Prospek Emiten Pertambangan BUMN Usai Bagi Dividen Jumbo: ANTM, PTBA, TINS Menuju Semester II-2025
Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pekan lalu menjadi penanda penting bagi tiga emiten pertambangan milik negara, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Timah Tbk (TINS). Ketiganya, yang kerap disebut “tambang pelat merah”, menarik perhatian publik, khususnya dengan pembagian dividen yang tergolong signifikan dari ANTM dan PTBA. Namun, di balik keriuhan pembagian keuntungan ini, pertanyaan besar muncul: bagaimana sebenarnya prospek peningkatan kinerja emiten pertambangan BUMN di sisa tahun 2025 ini?
Menurut Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, terdapat empat katalis domestik utama yang berpotensi menjadi pendorong positif bagi kinerja saham tambang BUMN ini. Pertama, dan yang paling signifikan, adalah komitmen pemerintah terhadap hilirisasi tambang dan larangan ekspor mineral mentah. Inisiatif ini, yang berfokus pada logam strategis seperti nikel, bauksit, timah, dan emas, bertujuan untuk menciptakan nilai tambah domestik yang substansial. ANTM dan TINS berada pada posisi yang menguntungkan berkat ekosistem *downstream* yang mereka miliki, menjanjikan potensi margin keuntungan yang lebih besar.
Selanjutnya, dorongan energi terbarukan dan lonjakan permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik (EV) menjadi katalis kuat. ANTM diuntungkan secara signifikan dari peta jalan kendaraan listrik nasional (Perpres No. 55/2019) serta proyek ambisius baterai EV bersama IBC-LG. PTBA pun tak ketinggalan dengan perambahan ke PLTU Biomassa dan gasifikasi batu bara, sejalan dengan agenda transisi energi pemerintah. Tak hanya itu, potensi pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan BI Rate di semester II-2025 juga dapat menyuntikkan sentimen positif. Penurunan suku bunga ini diproyeksikan akan memberi dorongan bagi pasar modal secara keseluruhan, termasuk saham tambang BUMN.
Terakhir, Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor infrastruktur energi dan mineral menawarkan peluang emas. PSN ini menciptakan panggung tambahan bagi emiten seperti ANTM dan PTBA, baik sebagai pemasok bahan baku maupun mitra strategis dalam pengembangan proyek.
Kendati demikian, Liza juga menggarisbawahi beberapa faktor penahan yang berpotensi membatasi laju pertumbuhan emiten pertambangan BUMN ini. Ancaman pertama adalah rencana penerapan pajak progresif dan royalti yang lebih tinggi. Wacana revisi tarif royalti untuk batu bara dan logam, yang akan disesuaikan dengan harga pasar global, dikhawatirkan dapat menggerus margin keuntungan PTBA dan ANTM jika harga komoditas melambung tinggi.
Selanjutnya, ketidakpastian izin dan moratorium tambang turut membayangi kinerja sektor. TINS, khususnya, sangat terpengaruh oleh upaya penertiban tata kelola pertimahan. Meskipun penertiban pertambangan ilegal oleh pemerintah daerah dan pusat adalah langkah positif, hal ini dapat menahan volume produksi resmi dalam jangka pendek.
Dampak lain yang perlu dicermati adalah target dekarbonisasi dan penurunan porsi batu bara. Komitmen jangka panjang pemerintah untuk mengurangi bauran energi berbasis batu bara dapat menekan kinerja PTBA dalam jangka panjang, meskipun permintaan domestik dari PLN saat ini masih kuat. Terakhir, ketergantungan pada holding MIND ID dan regulasi BUMN juga bisa menjadi penghambat. Sebagai bagian dari MIND ID, keputusan korporasi seperti konsolidasi aset, divestasi, atau aksi korporasi lainnya dapat ditentukan secara *top-down*, yang pada gilirannya mengurangi fleksibilitas strategi masing-masing emiten.
Dengan demikian, prospek emiten pertambangan BUMN seperti ANTM, PTBA, dan TINS di sisa tahun 2025 ini tampaknya akan diwarnai oleh dinamika antara peluang dan tantangan. Kebijakan domestik yang mendukung hilirisasi dan transisi energi menawarkan potensi pertumbuhan signifikan, namun regulasi yang lebih ketat dan arah kebijakan pemerintah yang ambivalen tetap menjadi faktor penentu yang perlu dicermati.