Wali Nanggroe Aceh Suarakan Harapan Pengesahan Bendera Bulan Bintang Usai Kemenangan Sengketa Pulau
Jakarta – Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar, menyuarakan kembali harapannya agar pemerintah pusat segera mengesahkan regulasi terkait pengibaran bendera Aceh. Aspirasi ini muncul tak lama setelah pemerintah pusat secara resmi mengembalikan empat pulau yang sebelumnya bersengketa dengan Sumatera Utara, menegaskan kembali kedaulatan Aceh atas wilayahnya.
Keputusan krusial mengenai status empat pulau sengketa ini diumumkan langsung oleh Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, setelah Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas melalui konferensi video dari St. Petersburg, Rusia, pada Selasa, 17 Juni 2025. Rapat tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat kunci, termasuk Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan bahwa penetapan kepemilikan Aceh atas keempat pulau tersebut didasarkan pada penemuan dokumen asli kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1992. Dokumen bersejarah yang secara jelas menegaskan status pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh ini berhasil ditemukan di Gedung Arsip Kementerian Dalam Negeri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, pada Senin, 17 Juni 2025.
Atas penetapan ini, Malik Mahmud menyampaikan rasa syukurnya yang mendalam. “Alhamdulillah kepada Yang Maha Kuasa sudah selesainya masalah polemik 4 pulau yang berlaku baru-baru ini. Dan dengan ini saya ucapkan terima kasih banyak kepada Pak Presiden, kepada petinggi-petinggi kita yang menyelesaikan masalahnya termasuk juga Pak Menteri Dalam Negeri,” ujarnya.
Namun, di balik suka cita tersebut, fokus Malik Mahmud tetap tertuju pada aspirasi masyarakat Aceh terkait bendera bulan bintang. Ia menegaskan keinginan kuat rakyat Aceh untuk melihat bendera simbol daerah mereka dikibarkan secara sah. “Ya bagi orang-orang Aceh itu diharapkan bahwa bendera itu disahkan. Kami menunggu saja,” katanya di sela-sela pertemuan dengan mantan Presiden Jusuf Kalla di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa malam.
Polemik mengenai legalitas bendera Aceh ini berakar pada perbedaan interpretasi antara Perjanjian Helsinki, peraturan perundang-undangan nasional, dan regulasi daerah (Qanun) di Aceh. Dalam Perjanjian Helsinki, terdapat klausul yang memberikan hak kepada Aceh untuk menggunakan simbol wilayahnya, termasuk bendera, lambang, dan himne sendiri. Namun, ketentuan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007, yang secara tegas melarang daerah menggunakan lambang yang menyerupai organisasi separatis, dalam hal ini merujuk pada lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hingga kini, kebuntuan hukum terkait penggunaan bendera Aceh yang memiliki lambang bulan bintang ini masih belum menemui titik terang.
Meski satu sengketa wilayah telah teratasi dengan keputusan pemerintah pusat, perjuangan Aceh untuk mengukuhkan identitas dan simbol kedaerahannya, khususnya melalui pengesahan bendera, tetap menjadi prioritas utama bagi Wali Nanggroe dan masyarakat Aceh. Proses ini menggarisbawahi kompleksitas implementasi perjanjian damai dan otonomi khusus di provinsi paling barat Indonesia ini.
Tim Redaksi: Hendrik Yaputra, Eka Yudha Saputra, dan Sapto Yunus