tidak jadi dapat THR [Tunjangan Hari Raya] dan belum ancang-ancang—persiapan—juga,” imbuh perempuan berusia 23 tahun ini.

Faizatun tidak sendirian. Mantan pegawai PT Sritex lainnya merasakan hal yang sama terkait dugaan korupsi yang menyeret nama Iwan Lukminto.

“Saya kaget ketika mendengar kabar Pak Iwan dijemput oleh penyidik dan dibawa ke Jakarta,” ujar Harmoko kepada BBC News Indonesia.

Harmoko, yang berusia 42 tahun, pertama kali mengetahui berita tersebut dari pesan berantai di WhatsApp. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak mengetahui apa pun mengenai praktik korupsi di PT Sritex.

Sama seperti Faizatun, Harmoko juga terdampak PHK akibat kebangkrutan yang dialami oleh PT Sritex. Ia dan pegawai PT Sritex lainnya tidak menyangka bahwa “perusahaan sekelas PT Sritex bisa tumbang.”

“Kalau dengar-dengar masalah kepailitan itu setahu kami tidak sampai berujung PHK. Tapi, kenyataannya lain. Pada 27 Februari 2025, [aset perusahaan] dieksekusi semua,” ucapnya.

Penangkapan Iwan dan kasus korupsi yang mengiringinya tidak terlalu menyita perhatian Faizatun dan Harmoko karena keduanya harus berjuang menghadapi ketidakpastian nasib setelah terdampak PHK.

Sejumlah hak, seperti pesangon dan THR, dijanjikan oleh PT Sritex ketika melakukan pemutusan hubungan kerja dengan para pegawainya. Harmoko, yang telah bekerja sejak tahun 2013, menyebutkan bahwa “baru JHT [Jaminan Hari Tua] dari BPJS yang didapat.”

“Kaitannya dengan pesangon, THR, waktu itu karyawan dikasih tahu kalau itu hak penuh dari kurator—pihak yang mengurus harta pailit. Istilahnya, dari perusahaan sudah lempar tangan atau bagaimana. Kalau sekelas kami, karyawan, tidak tahu [soal mekanisme itu],” tuturnya.

Senada dengan Harmoko, Faizatun menyatakan bahwa “pesangon dan THR belum dibayar.” Harapannya, kedua hak tersebut segera dipenuhi dan “tidak perlu lama-lama,” meskipun ia tetap realistis.

“Kalau berharap, masih berharap. Tapi, tidak berharap banget. Apalagi sekarang Pak Iwan [kena] kasus korupsi. Kalau ada, alhamdulillah. Kalau tidak, legowo,” katanya.

Setelah diputus hubungan kerjanya oleh PT Sritex, Faizatun belum lagi mencari kesempatan kerja baru. Kebutuhan sehari-hari ditopang oleh suaminya yang mencari rezeki dari lahan parkir.

Sementara bagi Harmoko, hidup setelah PHK berarti bekerja serabutan di beberapa tempat konveksi dengan status tidak tetap alias sesuai kebutuhan.

Ia belum memutuskan apakah akan kembali melamar pekerjaan secara resmi mengingat usianya sudah kepala empat; usia yang menurutnya tidak lagi produktif dan sulit diterima oleh perusahaan.

Harmoko berharap agar hak-hak yang dijanjikan oleh perusahaan tetap direalisasikan. Bagaimanapun, ia berujar, “itu adalah hak karyawan dan kewajiban perusahaan.”

“Tapi, yang saya sayangkan ini yang benar tanggung jawab siapa? Perusahaan atau kurator? Jadi, pemerintah harus hadir untuk melindungi kami,” tegasnya.

Mengapa kasus korupsi kredit perbankan seolah menjadi fenomena yang selalu berulang?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa kasus korupsi pemberian kredit adalah pola yang terus terulang karena “tidak adanya korelasi yang jelas antara tujuan pemberian kredit dengan agunan yang diberikan, serta pemanfaatan uang pinjaman yang tidak sesuai dengan peruntukannya.”

Pendorong utamanya, tambah Bhima, yaitu “bagian analis kredit yang dipaksa untuk mengejar target penyaluran kredit tanpa memiliki manajemen risiko yang baik.” Akibatnya, “jadi fraud,” imbuhnya.

Dalam mekanisme penyaluran kredit, Bhima menyebutkan bahwa ada empat hal penting yang perlu diperhatikan.

Pertama, kondisi keuangan perusahaan. Kedua, prospek pasar perusahaan dan daya saingnya.

Ketiga, kaitan antara proposal pinjaman dengan penggunaan kredit yang diajukan.

Keempat, track record pengembalian pinjaman sebelumnya serta profesionalitas manajemen perusahaan.

“Kalau syarat itu tidak dipenuhi tapi masih dilanjutkan,” jelas Bhima ketika dihubungi oleh BBC News Indonesia, pada hari Kamis (22/5).

Baca Juga :  Prabowo Ungkap Alasan Bentuk Danantara: Untuk Anak dan Cucu Kita

“Artinya fraud-nya sistematis dan ada keterlibatan orang dalam bank.”

Dalam konteks korupsi kredit PT Sritex, Bhima menjelaskan bahwa hal tersebut bukanlah faktor utama yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan.

Daya saing yang lemah serta tata kelola manajemen yang buruk di lingkup internal perusahaan adalah pemicu utama kepailitan, ujar Bhima.

“Korupsi atau penyalahgunaan kredit [di PT Sritex] baru terbongkar saat proses kepailitan,” imbuhnya.

Meski begitu, kasus yang dialami oleh PT Sritex “harus diungkap tuntas,” ujar Bhima, “terutama dari sisi pengawasan kredit bank.”

“Bagaimana, mulanya, bank seolah membiarkan atau tutup mata dan tidak mau mendalami pemanfaatan dana setelah kredit dicairkan kepada debitur,” pungkasnya.

Kasus-kasus korupsi kredit perbankan yang pernah terjadi

Kasus korupsi terkait penyaluran kredit perbankan bukanlah fenomena yang baru.

Pada bulan Februari 2025, Kejaksaan Negeri (Kejari) Semarang menahan seorang analis kredit dari salah satu bank pemerintah atas dugaan kasus korupsi kredit fiktif yang merugikan negara hingga mencapai Rp15,9 miliar.

Tersangka bekerja sama dengan pihak lapangan yang bertugas mengumpulkan nama-nama nasabah untuk diajukan ke bank sebagai debitur. Besaran kredit yang diajukan bervariasi, mulai dari Rp300 juta hingga Rp1 miliar.

Permasalahannya adalah, saat pengajuan kredit, aset atau usaha yang ditunjukkan kepada pihak bank bukanlah milik debitur yang bersangkutan. Setelah pinjaman disetujui, angsuran yang dikoordinasikan oleh para pelaku mengalami macet.

Masih terkait dengan kasus kredit fiktif, kejadian serupa juga ditemukan di Jepara, Jawa Tengah, yang menyeret PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Jepara Artha pada periode 2022-2024.

Penyaluran kredit tidak diberikan kepada pelaku usaha yang sebenarnya, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi pelaku serta komplotannya. Kerugian negara dalam kasus ini disebut mencapai Rp250 miliar.

Pada tahun 2024 silam, kasus korupsi kredit juga melibatkan petinggi bank BUMN cabang Bengkulu. Kerugian negara ditaksir mencapai nilai Rp4 miliar. Pemberian kredit dilakukan berdasarkan dokumen perjanjian kerja sama dan identitas yang direkayasa.

Masih pada tahun yang sama, Kejaksaan Negeri (Kejari) Karanganyar menemukan adanya dugaan korupsi dan kredit macet di Bank Karanganyar, yang merugikan negara sebesar Rp7,4 miliar.

Dugaan korupsi ini terjadi setelah dana penyertaan modal yang didistribusikan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karanganyar ke Bank Karanganyar digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya.

Di Semarang, pada tahun 2024 juga, empat orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi kredit di Bank Mandiri cabang setempat. Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp112 miliar. Para pelaku disebut melakukan proses pengajuan sekaligus pencairan kredit yang tidak sesuai dengan prosedur internal perbankan maupun peraturan pemerintah, seperti melakukan pemalsuan akta.

Tiga tahun sebelumnya, pada tahun 2021, Bareskrim Mabes Polri menemukan dugaan kasus korupsi pengelolaan kredit di Bank Jawa Tengah (Bank Jateng) cabang Blora dan Jakarta. Estimasi kerugian negara dalam kasus ini berada di angka Rp597,7 miliar.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tidak ketinggalan menemukan kondisi serupa, kali ini di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Berdasarkan pemantauan terhadap sejumlah BPD, KPK menilai bahwa ada potensi masalah yang berujung pada fraud dalam pemberian kredit.

Pada rentang tahun 2013-2023, sebut KPK, penyaluran kredit senilai Rp451,19 miliar diselimuti masalah berupa debitur fiktif, rekayasa dokumen, hingga penggunaan kredit yang tidak sesuai dengan permohonan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39, mengelompokkan tindakan melawan hukum dalam pemberian kredit ke dalam 12 kategori: debitur fiktif, debitur topengan (dana kredit digunakan oleh pihak lain), rekayasa informasi, ketidaksesuaian pencatatan angsuran kredit, hingga ketidaksesuaian penggunaan kredit.

Baik kreditur maupun debitur, tegas OJK, sama-sama berpeluang untuk melakukan perbuatan melawan hukum.

Data mencatat bahwa rasio kredit bermasalah (non performing loan) di Indonesia bervariasi dari waktu ke waktu. Rekor tertinggi tercatat pada rentang tahun 2006-2007 dengan angka 8,4%, sementara rekor terendah tercatat pada tahun 2013-2014 di titik 1,8%. Per Maret 2025, berdasarkan laporan OJK, rasio NPL dinilai masih terjaga di angka 2,22%.

Wartawan di Solo, Fajar Sodiq, turut berkontribusi dalam liputan ini.

  • Sritex resmi berhenti beroperasi, lebih dari 10.000 karyawan diberhentikan – Siapa yang harus bertanggung jawab atas nasib karyawan?
  • Seberapa realistis pegawai yang terkena gelombang PHK bisa bekerja lagi? – ‘Uang saya tinggal Rp200.000, enggak ada lagi’
  • Gelombang PHK diperkirakan tembus 70.000 pekerja, serikat buruh bertanya ‘Mana lapangan pekerjaan yang dijanjikan pemerintah?’
  • Rumitnya syarat jaminan sosial bagi karyawan yang di-PHK
  • Tiga hal penting dalam Putusan MK soal UU Ciptaker yang bakal berpengaruh besar pada gaji karyawan dan ekonomi Indonesia
  • ‘Saya merasa nggak ada jaminan kepastian kerja’ – UU Ciptaker dituduh ‘mempermudah’ PHK sepihak
  • Empat hakim jadi tersangka suap kasus ekspor minyak sawit, bisakah perusahaan turut dijerat?
  • Didakwa rugikan negara Rp578 miliar dalam kasus korupsi impor gula, Tom Lembong berkukuh dirinya korban ‘kriminalisasi hukum’ – Bagaimana kronologi kasusnya?
  • Kronologi dua pejabat Pertamina jadi tersangka baru korupsi minyak mentah, diduga memerintahkan ‘oplos’ atau blending RON 90 jadi Pertamax

Berita Terkait

RUPST PPRE: Laba Ditahan, Dividen Tahun Buku 2024 Ditiadakan
Bitcoin Cetak Rekor Baru: Analis Optimis Harga Tak Akan Turun di Bawah US$ 100.000
IHSG Naik, Cek Saham LQ45 yang Justru Anjlok: TLKM, JPFA, ACES Terpantau!
MTDL Bagikan Dividen Jumbo: Cek Jadwal dan Besaran per Lembar Saham!
KLBF Berpeluang Kantongi Dividen Jumbo dari Enseval, Segini Potensinya!
Rupiah Perkasa Hari Ini: Menguat Signifikan Terhadap Dolar AS!
ANJT Catat Laba Naik, Investor Gigit Jari Tanpa Dividen?
Harga Emas Antam Hari Ini: Turun! Cek Rincian Lengkapnya di Sini

Berita Terkait

Jumat, 23 Mei 2025 - 18:08 WIB

RUPST PPRE: Laba Ditahan, Dividen Tahun Buku 2024 Ditiadakan

Jumat, 23 Mei 2025 - 18:05 WIB

Dugaan Korupsi Kredit Sritex: Nasib Pekerja dan Ancaman PHK Massal

Jumat, 23 Mei 2025 - 17:36 WIB

Bitcoin Cetak Rekor Baru: Analis Optimis Harga Tak Akan Turun di Bawah US$ 100.000

Jumat, 23 Mei 2025 - 17:20 WIB

IHSG Naik, Cek Saham LQ45 yang Justru Anjlok: TLKM, JPFA, ACES Terpantau!

Jumat, 23 Mei 2025 - 17:12 WIB

MTDL Bagikan Dividen Jumbo: Cek Jadwal dan Besaran per Lembar Saham!

Berita Terbaru

politics

Prabowo Kantongi Nama Calon Dubes RI untuk Amerika Serikat

Jumat, 23 Mei 2025 - 18:36 WIB

politics

Letjen Djaka Budi Utama Pensiun Dini: Penjelasan Resmi TNI

Jumat, 23 Mei 2025 - 18:12 WIB

finance

RUPST PPRE: Laba Ditahan, Dividen Tahun Buku 2024 Ditiadakan

Jumat, 23 Mei 2025 - 18:08 WIB

Family And Relationships

Hailey Bieber: Proses Melahirkan Penuh Tantangan, Induksi dan Perdarahan

Jumat, 23 Mei 2025 - 18:00 WIB