Ragamutama.com – , Jakarta – Kebijakan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir sementara rekening pasif atau dikenal sebagai rekening dormant telah memicu gelombang kritik. Upaya pemblokiran ini, yang digalakkan PPATK sejak Mei 2025, dilandasi alasan untuk menanggulangi potensi penyalahgunaan rekening tersebut dalam tindak pidana seperti pencucian uang dan judi online.
Salah satu suara kritis yang mencuat datang dari The Prakarsa, sebuah lembaga riset dan advokasi kebijakan publik. Ari Wibowo, peneliti dari The Prakarsa, menegaskan bahwa tindakan pemblokiran rekening warga secara sepihak oleh PPATK ini bertolak belakang dengan prinsip negara hukum dan berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi keuangan. Ari menyatakan dalam keterangan resminya pada Sabtu, 2 Agustus 2025, “Pemblokiran tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hak konstitusional dan hak asasi finansial warga negara, sekaligus berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.”
Ari melanjutkan, meskipun PPATK memiliki kewenangan untuk melakukan pemblokiran rekening apabila terdapat indikasi tindak pidana, status rekening dormant semata—tanpa didasari indikasi pidana yang konkret—tidak dapat dijadikan landasan hukum yang sah untuk pemblokiran. Ia menyoroti bahwa pemblokiran sepihak semacam ini melanggar beberapa regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Peraturan PPATK Nomor 18 Tahun 2017, serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 Tahun 2023.
Selain aspek hukum, ekonom The Prakarsa, Roby Rushandie, turut menyoroti dampak sosial ekonomi dari pemblokiran rekening terhadap masyarakat. Menurutnya, kebijakan ini sangat rentan menyasar kelompok-kelompok masyarakat yang paling rentan. “Kelompok masyarakat rentan seperti lansia, pensiunan, pekerja informal, dan mereka yang terkena PHK berisiko tinggi menghadapi pemblokiran rekening,” ungkap Roby.
Dampak nyata dari kebijakan ini dirasakan oleh Denny, seorang warga Yogyakarta. Karyawan berusia 33 tahun itu tidak pernah menyangka rekeningnya akan dikategorikan sebagai rekening dormant, terutama karena ia masih rutin menerima transfer dana. “Saya baru menyadari rekening saya telah diblokir ketika tidak dapat menarik sisa saldo,” tutur Denny kepada Tempo pada Selasa, 29 Juli 2025.
PPATK Klaim Pemblokiran Bertujuan Melindungi Nasabah
Menanggapi gelombang kritik, PPATK menegaskan bahwa langkah pemblokiran ini merupakan bagian dari upaya perlindungan nasabah. Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK, M. Natsir, menjelaskan bahwa berdasarkan analisis selama lima tahun terakhir, PPATK menemukan banyak rekening dormant yang telah disalahgunakan untuk menampung dana hasil tindak pidana. Oleh karena itu, pemblokiran ini diklaim sebagai langkah strategis untuk melindungi rekening nasabah, sejalan dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Natsir juga memberikan jaminan bahwa dana nasabah yang terdampak pemblokiran tetap aman dan utuh. Hingga Sabtu, 2 Agustus 2025, PPATK telah berhasil membuka kembali lebih dari 30 juta rekening yang sebelumnya diblokir sementara. Proses pembukaan ini, lanjut Natsir, dilakukan secara bertahap sejak Mei 2025 dan masih berlangsung hingga kini. “Pembukaan rekening dilakukan setelah melalui proses verifikasi yang ketat dan bank menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa (know your customer) terhadap nasabahnya,” ujar Natsir kepada Tempo pada Sabtu, 2 Agustus 2025.
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, dalam wawancaranya dengan Tempo, menjelaskan bahwa pemblokiran rekening dormant ini dilakukan berdasarkan parameter yang telah ditetapkan oleh PPATK. Data rekening dormant sendiri diperoleh PPATK langsung dari pihak perbankan. Ivan menambahkan, setiap bank memiliki kriteria waktu yang bervariasi untuk mengategorikan sebuah rekening sebagai dormant, mulai dari tiga bulan, enam bulan, atau bahkan lebih.
Ivan juga mengemukakan bahwa PPATK bersama perbankan telah berupaya mensosialisasikan kebijakan pemblokiran rekening dormant ini kepada para nasabah. Namun, ia mengakui adanya kendala signifikan dalam penyampaian informasi tersebut. Pasalnya, banyak pemilik rekening yang telah meninggal dunia atau akunnya memang sengaja digunakan untuk menyembunyikan aset. “Banyak nasabah yang tidak terdeteksi,” pungkas Ivan pada Kamis, 31 Juli 2025.
Artikel ini ditulis dengan kontribusi dari Sunu Dyantoro dan Riri Rahayuningsih.
Pilihan Editor: Dampak Kesepakatan Dagang Prabowo-Trump bagi Industri Manufaktur