Wabah campak telah melanda Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, mencapai tingkat keparahan yang mengkhawatirkan. Dalam delapan bulan terakhir, penyakit ini telah merenggut nyawa 12 anak dan menginfeksi hampir 2.000 individu. Akibat lonjakan kasus yang signifikan ini, otoritas kesehatan setempat secara resmi menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk campak di wilayah tersebut.
Data dari Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DKP2KB) Kabupaten Sumenep menunjukkan peningkatan drastis kasus campak. Sejak Januari hingga pekan ketiga Agustus, tercatat 1.944 kasus campak menyerang balita dan anak-anak. Angka ini melonjak tajam dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya mencatat 319 kasus.
Penyebab utama tingginya angka kasus campak di Sumenep diidentifikasi sebagai rendahnya cakupan imunisasi. Situasi ini menciptakan kondisi ideal bagi penularan virus untuk menyebar semakin masif di tengah masyarakat.
Kasus-kasus nyata menggambarkan dampak dari rendahnya imunisasi ini. Ahmad Mufidan, tujuh tahun, terbaring lemah di ruang klaster lima Puskesmas Guluk-Guluk Sumenep pada Kamis (21/08) siang, setelah hampir sepekan dirawat karena campak. Siswa kelas dua SD asal Dusun Angsanah, Desa Bragung, Kecamatan Guluk-Guluk, ini mengeluhkan gatal-gatal disertai bintik-bintik merah atau ruam di tubuhnya. Neneknya, Zairurah (50), menceritakan cucunya terbangun dengan gatal di sekujur tubuh, menangis, dan demam.
Situasi serupa dialami Moh Syaiful Bahri, tiga tahun, yang juga dirawat di Puskesmas Guluk-Guluk karena campak. Warga Gadu Timur, Kecamatan Ganding, ini sudah empat hari mengalami panas tinggi disertai batuk, meskipun ruam belum muncul. Faridah (28), ibu dari Syaiful Bahri, menjelaskan bahwa anaknya awalnya demam dan batuk sebelum dibawa ke Puskesmas. Baik Mufidan maupun Syaiful Bahri diketahui belum mendapatkan imunisasi campak karena orang tua mereka “takut” dan kendala karantina akibat pandemi Covid-19 pada 2020-2022 lalu menghalangi mereka untuk melakukan imunisasi.
Dokter Fita Rabianti, tenaga kesehatan di Puskesmas Guluk-Guluk Sumenep, mengonfirmasi bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi anak masih tergolong rendah. Banyak warga yang takut, bahkan secara terang-terangan menolak vaksin karena termakan hoaks, termasuk klaim “vaksin haram”. Menurut dr. Fita, ketakutan ini menyebabkan cakupan imunisasi yang rendah dan menghambat pembentukan kekebalan kelompok atau herd immunity, yang idealnya membutuhkan cakupan imunisasi lengkap lebih dari 95 persen. Kondisi inilah yang disebutnya sebagai pemicu penularan campak yang terus berlanjut hingga saat ini.
Pendapat dr. Fita diperkuat oleh Dian Permatasari, Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Wiraraja Sumenep. Dian menyoroti adanya pandangan di masyarakat yang keliru, di mana imunisasi dianggap justru menyebabkan penyakit, padahal ini hanyalah mitos. Pola pikir tersebut, menurutnya, timbul karena minimnya edukasi yang komprehensif kepada masyarakat tentang esensi dan manfaat imunisasi. Oleh karena itu, Dian mendorong pemerintah untuk lebih gencar mensosialisasikan pentingnya vaksinasi, termasuk imunisasi campak.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit DKP2KB Kabupaten Sumenep, Achmad Syamsuri, mengakui bahwa cakupan vaksinasi di wilayahnya belum mencapai target. Bahkan, di beberapa area, angkanya masih di bawah 80 persen. Achmad juga mencatat bahwa sebagian masyarakat masih menganggap imunisasi tidak penting dan penyakit campak, atau yang dalam istilah Madura disebut “tampek”, sering dianggap tidak berbahaya. Akibatnya, banyak kasus campak tidak diperiksakan ke fasilitas kesehatan terdekat jika gejalanya tidak terlalu parah.
Secara nasional, hingga awal Agustus, Kementerian Kesehatan mencatat 40 kejadian luar biasa (KLB) campak di 37 kabupaten dan kota di Indonesia sepanjang 2025. Jumlah kasus terkonfirmasi mencapai 3.282 dengan total 22.074 kasus. Cakupan imunisasi yang tidak merata serta capaian imunisasi yang tidak optimal menjadi penyebab utama lonjakan kasus campak ini. Pemerintah kini berupaya keras mempercepat program vaksinasi dan memperkuat layanan kesehatan sebagai respons terhadap kondisi ini.
Melihat kondisi ini, Dian Permatasari dari Universitas Wiraraja Sumenep menyarankan pemerintah untuk melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam upaya edukasi. Mereka dinilai memiliki pengaruh kuat di tengah masyarakat yang masih enggan menerima vaksinasi. Dian juga menekankan pentingnya bagi tenaga kesehatan untuk lebih proaktif melakukan edukasi secara langsung dari pintu ke pintu.
Menanggapi hal tersebut, Achmad Syamsuri dari DKP2KB Kabupaten Sumenep mengklaim bahwa sosialisasi mengenai pentingnya imunisasi campak terus digencarkan melalui posyandu hingga lembaga pendidikan. DKP2KB juga menggandeng berbagai organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk bersama-sama memberikan edukasi. Inovasi seperti program “Imunisasi Kejar” juga telah dilakukan untuk menjaring anak-anak yang terlewat imunisasi.
Untuk menekan laju penyebaran campak yang terus meningkat, DKP2KB Sumenep merencanakan program imunisasi massal atau Outbreak Response Immunization (ORI). Program ini menargetkan 73.000 anak dan dijadwalkan akan berlangsung selama lebih dari dua pekan, hingga 13 September 2025. ORI direncanakan dimulai serentak pada 25 Agustus di seluruh 26 puskesmas di Kabupaten Sumenep yang memiliki kasus campak tinggi. Sementara itu, Kementerian Kesehatan juga tengah menyiapkan surat edaran (SE) kewaspadaan terhadap peningkatan kasus dan KLB campak untuk dinas kesehatan di seluruh daerah, sebagai pedoman respons penanggulangan.
- Setelah KLB polio, muncul KLB campak – Anak Indonesia berisiko terkena wabah ‘tumpang-tindih’
- Lonjakan kasus campak menghantui negara tetangga Indonesia, bagaimana cara paling efektif menanganinya?
- Puluhan anak di Papua terkena campak dan 13 meninggal dunia, pemerintah belum terima laporan
- Vaksinasi di Aceh dan beberapa provinsi lain rendah: KLB difteri dan campak ‘berpotensi terulang’
- Imunisasi campak dan rubella MR di tengah pro-kontra vaksinasi
- Lonjakan kasus campak menghantui negara tetangga Indonesia, bagaimana cara paling efektif menanganinya?