Ragamutama.com – Jakarta – Pasca insiden keracunan massal yang terjadi di Kabupaten Cianjur, Badan Gizi Nasional (BGN) mempertimbangkan opsi desentralisasi dalam pengelolaan makanan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut Kepala BGN, Dadan Hindayana, melibatkan dan memberdayakan kantin sekolah beserta para ibu pengelola kantin dapat menjadi solusi berkelanjutan.
Pilihan editor: Bagaimana Sertifikat Halal Diterbitkan untuk Camilan Anak yang Mengandung Babi?
“Kami akan melakukan kombinasi, terutama untuk sekolah-sekolah dengan jumlah siswa yang memadai,” ujar Dadan kepada Tempo pada hari Jumat, 25 April 2025.
Ia menjelaskan bahwa pendekatan ini sebenarnya sudah mulai diterapkan di beberapa sekolah, seperti di BOSOWA Bina Insani. Dalam model ini, pengolahan makanan tidak lagi terpusat di satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG), melainkan dikelola lebih dekat dengan lokasi konsumsi oleh komunitas sekolah.
Tujuannya, lanjutnya, adalah untuk meminimalkan waktu distribusi serta memastikan kualitas makanan tetap optimal saat dikonsumsi. Penerapan model dapur desentralistik ini juga dinilai selaras dengan rekomendasi sejumlah ahli gizi.
Selain memperpendek jalur distribusi makanan, keberadaan dapur sekolah yang dikelola langsung oleh kantin dapat membantu mencegah potensi kontaminasi atau penurunan kualitas makanan akibat penyimpanan yang terlalu lama.
BGN juga menyambut baik masukan lain dari para pakar, seperti penyediaan wadah pemanas untuk mempertahankan suhu makanan setelah proses memasak. “Masukan ini akan kami evaluasi dan sesuaikan dengan kondisi masing-masing sekolah,” kata Dadan.
Ahli gizi, Tan Shot Yen, mengkritik sistem pengelolaan dapur dalam program MBG di sekolah yang menurutnya kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Ia menyarankan agar pengelolaan makanan diserahkan langsung kepada kantin sekolah oleh para ibu kantin yang lebih memahami selera makan siswa, dan bukan kepada lembaga atau yayasan eksternal.
“Mengapa kita tidak memanfaatkan ‘tante kantin’? Mereka sudah terbiasa memasak untuk anak-anak dan mengetahui preferensi mereka. Misalnya, jika anak-anak menyukai bakso, mereka bisa membuatnya lebih sehat dengan menggunakan ikan tenggiri,” ungkap Tan saat dihubungi pada Jumat, 25 April 2025.
Tan berpendapat bahwa penggunaan dapur terpusat atau dapur di luar sekolah dapat memperpanjang rantai distribusi makanan dan meningkatkan risiko terkait keamanan pangan. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi dengan dinas kesehatan, khususnya unit kesehatan lingkungan (kesling) dari puskesmas, untuk melakukan pengawasan rutin terhadap kebersihan dan kualitas makanan.
“Program semacam ini harus disertai dengan monitoring, evaluasi, dan supervisi. Unit Kesling dari puskesmas dapat diturunkan secara berkala untuk memantau kondisi dapur-dapur di sekolah,” katanya.
Menurut Tan, keterlibatan masyarakat tidak hanya memperpendek jalur distribusi makanan, tetapi juga mendukung tujuan ekonomi sirkular. “Katanya ingin meningkatkan ekonomi sirkular, lalu siapa pemilik UMKM itu? Ya, ibu-ibu kantin juga,” tegasnya.
Pilihan editor: Anggota Komisi II DPR: Tidak Ada Alasan Relevan untuk Menjadikan Kota Solo sebagai Daerah Istimewa