BI Tahan Suku Bunga: Rupiah Terancam Hingga 2026?

Avatar photo

- Penulis

Minggu, 11 Mei 2025 - 21:55 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

JAKARTA, RAGAMUTAMA.COM – Keputusan terbaru dari bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, yang kembali mempertahankan suku bunga acuannya pada pertemuan FOMC bulan Mei 2025, diperkirakan akan memberikan dampak signifikan terhadap ruang gerak Bank Indonesia (BI) dalam menentukan kebijakan moneternya.

Fithra Faisal Hastiadi, Senior Chief Economist Samuel Sekuritas Indonesia, memprediksi bahwa Bank Indonesia akan cenderung mempertahankan suku bunga acuannya pada level 5,75 persen untuk periode waktu yang cukup panjang.

Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa jika sinyal dari The Fed tidak mengindikasikan adanya pelonggaran kebijakan moneter dalam waktu dekat, dan risiko inflasi meningkat akibat kebijakan tarif global serta tekanan terhadap mata uang Rupiah, maka BI kemungkinan akan mempertahankan suku bunga acuannya hingga awal tahun 2026.

“Bagi Indonesia, kebijakan The Fed ini secara efektif mempersempit area manuver dalam kebijakan moneter,” ungkapnya dalam laporan yang dikutip pada hari Minggu (11/5/2025).

Fithra menjelaskan, meskipun keputusan The Fed terkesan dovish, namun hal tersebut tidak serta merta memberikan keuntungan yang signifikan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Dengan tidak adanya perubahan pada suku bunga AS, volatilitas di pasar keuangan mungkin dapat diredam untuk sementara waktu. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini juga mengindikasikan prospek penurunan suku bunga dalam jangka pendek yang semakin mengecil, sehingga ruang bagi BI untuk melonggarkan kebijakan moneternya menjadi terbatas.

Baca Juga :  Dolar AS Anjlok! Pasar Ragu Trump & The Fed?

Selain itu, tingkat suku bunga AS yang tetap tinggi, ditambah dengan risiko geopolitik yang masih membebani sentimen investor, berpotensi memberikan tekanan pada nilai tukar Rupiah dan meningkatkan risiko arus modal asing keluar dari Indonesia.

“Terutama jika The Fed mengambil sikap yang lebih agresif karena inflasi yang terus-menerus,” imbuhnya.

Akibatnya, kondisi ini menempatkan BI dalam posisi yang sulit, di antara menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan memberikan stimulus ekonomi.

Pertimbangan ini menjadi krusial mengingat perlunya mengelola stabilitas mata uang dan memberikan stimulus, terutama karena pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal I 2025 mengalami perlambatan menjadi 4,87 persen, yang merupakan angka terlemah sejak tahun 2021.

Namun, dengan kebijakan AS yang tetap ketat, ditambah dengan pelemahan nilai Yuan terhadap mata uang regional, BI kemungkinan tidak akan menurunkan suku bunga tanpa menghadapi risiko depresiasi Rupiah yang lebih dalam dan inflasi impor, khususnya dari biaya logistik yang lebih tinggi akibat efek tarif.

“Setiap pemotongan suku bunga yang dilakukan secara prematur berpotensi memicu pelarian modal dan semakin melemahkan Rupiah, yang saat ini sudah menghadapi tekanan depresiasi di tengah kondisi penghindaran risiko global,” jelasnya.

Baca Juga :  Bosman Mardigu & Helmy Yahya Jadi Komisaris, Saham Bank BJB Meroket Pasca RUPST?

Fithra menyebutkan bahwa beban kebijakan kemungkinan besar akan beralih ke langkah-langkah fiskal.

Pemerintah diperkirakan akan mempercepat implementasi program bantuan sosial dan belanja modal pada paruh kedua tahun ini untuk mengkompensasi pertumbuhan ekonomi Kuartal I yang lemah dan mendorong peningkatan permintaan domestik.

“Namun, dengan tetap adanya risiko dalam hal eksekusi, terutama di tengah transisi politik dan potensi kekurangan pendapatan, kami melihat adanya penurunan pada proyeksi pertumbuhan PDB kami menjadi 4,8 persen pada tahun 2025,” tuturnya.

Sebelumnya, The Fed telah memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bulan ini.

Dengan keputusan ini, suku bunga acuan AS (Fed Funds Rate) tetap berada pada level 4,25-4,5 persen, yang telah berlaku sejak bulan Desember 2024.

Mengutip laporan dari CNBC, keputusan ini diambil oleh The Fed sambil menunggu kejelasan mengenai kebijakan tarif perdagangan pemerintah AS dan dampaknya terhadap perekonomian AS yang saat ini sedang mengalami perlambatan.

The Fed mewaspadai potensi peningkatan angka pengangguran dan inflasi akibat tekanan dari kebijakan tarif perdagangan yang akan diterapkan oleh AS terhadap berbagai negara.

Berita Terkait

Dasco Usul: Tantiem Pejabat BUMN Dihapus, Hemat Negara Rp 18 Triliun!
Rubicon untuk Izin Hutan? Dirut Inhutani V Diduga Minta Gratifikasi
Setoran Haram Haji Khusus: KPK Ungkap Kongkalikong Pengusaha & Kemenag
PBB Naik Bikin Gaduh? Ini Daftar Daerah yang Bergejolak!
BSI Buka Blokir Rekening Yayasan Cholil Nafis, Ketua MUI
UMK 2026: Buruh Desak Kenaikan 10,5 Persen!
Pertumbuhan Ekonomi Dipertanyakan, Indef Minta Pemerintah Buka Data!
Airlangga Klaim: Ekonomi RI Tertinggi di ASEAN, Benarkah?

Berita Terkait

Jumat, 15 Agustus 2025 - 20:12 WIB

Dasco Usul: Tantiem Pejabat BUMN Dihapus, Hemat Negara Rp 18 Triliun!

Jumat, 15 Agustus 2025 - 02:22 WIB

Rubicon untuk Izin Hutan? Dirut Inhutani V Diduga Minta Gratifikasi

Kamis, 14 Agustus 2025 - 22:38 WIB

Setoran Haram Haji Khusus: KPK Ungkap Kongkalikong Pengusaha & Kemenag

Kamis, 14 Agustus 2025 - 21:14 WIB

PBB Naik Bikin Gaduh? Ini Daftar Daerah yang Bergejolak!

Senin, 11 Agustus 2025 - 23:20 WIB

BSI Buka Blokir Rekening Yayasan Cholil Nafis, Ketua MUI

Berita Terbaru

Society Culture And History

Tragedi Hilangnya Aktivis: Pemicu Perubahan Hak Sipil di Amerika

Minggu, 17 Agu 2025 - 01:09 WIB

Family And Relationships

Mpok Alpa Meninggal: Detik-Detik Terakhir di Pangkuan Suami

Sabtu, 16 Agu 2025 - 23:52 WIB