Kemenkes Usul Dokter Umum Boleh Operasi Caesar di Daerah Terpencil: Antara Harapan, Bahaya, dan Kisah Nyata Penyelamatan Nyawa Ibu
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah merancang kebijakan kontroversial yang akan memberikan wewenang kepada dokter umum, khususnya yang bertugas di kawasan Terpencil, Tertinggal, dan Terluar (3T), untuk melakukan tindakan operasi caesar. Wacana ini, yang bertujuan menekan angka kematian ibu dan bayi di daerah minim fasilitas, memicu perdebatan sengit. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyambut baik ide ini dengan syarat tertentu, namun Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) memperingatkan akan bahaya yang mengintai, mengingat kompleksitas prosedur operasi caesar. Lantas, bagaimana tanggapan para dokter yang pernah berjuang di garda depan persalinan, jauh dari gemerlap rumah sakit besar?
Kesaksian Pilu Dokter Umum di Pedalaman
Dokter Lidwina Salim tak bisa melupakan momen waswas saat suaminya, yang juga seorang dokter umum, melaut bersama seorang ibu hamil yang harus segera melahirkan. Perawakannya mungil, namun calon bayinya besar. “Termasuk berisiko juga kalau melahirkan normal,” kenang dokter Lidwina, menceritakan pengalamannya di Kabupaten Asmat, Papua, antara tahun 1992-1995. Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk vakum, namun tak berhasil. Kondisi ibu yang semakin memburuk, ditambah fasilitas persalinan yang terbatas di Puskesmas Kamur, Distrik Pantai Kasuari, memaksa mereka merujuk pasien ke rumah sakit besar di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat.
Perjalanan laut menuju Agats bukan perkara mudah. Membutuhkan tiga jam dengan perahu dan menghabiskan satu drum minyak tanah, yang saat itu seliternya seharga Rp1.000—hampir dua kali lipat harga bensin premium. Hari itu, angin timur berembus kencang, membuat perahu terombang-ambing di laut. Meskipun bayi akhirnya lahir, ia tak dapat bertahan lama. Sementara sang ibu selamat, dokter Lidwina meyakini hasil akhir itu mungkin akan berbeda jika fasilitas kesehatan dilengkapi peralatan mumpuni dan tenaga medis terlatih untuk operasi caesar.
Di Papua, kompleksitas masalah kematian ibu melahirkan jauh melampaui ketersediaan dokter spesialis atau kemampuan operasi caesar. Dokter Lidwina menyoroti budaya lokal yang sering membuat ibu melahirkan di hutan, tingginya angka malaria yang memicu komplikasi, serta masalah gizi dan anemia parah. Banyak ibu melahirkan dengan kadar hemoglobin (Hb) serendah 5 g/dL, kondisi yang sangat berbahaya dan memerlukan tindakan medis segera.
Dilema Akses dan Penolakan Keluarga
Pengalaman serupa dialami dokter Jeanne Rini Poespoprodjo, dokter umum yang telah mengabdi di Papua sejak 1990. Ia mengenang insiden bayi prematur 28 minggu dengan berat 750 gram yang lahir di Puskesmas Kumbe, Merauke. Seharusnya bayi tersebut segera mendapat perawatan di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) rumah sakit rujukan. Namun, akses ke RSUD kabupaten sangat sulit, memerlukan penyeberangan dua sungai dengan perahu yang tidak tersedia 24 jam. Ironisnya, pihak keluarga menolak rujukan karena ada anak lain yang harus diurus. Bayi itu dirawat seadanya di puskesmas, namun tak bertahan, meski ibunya selamat.
Kisah-kisah ini menegaskan bahwa persoalan di Papua, seperti yang dihadapi dokter Lidwina dan dokter Rini, masih menjadi kendala besar hingga kini. Dokter Rini menjelaskan bahwa dari Puskesmas Kumbe ke Kota Merauke bisa memakan waktu enam hingga delapan jam, termasuk waktu tunggu perahu. “Jika ada kegawatan obstetri yang membutuhkan tindakan *sectio caesaria* (SC) emergensi, maka sudah pasti tidak dapat segera ditangani,” ungkapnya.
Dokter Spesialis Mata pun Turut Membantu Persalinan
Dokter Thedius Watu, seorang spesialis mata di RSUD dr. T. C. Hillers Maumere, juga memiliki pengalaman unik saat masih menjadi dokter umum di Puskesmas Watubaing, Sikka, Nusa Tenggara Timur, pada 2011-2013. Berada di wilayah terpencil, puskesmasnya menghadapi masalah “klasik” seperti kekurangan tenaga, obat-obatan, dan peralatan. Salah satu tantangan terberat adalah menangani kasus persalinan. Ia teringat kejadian pada 2012 ketika ia harus berjuang menghentikan pendarahan pasien selama perjalanan ambulans yang memakan waktu hampir tiga jam menuju rumah sakit. Beruntung, pasien berhasil tertolong.
Meskipun demikian, dokter Thedius berpendapat operasi caesar adalah perkara kompleks. “Dokter *obgyn* [kandungan] saja sekolahnya minimal empat tahun. Tidak semudah yang dipikirkan,” ujarnya. Menanggapi rencana pemerintah, ia meragukan prioritasnya. “Harus dikaji lebih dalam. Apakah permasalahan yang dihadapi hanya operasi caesar saja? Atau apakah ada sebuah sistem yang harus dipikirkan lebih lanjut supaya menjawab secara keseluruhan, bukan hanya operasi caesar,” katanya, menyerukan solusi sistematis.
Kemenkes Lontarkan Ide, Pro Kontra Merebak
Ide untuk membekali dokter umum di wilayah 3T dengan keterampilan operasi caesar pertama kali dilontarkan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. “Langkah ini kami ambil karena di banyak daerah 3T tidak tersedia dokter spesialis kandungan. Dokter umum akan mendapatkan pelatihan pembedahan persalinan terlebih dahulu,” jelas Budi.
Wacana ini mendapat dukungan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ketua Umum IDI, Slamet Budiarto, menyatakan rencana tersebut sah-sah saja untuk kondisi tertentu, terutama di daerah yang sangat terpencil dan tidak memungkinkan adanya dokter kandungan. Ia mewanti-wanti agar kebijakan ini bersifat sementara untuk kondisi emergensi dan menyarankan pelatihan keterampilan anestesi juga. Slamet Budiarto juga menyebut praktik ini bukan hal baru dan kerap dilakukan di negara lain dengan keterbatasan serupa.
Namun, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) menentang keras. Ketua Umum POGI, Yudi Mulyana Hidayat, menilai kebijakan ini sangat membahayakan mengingat prosedur operasi caesar yang kompleks dan berisiko tinggi. Dokter umum, menurutnya, tidak memiliki kompetensi yang memadai. “Penurunan level kompetensi tindakan medis ke dokter umum ini merupakan wacana yang sangat membahayakan,” tegas Yudi, seraya menambahkan bahwa tindakan ini bertentangan dengan standar kompetensi global yang diakui oleh WHO, WFME, RCOG, dan ACOG.
Suara Dokter di Lapangan: Antara Kebutuhan dan Kehati-hatian
Dokter Lidwina, yang telah merasakan langsung keterbatasan di lapangan, tidak menentang sepenuhnya rencana ini. Ia berpendapat kewenangan tersebut dapat diberikan pada saat-saat darurat ketika tidak ada tenaga lain. Namun, ia menekankan pentingnya perencanaan program yang matang agar pelatihan tepat sasaran, tidak digeneralisasi, dan hanya diberikan kepada dokter yang memang akan ditempatkan di pedalaman. Yang tak kalah krusial, keterampilan tersebut akan sia-sia jika tidak didukung fasilitas yang memadai. “Kalau kita dilatih tapi fasilitasnya juga enggak ada, percuma juga ya,” katanya.
Dokter Rini memandang pelimpahan wewenang operasi caesar kepada dokter umum sebagai tanggung jawab yang sangat berat. Prosedur ini membutuhkan proses kompleks yang tidak bisa ditanggung seorang diri, apalagi jika dokter yang sama juga harus melakukan anestesi. Ia mengaku akan berpikir panjang untuk melakukan operasi caesar di daerah terpencil tanpa dukungan tim dan fasilitas yang memadai. “Tindakan SC [operasi caesar] bukan hanya dilihat dari *skill* dokter mampu melakukan *step by step*-nya saja. [Dokter] harus mempunyai keterampilan melakukan antisipasi jika terjadi komplikasi selama tindakan operasi.”
Sebagai contoh, jika terjadi pendarahan hebat, harus tersedia sarana transfusi darah. Selain itu, perawat terampil yang dapat memantau kondisi ibu dan bayi, serta akses rujukan ke ICU saat kegawatan, sangat dibutuhkan. Dokter Rini juga menekankan perlindungan hukum bagi dokter umum yang melakukan operasi caesar untuk menghindari tuntutan. Sementara itu, dokter Thedius kembali mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya berpikir lebih dari sekadar operasi caesar. Penyelamatan ibu dan anak membutuhkan perubahan sistematis, seperti pendampingan bidan puskesmas dan Polindes selama kehamilan, serta persiapan SDM, peralatan, dan fasilitas secara menyeluruh.
Pemerintah Perlu Kehati-hatian dan Solusi Sistematis
Diah Saminarsih, pendiri CISDI (sebuah organisasi nirlaba di bidang kesehatan), menegaskan bahwa rencana pemerintah ini perlu ditelaah dengan sangat hati-hati dari sisi regulasi, kompetensi, dan keberlangsungan sistem layanan kesehatan. Meskipun pelatihan keterampilan tertentu bagi dokter umum bisa menjadi solusi darurat dalam situasi sangat terbatas, Diah menegaskan bahwa langkah ini hanya dapat dibenarkan dalam kerangka kebijakan transisi yang ketat, dengan pengawasan klinis yang kuat dan protokol yang jelas. “Penggunaan tenaga non-spesialis untuk tindakan operasi mayor tetap harus menjadi pengecualian, bukan norma, karena menyangkut keselamatan ibu dan bayi,” sebut Diah.
Alih-alih memulai sistem baru yang belum teruji, Diah menyarankan pemerintah untuk memperkuat sistem rujukan persalinan, termasuk transportasi medis dan sistem komunikasi antar-fasilitas. Selain itu, peningkatan kompetensi layanan dasar untuk deteksi dini kehamilan risiko tinggi, perluasan pendidikan dan distribusi dokter spesialis, penambahan fasilitas pelayanan rujukan yang lengkap, dan pengembangan panduan (SOP) untuk kondisi darurat secara sistematis dan aman, menjadi langkah yang lebih bijak. Data Kemenkes 2023 menunjukkan rasio dokter spesialis obstetri dan ginekologi baru mencapai 0,023 per 1.000 penduduk, jauh di bawah rasio ideal 0,28 per 1.000 penduduk menurut Bappenas. Oleh karena itu, Diah menyimpulkan, solusi jangka panjang harus diarahkan pada reformasi sistemik dalam pendidikan, distribusi, dan retensi tenaga medis, bukan sekadar substitusi kewenangan jangka pendek.
Mengenal Operasi Caesar: Prosedur Vital Penuh Risiko
Secara sederhana, operasi caesar (atau *sectio caesarea*) adalah prosedur bedah untuk melahirkan bayi melalui sayatan di perut dan rahim ibu. Prosedur ini biasanya dilakukan jika ada risiko terhadap bayi atau ibu, seperti bayi kekurangan oksigen, posisi janin tidak normal, plasenta menutupi jalan lahir, panggul ibu terlalu sempit, riwayat operasi sebelumnya, atau ibu mengidap penyakit jantung atau preeklampsia berat.
Menurut penelitian terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penggunaan operasi caesar terus meningkat secara global, mencapai sekitar satu dari lima kelahiran saat ini dan diproyeksikan meningkat hingga 29% pada 2030. WHO mengakui prosedur ini bisa menyelamatkan nyawa, namun mewanti-wanti agar tidak dilakukan sembarangan. Direktur Departemen Kesehatan dan Penelitian Seksual dan Reproduksi WHO, Dokter Ian Askew, menyatakan tidak semua operasi caesar yang dilakukan diperlukan secara medis, dan prosedur bedah yang tidak perlu bisa membahayakan ibu dan bayinya. Beberapa risiko operasi caesar meliputi potensi pendarahan atau infeksi hebat, waktu pemulihan yang lebih lambat, keterlambatan dalam menyusui, dan peningkatan kemungkinan komplikasi pada kehamilan berikutnya.
Apakah Lisensi Bedah Caesar Mampu Turunkan Angka Kematian Ibu?
Mochammad Wahyu Ghani, peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengakui bahwa rencana melatih dokter umum untuk bedah caesar bertentangan dengan berbagai peraturan. Namun, ia juga menyoroti ketimpangan cakupan layanan kesehatan di Indonesia. “Indonesia ini kan luas sekali dan pastinya persebaran dokter itu enggak merata di seluruh pelosok Indonesia. Di Papua saja tidak sampai 3.000 dokter yang bertanggung jawab atas empat juta lebih nyawa yang ada di Papua.” Parahnya lagi, provinsi-provinsi baru seperti Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya belum memiliki dokter spesialis obstetri dan ginekologi sama sekali.
Ghani melihat langkah pemerintah ini sebagai kebijakan jangka pendek untuk menekan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi, terutama di wilayah Indonesia timur yang masih sangat tinggi. Namun, ia tetap mendorong kebijakan jangka panjang, seperti program penempatan dokter spesialis oleh Kemenkes untuk mengisi kekosongan tenaga medis di daerah terpencil. AKI di Indonesia masih tergolong tinggi; pada 2023, rata-ratanya masih di atas 100 kematian ibu per 100.000 kelahiran. Papua dan Papua Barat menjadi provinsi dengan AKI tertinggi, yakni 565 dan 343 kematian ibu, jauh dari target optimistis Tujuan Pembangunan Global (SDGs) sebesar 70 per 100.000 kelahiran hidup. Target penurunan AKI pemerintah dalam RPJMN 2020-2024 sebesar 183 per 100 ribu kematian pun tak tercapai, dengan data BPS menunjukkan rata-rata AKI 189.
Strategi Komprehensif untuk Menghindari Kematian di Meja Persalinan
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) mengusulkan beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan ahli obstetri dan ginekologi. Ini termasuk mengembangkan program pelatihan bagi dokter umum untuk memperdalam pengetahuan tentang obstetri dan ginekologi (bukan untuk operasi caesar), meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan spesialis (termasuk insentif bagi dokter spesialis di daerah 3T), serta menggalakkan penggunaan teknologi layanan kesehatan jarak jauh untuk bimbingan dan supervisi dokter umum dalam situasi darurat.
Yang tak kalah penting, menurut Mochammad Wahyu Ghani dari BRIN, adalah pelibatan publik dan perhatian terhadap tradisi setempat dalam membantu proses kelahiran. Di beberapa tempat, tradisi kelahiran sangat berbeda dari praktik kedokteran modern. “Kelahiran [di Papua] itu merupakan bentuk kesakralan yang harus disyukuri oleh setiap keluarga besar dari mereka,” jelasnya. Oleh karena itu, tenaga kesehatan perlu berkolaborasi dengan masyarakat dan beradaptasi dengan tradisi yang ada. Ghani mencontohkan bagaimana di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, dengan hanya satu dokter umum ASN, tenaga kesehatan sering berkolaborasi dengan dukun bayi yang direkrut menjadi kader kesehatan lokal.
Sebelum mencapai meja persalinan, langkah-langkah krusial harus diatasi untuk memastikan keselamatan ibu dan bayi. Dokter Lidwina menekankan bahwa angka kematian ibu dapat ditekan melalui deteksi dini, memastikan ibu memeriksakan kehamilan secara teratur, dan petugas kesehatan melakukan pemeriksaan yang baik.
Dokter Rini menegaskan, persoalan transportasi menuju layanan kesehatan adalah kunci. Di Papua, tempatnya mengabdi lebih dari 30 tahun, akses ke pelayanan kesehatan masih sangat sulit. “Naik perahu menyusuri sungai, jalan kaki berjam-jam, atau bahkan beberapa hari, sehingga orang sakit membutuhkan usaha yang luar biasa untuk mencapai Puskesmas,” tutupnya, menggambarkan tantangan nyata di lapangan.
—
* Kisah Dokter Lo yang gratiskan biaya berobat warga miskin Solo selama puluhan tahun
* Dari ukuran celana sampai ‘stetoskop tidak ilmiah’ – Apa saja pernyataan dan kebijakan kontroversial Menkes Budi Gunadi?
* Kesaksian calon dokter spesialis yang sempat berusaha bunuh diri – ‘Perundungan dijustifikasi atas nama pendidikan mental’
* Mengapa perempuan lebih berisiko meninggal dunia ketika dibedah oleh dokter laki-laki?
* Perjuangan para ahli bedah membersihkan rumah sakit yang jorok demi menekan angka kematian
* Pengiriman dokter spesialis ke Indonesia timur turun drastis: ‘Tidak usah ada rumah sakit’
* ‘Bidan ransel’, solusi masalah kesehatan anak dan ibu di tempat terpencil?
* Kematian nakes Indonesia akibat Covid-19 tertinggi di Asia, apa harga yang harus kita bayar di masa mendatang?
* Tak ada dokter anestesi di Sikka, Nusa Tenggara Timur, ibu dan janin meninggal di rumah sakit