API Peringatkan: Bea Masuk Anti-Dumping POY-DTY Berisiko Bumerang bagi Industri Tekstil Nasional
Jakarta, 16 Juni 2025 – Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) secara tegas menyatakan keraguan terhadap efektivitas rencana pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) atas impor bahan baku krusial, Polyester Oriented Yarn (POY) dan Draw Textured Yarn (DTY), dalam upaya memulihkan industri tekstil nasional. Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa, memperingatkan bahwa pendekatan kebijakan yang justru membebani biaya akses bahan baku ini berpotensi kontraproduktif. Terutama bagi sektor hilir yang padat karya serta menjadi tulang punggung ekspor dan penyedia lapangan kerja.
Menurut API, keberhasilan penerapan BMAD sangat bergantung pada pemahaman mendalam terhadap struktur industri, keterkaitan erat dalam rantai nilai pasok, serta kesiapan adaptasi dari sektor hulu maupun hilir dalam menyerap dampak kebijakan tersebut. Tanpa pertimbangan yang matang, kebijakan ini bisa menimbulkan konsekuensi tak terduga.
Jemmy Kartiwa menjelaskan, POY dan DTY adalah bahan baku strategis yang vital dan digunakan secara luas oleh para pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Oleh karena itu, penerapan BMAD terhadap kedua komoditas ini harus mempertimbangkan secara matang dampaknya terhadap keberlanjutan industri secara menyeluruh, termasuk kelangsungan usaha skala kecil dan menengah. Industri TPT sendiri dikenal sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan ketersediaan bahan baku. Pemberlakuan BMAD, alih-alih melindungi, justru dikhawatirkan dapat mengganggu kapasitas produksi sektor hilir, melemahkan daya saing di pasar ekspor global, dan pada akhirnya menaikkan harga jual produk di pasar domestik.
Menyikapi hal ini, API mengusulkan agar kebijakan perlindungan seperti BMAD lebih tepat diarahkan pada produk hilir TPT, seperti pakaian jadi dan tekstil rumah tangga, yang memang lebih rentan terhadap praktik dumping atau kelebihan pasokan dari negara pengekspor. Sebaliknya, sektor hulu, termasuk produksi benang dan serat, dinilai lebih membutuhkan pendekatan insentif. Ini bisa berupa fasilitas fiskal dan non-fiskal untuk peningkatan kapasitas dan efisiensi, insentif investasi dalam restrukturisasi mesin, serta jaminan akses bahan baku dan energi yang stabil dan kompetitif.
Jemmy Kartiwa menegaskan bahwa regulasi hambatan tarif seperti BMAD bukanlah satu-satunya jalan keluar untuk melindungi industri, terutama jika tidak ditopang oleh ekosistem yang kokoh. Ia mendesak agar pemerintah mengadopsi kebijakan berbasis data dan memperkuat kolaborasi lintas kementerian. Tujuannya adalah menciptakan arah pengembangan industri yang lebih terstruktur, adil, dan berorientasi jangka panjang demi keberlanjutan industri tekstil.
Selain itu, API juga merekomendasikan langkah-langkah strategis lain yang dinilai lebih berdampak dan berkelanjutan. Ini mencakup penguatan pengawasan terhadap impor ilegal dan praktik *under valuation*, digitalisasi menyeluruh sistem pengawasan bea masuk dan perbatasan, serta harmonisasi kebijakan perdagangan dan industri guna memperkuat daya saing nasional secara keseluruhan.
Terakhir, API memandang krusial adanya forum dialog teknis yang terbuka dan inklusif sebelum pemerintah mengambil keputusan kebijakan berdampak besar seperti BMAD. Forum ini diharapkan mampu melibatkan beragam pemangku kepentingan, mulai dari asosiasi industri, pemerintah, akademisi, hingga pelaku usaha di seluruh rantai pasok. Tujuannya agar setiap kepentingan, dari sektor hulu hingga hilir, dapat terakomodasi secara adil dan proporsional demi kemajuan industri tekstil Indonesia yang lebih sehat dan berdaya saing.