Wacana unjuk rasa besar-besaran bertajuk “Revolusi Rakyat Indonesia” pada 25 Agustus 2025 yang sempat memanas di media sosial akhirnya benar-benar terwujud. Sejak pagi hari, ribuan massa dari beragam latar belakang membanjiri kawasan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, menyerukan tuntutan perubahan.
Pemandangan di lokasi diwarnai oleh kibaran bendera Merah Putih, poster-poster bernada kritik tajam, serta uniknya, bendera bergambar tengkorak dengan topi jerami yang identik dengan serial One Piece. Beberapa poster utama yang diusung dengan lantang berbunyi, “Bubarkan DPR beban negara” dan “Beban negara bukanlah guru tapi DPR, bubarkan DPR,” secara gamblang menyuarakan penolakan keras terhadap kinerja lembaga legislatif.
Dilansir dari Kompas.com, unjuk rasa ini awalnya berjalan tertib, diiringi yel-yel lantang yang mendesak wakil rakyat untuk segera menemui massa. Namun, ketenangan berubah menjadi ketegangan sekitar pukul 12.05 WIB. Kericuhan pecah di depan Restoran Pulau Dua, lokasi yang berdekatan dengan kompleks DPR, ketika rombongan pelajar yang baru tiba diadang aparat di jembatan layang (fly over) Ladokgi.
Situasi semakin memanas setelah massa yang berada di depan DPR bergerak mundur untuk menjemput para pelajar tersebut. Kabar penahanan sejumlah pelajar oleh aparat dengan cepat menyebar, memicu gelombang aksi yang semakin sulit dikendalikan dan memperparah bentrokan antara massa dan kepolisian. Peristiwa ini lantas memunculkan pertanyaan besar: Apa sebenarnya yang terjadi pada demo 25 Agustus 2025 di Gedung DPR RI, dan tuntutan apa saja yang mereka bawa?
Di tengah ribuan pengunjuk rasa yang memadati jalanan, suara para pengemudi ojek online (ojol) turut bergema menyuarakan keluh kesah mereka. Ari (26), salah seorang pengemudi ojol, mengungkapkan kekecewaannya terhadap DPR yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil. “Tolong jangan mikirin perutnya sendiri lah. Enak banget kan gajinya naik, padahal itu juga kan dari kita (pajaknya),” ujar Ari, seraya berharap DPR lebih memikirkan nasib pekerja harian seperti dirinya, alih-alih menaikkan tunjangan dan melupakan tekanan ekonomi masyarakat.
Senada dengan Ari, Safri (32), pengemudi ojol lainnya, merasa bahwa pemerintah dan DPR belum serius memperhatikan kesejahteraan pengemudi ojek online yang jumlahnya terus bertambah. “Sekarang ya, udah berapa kali liat driver ojol kayak kita ini demo. Tapi aturan yang ngatur biar ojol buat sejahtera mana, enggak ada juga kan,” keluhnya. Keputusan Safri untuk ikut berdemo didasari oleh sulitnya kondisi ekonomi saat ini. “Ya karena sekarang susah banget ekonomi, mau ngapa-ngapain susah. Apa-apa mahal, kasihan istri sama anak saya di rumah,” imbuhnya, menegaskan bahwa aksi protes ini adalah upaya terakhir agar suara rakyat kecil didengar oleh para pembuat kebijakan di Senayan.
Dalam aksi “Revolusi Rakyat Indonesia” ini, tuntutan utama massa tidak hanya berkisar pada pembubaran parlemen. Mereka juga menyoroti kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, khususnya isu kenaikan tunjangan anggota DPR RI di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang kian tertekan. Berbagai poster dan spanduk di sepanjang pagar gedung DPR menegaskan pandangan massa bahwa wakil rakyat cenderung lebih memprioritaskan kepentingan pribadi daripada kesejahteraan masyarakat yang seharusnya mereka perjuangkan.
(Sumber: Kompas.com)