JAKARTA, RAGAMUTAMA.COM – Perundingan terkait sengketa lahan antara Atalarik Syah dan representasi dari PT Sapta telah menemui titik terang.
Sebagai penyelesaian, Atalarik Syah setuju untuk mengalokasikan dana sebesar Rp 850 juta sebagai kompensasi atas lahan seluas 550 meter persegi yang menjadi pokok permasalahan, yang berujung pada pembongkaran propertinya oleh petugas.
Sesuai kesepakatan yang dicapai, pihak Atalarik Syah telah melakukan pembayaran awal atau *down payment* (DP) sebesar Rp 300 juta untuk lahan yang dipersengketakan itu.
Pada awalnya, mantan suami dari Tsania Marwah ini berinisiatif untuk menjaminkan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) mobilnya sebagai jaminan untuk pembayaran DP tersebut.
Namun, tawaran pembayaran berupa BPKB mobil dengan estimasi nilai Rp 200 juta itu ditolak oleh pihak PT Sapta.
“Dalam negosiasi tadi, beliau sempat menawarkan BPKB mobil sebagai jaminan, seperti yang saya sampaikan sebelumnya. Katanya mobil tersebut bernilai hingga 200 juta. Kami tidak menerima opsi itu, jadi kami lebih memilih pembayaran tunai,” jelas Eka Bagus Setyawan, perwakilan PT Sapta, saat ditemui di Cibinong, Jumat (16/5/2025).
Setelah melalui penantian beberapa jam, akhirnya pihak Atalarik Syah berhasil mengirimkan dana sebesar Rp 300 juta sebagai pembayaran DP yang disepakati.
Sisa dari total pembayaran akan diselesaikan dalam jangka waktu tiga bulan ke depan atau dengan sistem termin.
“Akhirnya, pembayaran sudah dilakukan, meskipun baru Rp 200 juta. Kesanggupannya adalah membayar 300 juta terlebih dahulu, kemudian sisanya secara bertahap,” lanjut Eka.
Dalam perjanjian yang dihasilkan dari negosiasi tersebut, pihak Atalarik Syah diwajibkan untuk segera melunasi pembayaran atas lahan yang menjadi lokasi berdirinya bangunan rumahnya, yang merupakan milik PT Sapta.
Apabila kewajiban pelunasan tidak dapat dipenuhi, maka PT Sapta berhak untuk melakukan pembongkaran terhadap rumah Atalarik Syah yang berdiri di atas lahan tersebut.
“Kemungkinan, kami akan melakukan eksekusi lanjutan,” tegas Eka.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, perselisihan lahan antara Atalarik Syah dan pihak terkait telah berlangsung sejak tahun 2015.
Atalarik mengklaim bahwa dirinya telah membeli lahan seluas 7.000 meter persegi tersebut pada tahun 2000 secara sah dan disaksikan oleh sejumlah saksi.
Namun, pada tahun 2016, permasalahan ini memasuki ranah hukum yang lebih serius.
Pengadilan Negeri Cibinong memutuskan bahwa transaksi pembelian tanah oleh Atalarik dinyatakan tidak sah secara hukum.
Meskipun demikian, Atalarik menegaskan bahwa proses hukum masih berlangsung dan belum memiliki kekuatan hukum tetap atau *inkrah*, sehingga pembongkaran rumah dinilai tidak seharusnya dilakukan.
Sampai saat berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian mengenai dasar hukum yang menjadi landasan pelaksanaan pembongkaran tersebut.